Universitas Terbuka (UT) adalah nama yang sering bikin orang salah paham. Banyak yang masih menganggapnya kampus kelas dua, tempat buangan, pelarian, atau pilihan terakhir bagi yang “nggak keterima di mana-mana”.
Padahal, mereka cuma belum tahu satu hal: Universitas Terbuka itu bukan kampus yang tertinggal. Tapi kampus yang sudah berlari jauh. Saking jauhnya, sampai banyak yang belum bisa menyusul.
Label yang salah tempel
Dari dulu, Universitas Terbuka sering kena label jelek. Katanya “nggak ada kehidupan kampus”, “belajarnya asal-asalan”, “dosennya nggak jelas”, sampai “ijazahnya nggak diakui”. Menurut saya ini lucu. Lucu karena justru yang ngomong begitu seringnya nggak tahu cara kerja kampus ini.
Universitas Terbuka itu bukan kampus dengan gedung megah dan mahasiswa nongkrong di kafe. Ini kampus dengan 300 ribu lebih mahasiswa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kampus tanpa tembok, tapi punya jaringan digital yang lebih luas dari universitas mana pun.
Universitas Terbuka bukan sekadar universitas. Ia hadir sebagai mesin besar yang tetap berputar bahkan ketika dunia lumpuh. Hadir pula menjadi sebuah jawaban.
Waktu pandemi datang dan semua universitas kalang kabut, UT nggak kaget. Karena sejak berdiri, ia memang sudah hidup di dunia daring. Yang lain panik nyiapin zoom, UT malah santai. Mereka cuma bilang, “Selamat datang di dunia kami.”
Belajar tanpa gedung, bukan tanpa arah
Orang masih terjebak dalam mitos lama. Belajar itu harus di ruang kelas, duduk manis, dengar dosen ngomong. Padahal belajar itu soal kemandirian. Universitas Terbuka paham itu sejak awal.
Makanya, sistem belajarnya dibikin fleksibel, tapi nggak bebas seenaknya. Mahasiswa harus mengatur waktu sendiri, harus disiplin, harus tahan godaan rebahan. Universitas Terbuka ngajarin tanggung jawab, bukan cuma teori.
Ironinya, banyak orang yang sekolah di kampus “biasa” malah kaget lihat mahasiswa UT bisa kerja sambil kuliah, urus rumah sambil menulis makalah, bahkan jagain anak sambil ujian daring. Mereka kira mustahil.
Tapi, Universitas Terbuka menjadikannya normal. Karena di sana, belajar itu bukan rutinitas, tapi perjuangan. Dan yang bertahan, cuma mahasiswa yang punya daya juang tinggi.
Sistem Universitas Terbuka terlalu efisien untuk dianggap murahan
Banyak yang nyinyir soal “murahnya biaya kuliah” di Universitas Terbuka. Katanya, “Wajar murah, kan kelasnya online, nggak ada fasilitas kampus.” Padahal yang disebut murah itu bukan murahan. Itu hasil efisiensi yang universitas lain belum tentu sanggup tiru.
Universitas Terbuka dikelola dengan sistem distribusi pendidikan yang canggih. Bahan ajar digitalnya bukan e-book sembarangan, tapi hasil riset dan pengembangan panjang.
Ujiannya terintegrasi nasional, sistem penilaiannya terpusat, dan datanya tersimpan rapi dalam infrastruktur digital yang mereka bangun jauh sebelum kata “transformasi digital” jadi tren. Di kampus lain, efisiensi dianggap pemotongan. Di Universitas Terbuka, efisiensi justru bukti kemampuan berimprovisasi.
Mahasiswa Universitas Terbuka hidup di dunia nyata
Yang menarik dari Universitas Terbuka adalah siapa penghuninya. Ada guru honorer di pelosok, perawat di rumah sakit kecil, ibu rumah tangga, buruh pabrik, TKI di luar negeri, bahkan pensiunan tentara. Semua masuk dalam satu sistem yang sama, belajar dengan cara yang sama, ujian di tempat yang sama.
Ini bukan kampus dengan satu warna mahasiswa. Dan di sana, kesetaraan bukan sekadar jargon. Nggak peduli mahasiswa siapa, kerja di mana, pakai baju apa. Selama mahasiswa bisa belajar, mahasiswa bagian dari universitas itu.
