Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Gaya Hidup

Tradisi Rewang di Desa: Gotong Royong yang Kini Jadi Ajang Pamer

Budi oleh Budi
23 Agustus 2025
A A
Sisi Gelap Budaya Rewang di Hajatan Desa yang Nggak Banyak Orang Tahu Mojok.co

Sisi Gelap Budaya Rewang di Hajatan Desa yang Nggak Banyak Orang Tahu (desatepus.gunungkidulkab.go.id)

Share on FacebookShare on Twitter

Di masyarakat Jawa, rewang adalah budaya luhur. Sebuah tradisi gotong royong yang mengakar dalam kehidupan masyarakat desa. Biasanya dilakukan ketika ada hajat besar seperti pernikahan, khitanan, atau hajatan lain yang membuat tuan rumah kewalahan jika dikerjakan sendirian. Secara konsep, rewang itu indah. Tapi, seperti banyak hal di negeri ini, konsep sering kali tak berjalan sebagaimana teori.

Sebab di balik semangat kebersamaan itu, terselip sesuatu yang… berkilau. Bukan metafora kebahagiaan, tapi kilau literal: perhiasan emas yang menempel dari ujung telinga sampai ujung jari.

Rewang: dapur bergoyang, gelang berbunyi

Pagi itu, saya datang ke rumah tetangga yang sedang punya hajatan. Begitu masuk dapur, aroma bawang goreng menyambut, disusul suara panci beradu. Tapi bukan itu yang mencuri perhatian saya. Pandangan saya langsung terpaku pada gelang-gelang besar yang bergemerincing di pergelangan tangan salah satu ibu-ibu. Setiap kali ia mengaduk opor ayam, bunyinya seperti musik latar sinetron kolosal: cling-cling-cling.

Bukan hanya gelang. Ada kalung tebal, anting bulat besar, bahkan cincin bertumpuk di setiap jari. Seolah-olah, kalau emas ini dijual, bisa cukup untuk membiayai kuliah anak sampai lulus S2—di luar negeri.

Mungkin ada yang bilang, “Ah, itu cuma kebiasaan. Namanya juga ibu-ibu.” Tapi saya mulai curiga, jangan-jangan dapur rewang ini bukan sekadar tempat mengiris bawang, tapi juga catwalk untuk memamerkan investasi logam mulia.

Dari gotong royong ke panggung ria

Zaman dulu, rewang identik dengan baju sederhana dan kerja ikhlas. Ibu-ibu datang dengan pakaian kebaya seadanya, tangan belepotan bumbu dapur, rambut dicepol asal. Fokusnya jelas: membantu. Tapi, sebagian datang dengan dandanan seperti mau kondangan, bukan mau masak. Bedak tebal, lipstik merah menyala, bahkan ada yang kukunya baru saja dipasangi nail art.

Saya membayangkan, jika dulu nenek moyang kita melihat, mungkin mereka akan mengernyit sambil berkata, “Lho, ini rewang apa arisan emas?”

Fenomena ini membuat saya bertanya-tanya: apakah semangat gotong royong kita masih murni, atau sudah bercampur dengan hasrat tak terucap untuk menunjukkan siapa yang punya perhiasan paling banyak?

Baca Juga:

Realitas Pahit di Balik Hajatan: Meriah di Depan, Menumpuk Utang dan Derita di Belakang

Saya Muak dengan Industri Film Horor yang Hanya (Bisa) Mengeksploitasi Budaya Jawa Seolah-olah Seram dan Mistis

Pamer yang tidak pernah mengaku pamer

Kalau ditanya langsung, hampir semua akan menyangkal. “Ah, saya cuma pakai biasa, kok.” Tapi kalau dilihat dari sudut tertentu, kilau kalungnya bisa memantulkan cahaya sampai menyilaukan mata orang yang sedang mengiris bawang. Bahkan ada yang sengaja memegang centong tinggi-tinggi, agar gelangnya terlihat jelas oleh semua orang di ruangan.

Pamer yang paling elegan memang bukan pamer terang-terangan, tapi pamer sambil pura-pura tidak pamer. Itulah level tertinggi flexing dalam budaya rewang. Semua akan menganggap itu “wajar”, padahal pesan bawah sadarnya jelas: “Lihat, tabungan saya bukan di bank, tapi di tubuh saya.”

Ekonomi berjalan, sindiran pun berlanjut

Kalau mau dibela, sebenarnya ini bagus untuk ekonomi. Tradisi pamer perhiasan di rewang menjaga industri emas tetap hidup. Tukang emas di pasar jadi kebanjiran order, perajin perhiasan terus bekerja, dan penjual kosmetik tersenyum lebar. Secara makroekonomi, kita bisa menyebut ini “stimulus ekonomi berbasis gengsi.”

Namun di sisi sosial, ada yang menggelitik. Mereka yang tidak punya banyak emas bisa merasa minder. Mau rewang, tapi takut terlihat “kurang berada” karena tidak ada yang bisa dibunyikan di pergelangan tangan. Akhirnya, rewang yang seharusnya jadi ajang persaudaraan malah bisa berubah jadi kompetisi tak resmi dalam hal kilauan tubuh.

