Ciye yang sekarang ada Malioboro-nya di samping Ringin Contong. Jombang biar kekinian kayak Ponorogo dan Tegal, ya? Iya, pembangunan memang langkah pasti untuk mengejar pertumbuhan ekonomi abadi, kok.
Pembangunan Jalan Wahid Hasyim menyerupai Malioboro yang katanya sebagai pencapaian sebuah prestasi bagi pemerintah Kabupaten Jombang, menurut saya sangat ramashok. Jogja memang istimewa. Begitupun Jombang juga tak kalah istimewa dengan segala keragaman yang dipunya. Mbok ya kalau pengin mbagun sesuatu, coba deh jalan di Dusun Kedung Dendeng, Desa Jipurapah, Kecamatan Plandaan itu dilihat. Kalau musim hujan jalannya licin baget, tapi kalau kemarau bleduk ra karuwan. Bangun jalannya di sana saja, biar anak-anak yang mau lanjut sekolah ke jenjang yang lebih tinggi nggak kesulitan pergi ke sekolah.
Bagi saya, pertimbangan untuk membangun jalan Wahid Hasyim sangat ngadi-ngadi. Bagaimana tidak? Kepala Dinas Perkim Jombang menganggap bahwa pembangunan ini penting dengan mempertimbangan tiga hal. Pertama, pembangunan ini sebagai tempat agar bisa menampung luapan air di area alun-alun Jombang dan di Jalan KH Wahid Hasyim. Plus untuk mengurangi banjir. Kedua, katanya, Jombang gini-gini saja sejak beliau masuk pada 1980. Dan pembangunan ini untuk mengakomodir pedestrian dan orang berkebutuhan khusus. Ketiga, mereka ingin Jombang ada wisata lokal sebagai tempat santai bersama keluarga.
Tapi gini, Pak, Bapak ingat, bukan? Sebelumnya, sepanjang jalan ini berjejer pohon berdiameter lebar tinggi menjulang, dengan kanopi rapat yang membentuk lorong yang adem. Bapak masih ingat juga nggak pelajaran IPA tentang manfaat pohon? Betul, Pak, selain sebagai penghasil oksigen, pohon juga punya manfaat sebagai penyimpan cadangan air.
Lha kalau pohon-pohon tersebut ditebang dan diganti bola-bola marmer, apa bisa itu mengatasi banjir? Atau bapak coba cek tata ruang kotanya, apa sudah mumpuni untuk daerah resapan? Kok, saya lihat sawah-sawahnya kini sudah nggak panen padi atau jagung, tapi malah perumahan.
Ngapunten, Pak, pertimbangan yang kedua kok rasanya begitu aneh, ya. “Jombang gini-gini aja” itu yang bagaimana, ya? Selama belasan tahun hidup di Jombang, menurut saya nggak begitu-begitu saja, Pak. Sawah-sawah dekat kampung saya sudah pada hilang dan ganti ditanami beton, misalnya.
Kalau untuk mengakomodir pejalan kaki dan orang berkebutuhan khusus, itu memang perlu, Pak. Tapi, nggak gitu juga caranya. Maksudnya, nggak perlu lah sampai harus bikin jalan selebar itu. Lebih penting, bikin secukupnya saja, tapi menyeluruh ke seluruh penjuru Kabupaten. Toh, orang yang berjalan kaki maupun yang berkebutuhan khusus, mobilitasnya nggak di Jalan Wahid Hasyim aja, kan?
Sementara untuk pertimbangan yang ketiga, bukankah kita sudah punya Kebon Rojo? RTH kesayangan anak saya karena banyak jajan dan mainan di sana. Itu letaknya di Jalan Wahid Hasyim juga, loh. Saya rasa tempat ini sudah mumpuni: tempatnya adem, ada playground, ada pencel pincuk, sempol, bakso, mi ayam, dan banyak lagi yang bikin libur kecil kaum kusam seperti saya dan keluarga, terasa sangat menyenangkan.
Bagi saya, Jalan Wahid Hasyim adalah jalan istimewa yang menyimpan kenangan di pagi hari dari Senin sampai Sabtu, selama enam tahun lamanya. Bagi sobat len (angkutan umum) dari arah terminal (jalan Soekarno Hatta) menuju Cukir (makam Gus Dur ) atau kompleks sekolahan di jalan Diponegoro, pasti juga punya sejuta kenangan dengan jalan ini.
Melewati jalan sepanjang 2 km yang membentang dari Ringin Contong sampai depan Lapas Jombang selalu memberi warna tiap musimnya. Ketika kemarau datang, jalan ini masih adem dengan “kanopi lebat” di sepanjang jalan. Pada musim hujan pun tak kalah syahdu.
Selain musim hujan dan kemarau, jalan ini juga punya musim gugur. Coba saja kamu lewat ketika pohon-pohon Johar sedang berbunga. Bunga-bunga kuning akan berguguran tertiup angin. Romantis baget, deh apalagi sambil memandang keluar jendela len. Fiks, sinematografinya udah film abis!
Kamu nggak perlu pergi ke negara empat musim untuk melihatnya bunga-bunga jatuh berguguran, cukup datang saja ke Jalan Wahid Hasyim Jombang. Eh, tapi itu dulu, sekarang sih sudah ditanam bola-bola marmer dengan tiang lampu besi berjejer kaku yang katanya tiruannya Malioboro.
Sumber Gambar:Â Unsplash