Belakangan ramai di media sosial X tentang kicauan seseorang yang mengeluhkan sebuah merchant yang tidak menerima pembayaran tunai. Setelah saya cek, lokasi merchant itu terletak di salah satu kawasan di Jakarta, tepatnya di Plaza blok M. Di Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia, merchant seperti cafe atau toko retail memang acap kali hanya menerima pembayaran non-tunai (cashless). Kemajuan teknologi mengubah model transaksi menjadi berbasis pada digital (cashless).
Orang yang pembayarannya ditolak itu tentu saja kesal. Rasanya aneh saja, mata uang yang sah ditolak dengan dalih aturan cashless yang diberlakukan oleh pihak merchant.
Sebagai warga negara yang mencintai uang rupiah (meski nilainya naik turun nggak karuan), saya memahami keresahan orang yang pembayarannya ditolak itu. Karena konsumen adalah raja, tentu punya hak membayar sesuatu dengan alat pembayaran yang sah, sesuai dengan apa yang diberlakukan secara umum dan diakui undang-undang, kan?
Sayangnya, kicauannya justru mengundang reaksi cibiran dari banyak netizen. Mereka menganggap keluhan tersebut lebay. “Kalau merchant hanya menerima transaksi cashless, ya tinggal pindah tempat, nggak usah lebay. Dasar aneh.” Kurang lebih begitu komentar salah satu netizen.
Dalih mereka adalah sistem cashless yang diberlakukan oleh merchant adalah bentuk efisiensi transaksi, proteksi terhadap fraud, dan mencegah penggunaan uang palsu. Terlebih zaman yang sudah modern begini, kok masih ada orang yang gak mau cashless ketika bertransaksi, apalagi ketika di swalayan atau pusat perbelanjaan modern. Bagi mereka, kalau mau tunai ya ke pasar saja seperti Pasar Kramat Jati, Pasar Senen, Pasar Jatinegara, dan sejenisnya.
Daftar Isi
Nggak semua orang paham transaksi cashless
Bagi saya, segala cibiran yang dilontarkan oleh netizen ini yang aneh dan lebay. Semua dalil yang mereka katakan hanya berdasarkan pada perspektif merchant atau produsen. Misalnya soal efisiensi. Jelas ini hanya untuk memudahkan pihak merchant karena tinggal menunjukan barcode pembayaran. Pemantauan dan pencatatan transaksi juga lebih mudah dilakukan.
Akan tetapi bagi konsumen nggak selalu demikian. Sering terjadi kondisi ketika sinyal sedang seret, m-banking atau e-wallet yang eror, atau memang si konsumen nggak paham menggunakan metode cashless. Sehingga transaksi non-tunai jatuhnya malah menyusahkan konsumen.
Lalu bagaimana soal upaya pencegahaan fraud oleh oknum pegawai? Yah situ sebagai merchant mikir lah bagaimana caranya. Mosok konsumen disuruh ikutan mikir.
Namanya fraud, kalau sudah ada niat, bisa terjadi dengan berbagai cara. Pintar-pintarnya pengelola menciptakan sistem keamanan manajemen yang prudent. Banyak kok toko yang menerima pembayaran tunai tapi tetap mampu mengantisipasi fraud ini.
Soal penipuan juga jadi satu hal yang tidak serta merta hilang begitu saja ketika menggunakan cashless. Pada banyak kasus, para pemilik toko dan usaha juga sering terkecoh dengan modus penipuan yang dilakukan via e-wallet bahkan QRIS.
Melupakan pelayanan yang customer oriented
Dengan menggunakan argumen-argumen yang produsen oriented, orang-orang seperti lupa kalau namanya konsumen itu ya raja. Kalau raja, harusnya semua pelayanannya harus customer oriented dong, termasuk dalam sistem pembayarannya yang mengakomodir semua pihak. Masa konsumen yang harus menyesuaikan merchant? Yang butuh dilayani siapa sih sebenarnya?
Lagi pula, sistem pembayaran tunai kan masih menjadi sistem yang sangat umum dan berlaku hingga kini di masyarakat. Pembayaran tunai harusnya jadi opsi utama sistem pembayaraan ketika bertransaksi.
Mungkin bagi para pemuja cashless yang sok modern dan gaul itu mengatakan bahwa sistem cashless hadir sebagai sistem transaksi yang menjawab kegagapan peradaban. Sistem ini juga sudah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20 Tahun 2018 uang elektronik yang sebagai sistem pembayaran.
Tapi kembali lagi, aturan tersebut nggak menghilangkan peraturan UU No. 7 Tahun 2011 tentang mata uang, yang di dalamnya menyebutkan bahwa jenis mata uang yang dianggap sah dalam transaksi adalah mata uang logam dan kertas.
Sebaliknya, para netizen yang ngotot dan pemilik merchant yang kolot soal sistem cashless ini bisa dipidanakan karena melanggar UU yang sama, tepatnya pada pasal 33 ayat 2 yang bunyinya kurang lebih:
“Setiap orang dilarang menolak rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah atau untuk transaksi keuangan lainnya di wilayah NKRI.” Jelas-jelas di situ tertulis “dilarang menolak rupiah”, artinya hal yang wajar ketika Mas-nya mempertanyakan kenapa pihak merchant menolak pembayaran tunai.
Win-win solution: menyediakan dua sistem pembayaran, tunai dan non-tunai
Jadi sekali lagi, yang kelihatan aneh justru para netizen yang mencibir orang yang protes soal hak pembayarannya yang diatur secara sah melalui UU. Dia mengatakan sesuatu, dalam hal ini transaksi tunai, yang lumrah dilakukan oleh kebanyakan orang.
Lagi pula apa susahnya sih toko menyediakan dua sistem pembayaran, uang tunai dan cashless? Toh hasilnya sama-sama cuan, kan? Potensi marketnya juga jadi lebih luas karena cakupannya bisa dari berbagai kalangan.
Kalau perkara menyediakan pembayaran tunai itu berisiko, mending nggak usah buka usaha. Hidup kalau nggak mau ada risiko ya mending hidup di hutan saja sekalian.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Penipuan Pembayaran Melalui QRIS Semakin Banyak, Kenali Modus dan Pencegahannya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.