Bandingkan dengan kampus elite yang kadang terjebak pada kasta sosial, penampilan, atau gengsi. Universitas Terbuka justru menghancurkan semua itu. Karena di sini, yang penting bukan seberapa pintar mahasiswa bicara, tapi seberapa kuat mahasiswa bertahan.
Universitas Terbuka adalah jawaban atas kebutuhan, bukan nostalgia masa lalu
Banyak universitas masih sibuk memuja masa lalu. Soal tradisi, seremoni, simbol-simbol klasik. UT nggak sama sekali.
Ketika dunia semakin cepat, UT sudah siap dengan ritmenya. Saat perusahaan mulai rekrut karyawan berbasis skill, bukan ijazah fisik, UT sudah lama ada di sana. Saat dunia kerja butuh fleksibilitas, UT sudah mengajarkannya sejak semester pertama.
Universitas Terbuka tidak hidup di masa lalu. Dan di situlah letak masalahnya. Bukan UT yang ketinggalan, tapi banyak orang yang belum siap menyusul.
Teknologi bukan gimmick, tapi tulang punggung
Universitas Terbuka tidak menjual teknologi sebagai aksesoris. Platform belajarnya bukan tempelan. Sistem digitalnya bukan pajangan. Teknologi di UT itu bukan gaya, tapi nyawa.
Seluruh proses belajar, administrasi, sampai komunikasi mahasiswa-dosen sudah berbasis digital jauh sebelum kata metaverse lahir di seminar-seminar pendidikan. Universitas Terbuka bahkan jadi rujukan banyak negara berkembang untuk membangun model universitas terbuka di negaranya. Tapi ironisnya, di rumah sendiri, UT sering dianggap “kurang keren.”
Padahal kalau mau jujur, universitas konvensional baru belajar apa yang UT sudah kuasai sejak dekade lalu. Mereka baru sibuk bikin sistem daring, Universitas Terbuka sudah mengembangkan pembelajaran adaptif. Mereka baru risau soal drop out karena mahasiswa malas kuliah online, UT sudah punya sistem mentoring jarak jauh dengan tutor profesional.
Universitas Terbuka adalah kampus tanpa dinding, tapi punya fondasi kuat
Kelebihan UT justru ada pada ketakberbatasannya. Nggak ada pagar kampus, tapi ada ribuan titik layanan yang nyambung satu sama lain. Nggak ada jam kuliah tetap, tapi ada tanggung jawab pribadi yang justru lebih berat.
Universitas Terbuka bukan kampus yang memanjakan, tapi membentuk karakter. Bukan tempat buat cari kemudahan, tapi tempat buat diuji kedewasaan. UT bukan lembaga yang memberi jalan pintas, tapi jalan panjang yang harus mahasiswa lewati dengan tekad.
Makanya, jangan kaget kalau banyak lulusan UT justru tangguh di lapangan kerja. Mereka sudah ditempa oleh sistem yang keras tapi adil. Mereka nggak cuma pintar teori, tapi terlatih menavigasi realita.
Paradoks yang disengaja
Universitas Terbuka itu paradoks. Ia sederhana tapi kompleks. Murah, tapi mahal nilainya. Sepi, tapi sibuk.
Dan mungkin memang itu tantangan terbesarnya adalah menjelaskan kepada dunia bahwa modernitas tidak selalu berarti glamor, dan keterbukaan tidak berarti kelemahan. UT tidak butuh pengakuan dari kampus lain. Kampus ini hanya butuh waktu untuk terus membuktikan bahwa sistem pendidikan tanpa batas bukan mimpi, tapi kebutuhan.
UT bukanlah universitas yang tertinggal. Justru banyak universitas lain yang belum sanggup menyalipnya. UT tidak sekadar menjawab tantangan zaman. Dia menciptakan caranya sendiri untuk tetap relevan di tengah kekacauan.
Dan kalau masih ada yang bilang UT itu kampus murahan, mungkin mereka cuma belum siap. Belum siap menerima kenyataan bahwa masa depan pendidikan tinggi sudah berubah. Universitas Terbuka adalah bukti nyatanya. Universitas yang tidak menunggu perubahan, tapi menjadi perubahan itu sendiri.
Penulis: Marselinus Eligius Kurniawan Dua
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















