Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Tugu Jogja Kini Lebih Menarik Bagi Warga Lokal dan Wisatawan ketimbang Malioboro yang Terlalu Ramai dan Kaku

Marselinus Eligius Kurniawan Dua oleh Marselinus Eligius Kurniawan Dua
31 Oktober 2025
A A
Tugu Jogja Kini Lebih Menyenangkan ketimbang Malioboro (Unsplash)

Tugu Jogja Kini Lebih Menyenangkan ketimbang Malioboro (Unsplash)

Share on FacebookShare on Twitter

Ada perubahan kecil tapi terasa di malam Jogja. Dulu, Malioboro adalah pusat segalanya. Tapi, beberapa tahun terakhir, arah itu mulai bergeser. Orang kini lebih suka nongkrong di sekitar Tugu Jogja. Kawasan yang dulunya hanya jadi spot foto kini menjelma jadi ruang hidup malam yang lebih segar, lebih ringan, dan lebih jujur.

Malioboro terlalu sibuk

Malioboro sekarang sudah seperti panggung besar yang kehilangan spontanitasnya. Jalan kaki di sana tak lagi santai dan menyenangkan. Setiap langkah terasa seperti bagian dari antrean panjang manusia yang sama-sama mencari “suasana” tapi justru kehilangan esensinya.

Tata wajahnya memang lebih rapi. Tapi justru di situ masalahnya. Malioboro kini seperti taman buatan. Teratur tapi tidak lagi hangat. Ada jarak antara pengunjung dan kota. Dulu ada chaos kecil yang menyenangkan, kini yang tersisa hanya formalitas.

Banyak orang lokal merasa tidak nyaman lagi. Nongkrong di sana terasa seperti jadi bagian dari pameran wisata, bukan kegiatan alami malam hari. Akhirnya mereka bergeser Tugu Jogja yang masih menyisakan spontanitas dan kehidupan asli kota ini.

Tugu Jogja menawarkan simplicity yang hilang

Di sekitar Tugu Jogja, suasananya lebih santai. Orang datang bukan untuk berbelanja, tapi untuk duduk, mengobrol, atau menikmati udara malam sambil melihat lalu lintas yang mengalir pelan.

Tidak ada musik keras atau deretan toko oleh-oleh. Hanya bangku-bangku sederhana, lampu jalan, dan tawa-tawa kecil. Suasana ini mengingatkan pada Jogja lama, yang tidak terburu-buru, dan hangat.

Di sana, semua orang bisa merasa bebas. Mahasiswa, turis, warga lokal, hingga pengamen kecil yang bernyanyi di trotoar. Semuanya bercampur tanpa sekat. Tidak ada yang terasa seperti sedang menjual suasana.

Tempat nongkrong yang terus tumbuh di sekitar Tugu Jogja

Beberapa tahun terakhir, kawasan sekitar Tugu Jogja dipenuhi kafe dan tempat nongkrong baru. Tapi yang menarik, kebanyakan tempat itu tidak bergaya mewah. Mereka sederhana tapi punya karakter.

Baca Juga:

Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya

Boleh Membanggakan SCBD Jogja, tapi Jangan Lupakan Gamping dan Mlati Sleman yang Akan Menjadi The Next SCBD Jogja Barat

Ada kafe kecil yang cuma jual kopi susu tapi ramai sampai dini hari. Kamu bisa menemukan angkringan yang tidak pernah sepi pengunjung.

Semua itu membentuk atmosfer yang sulit dicari di Malioboro. Di Malioboro, semua terasa komersial. Di Tugu Jogja, semuanya terasa spontan. Orang tidak datang karena promo, tapi karena nyaman.

Momen dan pemandangan yang tidak terlalu diatur

Salah satu daya tarik Tugu Jogja adalah kesederhanaannya. Hanya tugu putih di tengah simpang besar. Tapi justru di situlah magisnya. Ketika malam datang dan lampu kota menyala, tugu itu terlihat seperti pusat kecil yang menenangkan.

Banyak orang datang untuk sekadar duduk di trotoar, memandangi kendaraan yang melintas, atau menunggu momen foto dengan latar sebuah tugu yang ikonik.

Malioboro terlalu dikurasi

Masalah utama Malioboro sekarang adalah rasa spontan yang hilang. Semua terasa diatur. Dari penataan PKL sampai rute jalan kaki. Suasana yang dulu hidup justru hilang di balik rapi dan tertib.

Orang datang untuk foto, bukan untuk ngobrol. Datang untuk konten, bukan untuk menikmati suasana. Semuanya berjalan seperti skenario wisata yang sudah disiapkan pemerintah. Tidak ada lagi ruang kebetulan, tidak ada lagi interaksi alami.

Ketika semua sudah terlalu dirancang, yang tersisa hanya permukaan. Sementara Tugu Jogja masih menyimpan ketidakteraturan yang menyenangkan. Masih ada ruang untuk kejadian tak terduga.

Tugu Jogja sebagai titik tengah yang netral

Tugu Jogja juga punya posisi strategis. Letaknya di tengah. Dekat dengan hotel, Pasar Kranggan, dan jalan besar sebagai akses ke banyak tempat.

Itu sebabnya Tugu menjadi semacam titik temu alami. Banyak orang janjian di sana sebelum berangkat ke tempat lain. Ada yang hanya mampir sebentar untuk foto, ada yang nongkrong sampai larut tanpa tujuan.

Tempat ini tidak menuntut. Tidak memaksa siapa saja menjadi turis atau konsumen. Orang bisa datang hanya untuk diam. Dan itu sesuatu yang sulit didapat di Malioboro.

