Kalau kamu pernah lewat Pabelan yang sering dikira Solo padahal secara administrasi itu Sukoharjo kamu pasti kenal bangunan merah-hitam yang tegak gagah di pinggir jalan lingkar. Namanya Transmart Solo. Walaupun, kalau dipikir baik baik, unsur Solo-nya cuma ada di namanya. Letaknya Kartasura, tapi ya sudahlah.
Dalam dunia retail, branding sering lebih menang dibanding geografi. Yah, padahal lebih tepat sebagai disebut Transmart Pabelan, dan memang dikenal dengan nama itu, meski sudah pakai branding Solo.
Dulu, waktu baru buka, tempat ini rame banget. Parkirnya penuh, pintu putarnya macet, dan eskalator yang bunyinya “ngiiing-ngiiing” itu sibuk ngangkut ratusan sepatu per jam. Ada yang belanja beneran, ada yang cuman numpang AC, ada yang foto di depan tulisan “Transmart” biar feed Instagramnya keliatan metropolitan.
Tapi sekarang?
Masuk ke Transmart Pabelan rasanya kayak masuk gedung yang baru selesai dievakuasi. Sepi. Senyap. Lengang. Bahkan suara langkah kakimu sendiri jadi terdengar dramatis, seolah kamu lagi syuting film thriller budget minim. Lantai dua? Udah kayak ruang isolasi: luas, terang, dan kosong.
Di YouTube udah banyak yang ngulas, dari yang jalan-jalan sore sampai yang jalan-jalan malam, dan kesimpulannya sama: luasnya masih mall, tapi suasananya sudah seperti museum tanpa kurator. Tenant tutup, lampu beberapa wilayah meredup, dan eskalator tetap jalan… meski nggak jelas mau ngangkut siapa.
Gedungnya besar, vibes-nya kecil
Ironi terbesar dari mall ini cuma satu: gedungnya besar, tapi vibes-nya kecil.
Transmart ini asalnya Carrefour, pusat belanja keluarga yang dulu bisa bikin orang rebutan trolley. Tapi sejak rebranding, banyak gerainya di Indonesia mulai goyah. Bukan semata salah mereka, tapi karena perilaku belanja kita udah berubah: marketplace makin gila, diskon online makin edan, dan mall bukan lagi tempat wisata keluarga mingguan.
Jadinya, Transmart Jogja sepi, Transmart Setiabudi banyak tenant gulung tikar, dan Transmart Pabelan… ya begitu. Luasnya sih masih, tapi pengunjungnya sudah kayak rapat RT yang cuma dihadiri tiga orang dan semuanya datang karena dapat jatah snack.
Mall segede itu kalau kosong, yang ngeri bukan hantunya.
Transmart Pabelan strategis, tapi…
Jujur, Transmart Pabelan itu lokasinya lumayan strategis. Deket jalur ramai, deket pemukiman, deket area kampus Kartasura dan gampang banget dijangkau kendaraan. Tapi se-strategis apa pun, kalau pengunjung lebih milih ke Hartono, Solo Square, The Park, atau bahkan Indomaret AC dingin… ya susah.
Transmart Pabelan akhirnya kayak rumah mantan yang dulu rame dikunjungi, tapi sekarang cuma dilirik pas lewat sambil mikir, “Oh… masih buka tho?
Kalau kamu masuk hari ini, kamu akan menemukan beberapa tenant yang masih nyala. Mereka itu seperti pedagang yang tetap buka meski pasar sudah pindah lokasi. Rasanya pengen kita datengin satu-satu sambil bilang, “Terima kasih sudah bertahan.”
Lampu beberapa spot menyala setengah. Lorong-lorong kosong. Penjualnya berdiri sambil senyum, bukan karena ramai, tapi karena kamu mungkin satu-satunya orang yang lewat pagi itu.
Transmart mall lain sibuk bikin event. Transmart Pabelan sibuk bikin keheningan.
Parkiran mall ini luasnya nggak main-main. Tapi, luas bukan berarti terisi. Kalau mall lain bikin kamu muter 12 kali kayak zikir keliling, Transmart Pabelan justru bikin kamu bingung mau parkir di mana saking kosongnya. Mau parkir di depan pintu? Bisa. Mau parkir sambil pilih angle yang instagramable? Bisa banget. Kalau hujan, yang terdengar cuma suara hujan. Bukan suara motor masuk.
Daya tarik Transmart dulu adalah wahana bermainnya. Roller coaster mini, area permainan, dan lantai atas yang selalu hidup. Sekarang wahananya masih ada, lampunya masih nyala, tapi pengunjungnya kadang cuma satu keluarga. Jalan ke area wahana itu rasanya seperti masuk zona nostalgia: dulu ramai, sekarang tinggal bayangannya. Kayak kenangan yang cuma bisa dilihat, bukan diulang.
Pada akhirnya, segala yang berjaya belum tentu berkarib dengan kata selamanya. Transmart Pabelan mungkin dulu bikin orang terpana hingga rela berdesak-desakan. Tapi kini, memorinya pelan-pelan memudar. Yang tersisa adalah keheranan orang, bahwa bangunan ini tetap berdiri, meski terlihat mati suri.
Penulis: Putri Ardila
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Transmart Pabelan Solo: Dulu Digdaya, Kini Menatap Muram-muram Duka
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















