Sebagai seorang mahasiswi Universitas Negeri Malang (biasa disingkat UM), saya tentu tidak akan sering-sering bertandang ke kampus Universitas Brawijaya jika tidak ada keperluan. Saya juga kurang tahu menahu gimana isi kampus yang jauh lebih populer daripada kampus saya itu. Namun karena beberapa teman saya berkuliah di sana, secara tidak sadar kadangkala kami jadi saling membandingkan tempat studi kami. Perbandingan ini juga sebetulnya sudah sering kami lakukan sebelum menentukan perguruan tinggi lanjutan. Umumnya anak kelas tiga SMA lah.
Ketika melakukan perbandingan secara virtual, saya tidak menemukan banyak kejanggalan. Selain fakultasnya lebih banyak dan peringkatnya lebih bikin insekyur, saya kira tidak akan ada perbedaan yang signifikan. Toh sama-sama perguruan tinggi di kota yang sama, budaya keseharian yang diadopsi pasti tidak jauh berbeda. Rupanya saya salah besar. Ada banyak hal yang berhasil bikin saya terkejut, detailnya akan saya jelaskan di bawah ini.
Daftar Isi
Parkirannya penuh sampai malam
Waktu jadi mahasiswa baru di UM, saya akui kalau cari parkiran apalagi di GKB memang perlu agak effort. Tetapi biasanya kalau sudah agak siang ke sore, sudah banyak sekali ruang kosong tersedia buat ditempati motor-motor mahasiswa UM, Vario Kediri dan NMAX Mojokerto misalnya. Dari ujung ke ujung, pasti gak susah kok nyari tempat parkir.
Namun ternyata kemudahan tersebut tidak saya temukan sewaktu saya mengunjungi Universitas Brawijaya untuk pertama kali. Jadi ceritanya, saya waktu itu hendak merayakan ulang tahun salah seorang teman saya yang berstatus mahasiswa UB. Karena dia sedang mengerjakan urusan di gazebo UB, maka bersepakatlah kami bertemu di sana selepas isya. Anehnya, di waktu semalam itu saja, siapa sangka mencari spot kosong untuk parkir masih sama susahnya dengan war KRS awal semester, rame banget bro!
Situasi parkir saat saya berkunjung di hari lainnya pun tidak jauh berbeda. Saya sudah terhitung beberapa kali bertandang ke UB untuk bermacam-macam alasan seperti mengunjungi bookfair dan menyicipi soto-sate di kantin CL. Namun saya belum pernah mendapatkan tempat parkir dengan mudah. Kurang tahu juga sih apa saya yang kurang beramal sampai-sampai dipersulit terus begini.
Tapi serius deh, boleh dong teman-teman Universitas Brawijaya kasih tips dan trik dapat parkir dalam 5 menit biar saya nggak anxiety duluan tiap kali mau berkunjung.
Setelah melihat hal ini, saya rasa wajar sih kalau UM masih sering kalah dari UB, lha wong dari masuk parkiran saja, mahasiswa UB sudah terbiasa harus berlomba-lomba dengan kompetitif begitu. Kalau di UM mah, di dalem kelas juga kita masih bisa berleha-leha dengan tenang.
Baca halaman selanjutnya: Universitas Brawijaya kebanyakan gerbang…
Universitas Brawijaya kebanyakan gerbang!
Di UM, gerbangnya cuma ada 4, buka semua setiap hari aktif. Jelas. Besar semua. Tepat sama 4 arah mata angin. Kelihatanlah kalo itu gerbang bukan pintu masuk Alfamidi. Namun ketika saya di UB, ternyata sistemnya nggak begitu, beda dan bingungin banget sumpah!.
Pernah satu waktu saya masuk dan mengemudi di UB lewat gerbang Veteran, sekadar pengen jalan-jalan aja, nyari angin sambil nyari celah buat banding-bandingin UB sama kampus saya yang tidak seberapa itu. Selepas sekalian numpang salat di Masjid Raden Patah, saya iseng nih ikut jalan lurus, niatnya mau ke perpus, ternyata jalannya satu arah. Eh lha kok tahu-tahu saya sudah keluar kampus dan tembus Jalan Mayjend Panjaitan.