Perubahan wajah kota yang tak terhindarkan

Jogja memang berubah. Kota ini tumbuh cepat, tapi tidak semua perubahan bisa diterima dengan hangat. Malioboro adalah contoh paling jelas. Penataan yang bertujuan baik justru membuatnya kehilangan denyut lokal.

Sementara Tugu Jogja, dengan segala kesederhanaannya, tetap bisa beradaptasi tanpa kehilangan karakter. Ia tetap jadi simbol kota, tapi kini juga jadi ruang sosial baru. Tempat di mana generasi muda Jogja merasa lebih bebas, lebih autentik, lebih nyambung dengan kota mereka sendiri.

Nongkrong yang tidak harus terlihat mewah

Banyak orang memilih Tugu Jogja karena suasananya tidak menuntut gaya hidup tertentu. Mau duduk lesehan di trotoar boleh. Mau beli kopi di warung kecil boleh. Tidak ada batasan. Tidak ada citra yang harus dijaga.

Semua orang datang dengan alasan sederhana. Karena ingin berbicara, menjadi bagian dari kota ini, dan  menikmati malam tanpa merasa sedang diawasi. Di Malioboro, semuanya terasa seperti etalase. Di Tugu, semuanya terasa nyata.

Akhirnya semua tentang rasa nyaman

Ketika malam semakin larut, suasana di sekitar Tugu Jogja justru makin hidup. Ada tawa, cerita, dan kendaraan yang hilir mudik tanpa arah.

Malioboro tetap jadi ikon. Tapi Tugu Jogja kini menjadi tempat di mana kehidupan malam Jogja bernafas. Tidak besar, tidak mewah, tapi hangat. Tempat yang membiarkan orang datang dan pergi tanpa tujuan, tapi selalu ingin kembali.

Di bawah cahaya putih tugu yang berdiri tenang, Jogja terasa lebih jujur. Lebih apa adanya. Dan mungkin itu yang membuat orang kini lebih memilih Tugu daripada Malioboro. Karena di sana, Jogja masih terasa seperti Jogja.

Penulis: Marselinus Eligius Kurniawan Dua

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Bisakah Kita Bertemu di Tugu Jogja dalam Jarak Sepuluh Tahun?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 31 Oktober 2025 oleh

Tags: JogjaMalioboromalioboro jogjatugutugu jogjaTugu Pal Putihwisata jogja
Marselinus Eligius Kurniawan Dua

Marselinus Eligius Kurniawan Dua

Guru yang baru terjun di dunia menulis. Gemar main game, jalan-jalan, dan kulineran. Suka membahas tentang daerah, sosial, ekonomi, pendidikan, otomotif, seni, budaya, kuliner, pariwisata, dan hiburan.

ArtikelTerkait

Fakta Buruknya Kondisi Jalanan di Jogja dan Surabaya (Unsplash)

Jalanan Jogja Semakin Parah. Sama Parahnya seperti Kota Surabaya yang Menjadi Kota Paling Macet di Indonesia

11 Januari 2024
boso walikan mojok

Boso Walikan Mataraman: Sandi para Kriminal yang Beralih Menjadi Sapaan Akrab

8 Juli 2020
6 Rekomendasi Kuliner Babi di Jogja yang Bisa Kalian Coba Saat Liburan Natal dan Tahun Baru

6 Rekomendasi Kuliner Babi di Jogja yang Bisa Kalian Coba Saat Liburan Natal dan Tahun Baru

4 Desember 2023
Pentingnya Kerja Cerdas dan Work-Life Harmony agar Ngarso Dalem Nggak Kerja 24/7 terminal mojok.co

Pentingnya Kerja Cerdas dan Work-Life Harmony agar Ngarso Dalem Nggak Kerja 24/7

5 Juli 2021
Jogja Mahal, karena yang Murah Hanya Upah Pekerjanya (Unsplash)

Jogja Mahal, karena yang Murah Hanya Upah Pekerjanya

10 Juli 2024
9 Masjid Terdekat dari Tugu Jogja

9 Masjid Terdekat dari Tugu Jogja, Semuanya Aman dan Terawat

3 April 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

26 Desember 2025
Motor Honda Win 100, Motor Klasik yang Cocok Digunakan Pemuda Jompo motor honda adv 160 honda supra x 125 honda blade 110

Jika Diibaratkan, Honda Win 100 adalah Anak Kedua Berzodiak Capricorn: Awalnya Diremehkan, tapi Kemudian jadi Andalan

20 Desember 2025
4 Alasan Orang Jakarta Lebih Sering Liburan ke Bogor daripada ke Pulau Seribu

4 Alasan Orang Jakarta Lebih Sering Liburan ke Bogor daripada ke Pulau Seribu

25 Desember 2025
Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, tapi Layanan QRIS-nya Belum Merata Mojok.co

Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, Sayang Layanan QRIS-nya Belum Merata 

24 Desember 2025
Desa Sumberagung, Desa Paling Menyedihkan di Banyuwangi (Unsplash)

Desa Sumberagung, Desa Paling Menyedihkan di Banyuwangi: Menolong Ribuan Perantau, tapi Menyengsarakan Warga Sendiri

22 Desember 2025
Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

26 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa
  • Sempat “Ngangong” Saat Pertama Kali Nonton Olahraga Panahan, Ternyata Punya Teropong Sepenting Itu
  • Pantai Bama Baluran Situbondo: Indah tapi Waswas Gangguan Monyet Nakal, Itu karena Ulah Wisatawan Sendiri

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.