Uang pembinaan itu mencurigakan. Nominalnya berapa? Memangnya bakal dibina?
Dua bulan silam pernah viral berita tentang hadiah juara ketiga dalam Kejuaraan Bulutangkis Bupati Cup 2022 di Kabupaten Pekalongan sebesar lima puluh ribu rupiah. Kabar tersebut viral salah satunya karena nominal duit yang nggak wajar. Orang tua dari anak yang menjuarai lomba tadi kecewa kerja keras anaknya diganjar uang pembinaan yang tidak masuk akal.
Dalam suatu perlombaan, lazimnya tentu menyertakan hadiah bagi pemenangnya. Adanya hadiah ini sangat penting kedudukannya. Selain memotivasi para peserta dalam mengikuti perlombaan, keberadaan hadiah juga menambah semarak dan greget kompetisi. Sayangnya, terkhusus untuk perlombaan yang diikuti kalangan pelajar atau mahasiswa, kadang wujud hadiahnya tidak ditulis secara spesifik. Penyebutan secara spesifik misalnya hadiah bagi juara pertama berupa uang dua juta rupiah dan sertifikat juara. Lain halnya dengan yang tidak disebut spesifik biasanya ditulis dengan istilah uang pembinaan.
Sekilas, tampak tidak ada yang keliru dengan istilah uang pembinaan. Istilah ini terdengar aman, santun, dan elegan. Label uang pembinaan juga banyak dijumpai di iklan lomba yang dapat dengan mudah kita temukan via Instagram. Dulunya saya pun berpikiran demikian sampai akhirnya saya mengalami sendiri betapa janggalnya penerapan istilah tersebut. Setidaknya terdapat dua hal substansial dan esensial yang cukup mengganjal di benak saya terkait uang pembinaan.
Pertama, tak ada transparansi
Setahun silam saya pernah mengikuti lomba menulis paper yang diadakan oleh salah satu universitas. Dalam poster iklan lombanya tertera juara pertama hingga keempat memperoleh e-sertifikat dan uang pembinaan. Pikiran publik tentunya normal jika mengarah pada adanya nominal uang dengan jumlah yang tidak kecil-kecil amat dengan gradasi pembeda antar peringkat juara lomba yang tegas.
Membuat paper itu tidak mudah. Kamu perlu melakukan riset di lapangan, mengolah banyak jurnal dan referensi literatur yang kredibel, serta merciknya menjadi karya tulis yang enak dibaca. Di sisi lain lomba ini berskala nasional. Keempat finalis (yang nanti menjadi juara) juga mendapat kesempatan mempresentasikan papernya dalam sesi seminar nasional yang pembicaranya berstatus profesor dan doktor. Wajar jika lomba ini dipandang sebagai kompetisi yang bergengsi.
Nyatanya tidak demikian. Di akhir lomba, saya diumumkan sebagai juara pertama. Bisa menebak berapa hadiah yang diberikan panitia? Seratus ribu rupiah. Yups, kamu tidak salah baca. S E R A T U S R I B U.
Lomba paper tingkat nasional yang diselenggarakan kampus memberikan apresiasi pada juara serendah itu. Saya kian dongkol saat bertanya pada peserta lomba yang menjadi juara keempat. Dari pengakuannya, dia sebel karena dapat hadiah seratus ribu rupiah. Lhaaa kok hadiahnya dia sama persis dengan saya. Dia yang juara keempat saja sebel, apalagi saya yang juara pertama. Aneh banget dan blasss ra mashokkk.
Saya kemudian protes kepada panitia dan mereka mengakui jika hadiahnya memang bernominal di angka tersebut. Saya pun berpikir jangan-jangan istilah uang pembinaan ini dijadikan sebagai dalih agar panitia lomba bisa ngapusi peserta. Tercium aroma indikasi ketidakjujuran di sini. Barangkali mereka sungkan jika memasang iklan lomba bertuliskan “juara pertama memperoleh uang seratus ribu rupiah”. Sungkan karena sadar diri plus insecure kok hadiahnya dikit amat. Mungkin lebih tepatnya juga malu sebab nominal tersebut memang nggak wajar.
Apa pun argumentasi dari panitia, sebaiknya nominal hadiah itu disebutkan secara jelas, gamblang, dan tanpa tedheng aling-aling. Bukannya sebagai peserta sok matre, namun semua yang ikut lomba yo mestine ngincer menang dan hadiahe to yo. Mosok yo ngincer kalah. Ketahuilah pula bahwa istilah uang pembinaan itu bersifat abstrak.
Kedua, nggak ada pembinaan
Menurut KBBI, pembinaan diartikan sebagai usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Sekarang mari kita lihat, apakah uang pembinaan itu memang memiliki pemaknaan membina kepada para pemenang lomba? Apakah pemberian uang seperti yang seratus ribu rupiah tadi itu dapat disebut sebagai upaya membina? Bukankah interaksi antara panitia lomba dengan peserta lomba umumnya bersifat relasi transaksional yang bermuara pada CTL alias cul tinggal lungo? Hal yang diartikan bahwa panitia memberikan hadiah pada juara dan sudah gitu doang, pergi dan selesai.
Jujur saja saya malah penasaran dari mana awalnya muncul istilah uang pembinaan. Membina saja nggak, kok bisa-bisanya menyematkan istilah pembinaan. Jika ingin dimaknai secara tepat, setelah penyerahan hadiah lomba, panitia membina, mendampingi, dan menyertai proses tumbuh kembang peserta yang menjadi juara tadi agar dapat lebih bagus lagi ke depannya. Dalam hal ini mestinya terdapat proses terencana yang kontinyu dan berkesinambungan dari panitia pada pemenang lomba pasca selesainya perlombaan.
Itu jika mau dimaknai secara benar lho ya. Kalau nggak mau, ya sudah jangan menyematkan label uang pembinaan dalam iklan lombanya.
Belajar dari pengalaman tadi, ada baiknya jika kamu mau mengikuti lomba entah lomba menulis puisi, cerpen, esai, karya tulis ilmiah, atau membuat desain poster, tolong lihat dulu apakah hadiahnya disebutkan dengan jelas angkanya atau masih bermodus uang pembinaan. Bisa juga dengan menghubungi contact person panitia dulu yang biasanya dicantumkan di iklan lomba jika sekiranya masih ragu.
Memang di luar kejadian tadi masih banyak kok panitia lomba yang memberikan uang pembinaan dengan angka yang layak dan sip. Kebetulan saja saya yang ketiban apes dalam lomba paper tersebut. Semoga keapesan saya dapat menjadi hikmah bagi kamu yang gemar ikut lomba. Pengecualian bagi kamu yang ikut lomba tetapi ora nggagas hadiahnya. Saya kirimkan salam hormat untuk itu.
Penulis: Christianto Dedy Setyawan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Lomba Gratisan di Instagram Sukses Bikin Saya Jadi Manusia yang Emosian