Tidak putus asa, saya mencoba masuk lagi nih, saya cari-cari pintu lainnya di jalan yang sama, sampai akhirnya nemu satu di kiri jalan. Saya merasa sudah ada di jalan yang benar, sampai pertigaan teknik, dengan sok tahu intuisi saya mengatakan mending belok kanan aja. Eh beberapa saat kemudian, saya sudah keluar kampus lagi, kali ini tembus Watugong, kampus apa sih ini? Aneh banget!
Saya bahkan nggak tahu itu kehitung gerbang apa nggak karena setahu saya, yang namanya gerbang itu kan gede ya, yang saya lewatin itu kayaknya lebih mirip gapura masuk RT deh. Sampai sekarang pun saya masih heran karena akses keluar masuknya banyak sekali. Saya juga nggak bisa melihat tanda-tanda mau keluar gerbang, jadinya lumayan panik tiap kali jalan ke arah pintu keluar. Rasanya nggak berlebihan deh kalo saya ngira tiap fakultas punya gerbangnya sendiri karena hal ini.
Universitas Brawijaya nggak cocok untuk slow living
Di area sekitaran UM, nggak susah mencari tempat-tempat tenang yang ada kicauan burungnya buat saya jadikan tempat overthinking. Entah di daerah taman trapesium, perpustakaan, ataupun masjid. Jalanan di dalam UM juga cenderung lengang dan luas sehingga membuat kampus cakrawala ini terasa lapang, tenang, dan kondusif untuk kegiatan pembelajaran sehari-hari.
Ketika berkunjung ke kampus seberang, rasa-rasanya dunia bergerak lebih cepat. Barangkali saya yang kurang sering atau hanya datang di waktu-waktu sibuk saja. Tapi rasa-rasanya, UB ini emang dari universe lain, deh. Parkirannya penuh terus. Kantin sama selasar-selasarnya juga hampir gak pernah kosong. Jalanan dalam kampusnya padat dan kendaraannya kenceng semua. Lengah dikit bisa nyasar karena terbawa arus. Semuanya terasa lebih sibuk dan padat aja gitu.
Ini anak-anak Universitas Brawijaya nggak ada yang mau bengong aja di kampus gitu biar image kampusnya jadi agak chill dikit? Mereka juga nggak ada kepikiran istirahat sejenak cuma buat ngelus-ngelus kucing aja gitu kah? Atau kalau butuh saran kegiatan santai lainnya, mancing aja deh mancing juga enak.
Bukan bermaksud membanding-bandingkan, just sharing aja
Tentu, semua gegar budaya yang saya sebutkan di atas bukan selalu berarti buruk dan negatif. Ini hanya bentuk ungkapan keterkejutan saya saja sebagai mahasiswa yang belum begitu banyak eksplor daerah sekitar Kota Malang. Pengalaman saya justru menunjukkan kalau di satu kota yang sama, dua universitas yang cuma terpisah sekian ratus meter saja bisa memiliki perbedaan kebiasaan hidup yang begitu signifikan.
Barangkali hal ini juga bisa jadi pelajaran buat teman-teman mahasiswa. Jangan lupa cari tahu dulu tutorial survive di Universitas Brawijaya untuk pemula biar enggak nyasar-nyasar kayak saya. Siapa tahu juga, pengalaman saya ini bisa jadi ide konten untuk tim humas UB buat klarifikasi sebenernya gerbang UB tuh ada berapa dan dimana aja sih.
Terakhir, buat anak-anak UM yang masih sering gagal move on dari UB, jangan khawatir, semua ada hikmahnya. Semua hal itu ada plus minusnya kok, termasuk UM the only one kita. Kampus medioker kita ini masih enak dibuat merenungi hidup di tiap sudut, jalannya gede, kalau nyari parkir nggak sesusah UB, nyari gerbang apalagi, patut disyukuri banget lah intinya.
Penulis: Argya Wahyu Widyadhana
Editor: Rizky Prasetya