Perkara ruang publik dan ruang hijau juga direnggut oleh sektor pariwisata. Krisis ruang terbuka hijau di Jogja tidak hanya diakibatkan keterbatasan lahan. Tapi juga berebut lahan untuk perhotelan. Sebagai daerah tujuan wisata, kebutuhan hotel di Jogja terus meningkat. Yang berarti makin sempitnya area yang bisa menjadi ruang terbuka hijau. Bahkan sampai saat ini, target 30 persen ruang terbuka hijau masih belum terealisasikan.
Ketersediaan ruang publik juga sama saja. Justru lebih menyedihkan karena warga Jogja harus berebut ruang publik dengan wisatawan. Sudah bisa dibayangkan bagaimana warga lokal harus berebut dengan 7 juta wisatawan yang datang silih berganti. Belum lagi akses menuju ruang publik yang terhalang kemacetan akibat luapan wisatawan. Turis menguasai Jogja, dan warganya hanya menjadi penonton. Lebih parahnya, menjadi tontonan para turis.
Sekda Kota Yogyakarta sampai mengimbau agar warganya jangan bepergian. Agar warga lokal memberi kesempatan untuk para pelancong berwisata dengan nyaman. Dari imbauan ini saja, sudah terlihat bagaimana ruang publik dan ruang hidup warga sudah direbut wisatawan. Bahkan harus mengalah pada para pelancong yang digadang menghidupkan perekonomian.
Namun itu semua belum cukup. Paku peti terakhir disumbang oleh gentrifikasi, seakan menyempurnakan pembunuhan. Mass Tourism menjadi promotor utama untuk berinvestasi hunian di Jogja. Mereka yang merasakan “romantisnya” Jogja berebut untuk memiliki hunian. Akibatnya, harga hunian terus meroket, sedangkan warga tidak punya cukup kapital untuk memiliki hunian
Gentrifikasi ini tidak main-main. Pengalaman keluarga saya, harga tanah di Jogja bisa melonjak hanya dalam hitungan minggu. Bayangkan, kami membeli tanah pada 2011-2012 di pinggiran jogja seharga 50 jutaan. Seminggu kemudian, ada yang menawar tanah kami seharga 70 jutaan. Ini tidak terjadi sekali, tapi beberapa kali terjadi sampai titik keluarga kami tidak bisa membeli tanah baru.
Maka tidak perlu kaget berlebihan ketika generasi muda Jogja tidak bisa membeli rumah. Mereka harus bersaing dengan kelompok masyarakat luar yang mempermainkan harga pemukiman. Semua akibat dari gentrifikasi di tanah kelahiran mereka sendiri. Dan diakibatkan oleh sektor pariwisata yang digadang menyelamatkan ekonomi mereka.
Lalu apa yang harus dilakukan? Jogja terlanjur ramah bagi wisatawan. Di satu sisi turis membunuhnya. Mungkin yang bisa dilakukan hanya melihat pembunuhan ini. Jogja yang istimewa sedang dihajar turis. Dibekap oleh tumpukan sampah wisatawan. Dicekik oleh perebutan ruang publik. Dan dikubur oleh gentrifikasi.
Kali ini, turu tetap beresiko. Karena ketika Anda tidur, melupakan semua, kota ini sedang tercekik kekurangan oksigen. Perlahan, lembut, dan pasti.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kok Bisa Ada Orang Bahagia di Jogja, padahal Hidup Mereka Susah?