Kilau yang mengaburkan esensi rewang

Saya tidak menolak emas, apalagi budaya rewang. Dua-duanya sama-sama penting: emas untuk jaga-jaga masa depan, rewang untuk jaga-jaga hubungan sosial. Tapi kalau dua hal ini bertabrakan, esensi gotong royong bisa terkikis.

Rewang yang seharusnya jadi sarana mempererat tali silaturahmi berubah menjadi panggung mode. Fokusnya bergeser dari “bagaimana membantu” menjadi “bagaimana tampil sewah mungkin”.

Saya punya usulan setengah guyon: bagaimana kalau setiap kali rewang, semua perhiasan harus dilepas dulu sebelum masuk dapur? Biar yang dinilai benar-benar keterampilan memasak, bukan kekuatan finansial. Atau kalau mau lebih kreatif, bikin “seragam rewang” khusus: kaos polos, celana kain, dan celemek. Sederhana, nyaman, dan egaliter.

Kalau itu dilakukan, kita bisa melihat siapa yang memang datang untuk membantu, dan siapa yang sebenarnya lebih niat pamer. Toh, kalau niatnya silaturahmi, tanpa perhiasan pun tetap bisa bersinar—bukan karena kilau emas, tapi karena tulusnya hati.

Jadi, rewang tetaplah bagian dari identitas budaya Jawa. Ia lahir dari semangat gotong royong, bukan dari gengsi. Tapi, manusia modern memang pintar menggabungkan dua hal yang tak seharusnya dicampur: kerja bakti dan pamer kekayaan.

Kalau dibiarkan, jangan-jangan nanti rewang berubah format jadi “Fashion Show Dapur Hajatan.” Juri bukan lagi menilai rasa masakan, tapi menilai bling-bling di tangan para juru masak dadakan. Dan entah kenapa, saya tidak kaget kalau itu benar-benar terjadi.

Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Tradisi Rewang dan Nasib Orang-orang di Balik Megahnya Pesta Pernikahan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 23 Agustus 2025 oleh

Tags: budaya flexingbudaya jawaBudaya Rewanggelang emaskalung emasrewang
Budi

Budi

Seorang montir tinggal di Kudus yang juga menekuni dunia kepenulisan sejak 2019, khususnya esai dan fiksi. Paling suka nulis soal otomotif.

ArtikelTerkait

13 Pamali yang Masih Dipercaya Orang Jawa hingga Kini

13 Pamali yang Masih Dipercaya Orang Jawa hingga Kini

25 Oktober 2023
Sisi Gelap Budaya Rewang di Hajatan Desa yang Nggak Banyak Orang Tahu Mojok.co

Sisi Gelap Budaya Rewang di Hajatan Desa yang Nggak Banyak Orang Tahu  

29 Oktober 2024
Berkat Kitab Primbon, Hari Pernikahan Saya Mundur Tiga Bulan terminal mojok.co

Berkat Kitab Primbon, Hari Pernikahan Saya Mundur Tiga Bulan

26 Januari 2021
Hargai Orang yang Belajar Bahasa Jawa, dong. Jangan Sedikit-sedikit Dibilang Nggak Pantas terminal mojok.co

Orang Jogja-Solo Memang Suka Mempelesetkan Umpatan Jadi Misuh Versi Lite

25 Oktober 2020

Tradisi Rewangan Adalah Ajang Kompetisi MasterChef Indonesia Versi Local Pride

27 Mei 2021
10 Istilah Job Desc Rewang Saat Hajatan di Gunungkidul Terminal Mojok.co

10 Istilah Job Desc Rewang Saat Hajatan di Gunungkidul

23 Maret 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Nestapa Perantau di Kota Malang, Tiap Hari Cemas karena Banjir yang Kian Ganas Mojok.co

Nestapa Perantau di Kota Malang, Tiap Hari Cemas karena Banjir yang Kian Ganas

13 Desember 2025
Bukan Mojokerto, tapi Lumajang yang Layak Menjadi Tempat Slow Living Terbaik di Jawa Timur

Bukan Mojokerto, tapi Lumajang yang Layak Menjadi Tempat Slow Living Terbaik di Jawa Timur

18 Desember 2025
Keluh Kesah Alumni Program Akselerasi 2 tahun di SMA, Kini Ngenes di Perkuliahan

Keluh Kesah Alumni Program Akselerasi 2 tahun di SMA, Kini Ngenes di Perkuliahan

18 Desember 2025
Toyota Corolla Altis, Sedan Tua Terbaik yang Masih Sulit Dikalahkan di Harga Kurang dari Rp100 Juta

Toyota Corolla Altis, Sedan Tua Terbaik yang Masih Sulit Dikalahkan di Harga Kurang dari Rp100 Juta

17 Desember 2025
Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

19 Desember 2025
Jujur, Saya sebagai Mahasiswa Kaget Lihat Biaya Publikasi Jurnal Bisa Tembus 500 Ribu, Ditanggung Sendiri Lagi

Jujur, Saya sebagai Mahasiswa Kaget Lihat Biaya Publikasi Jurnal Bisa Tembus 500 Ribu, Ditanggung Sendiri Lagi

16 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”
  • Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah
  • Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia
  • Balada Berburu Si Elang Jawa, Predator Udara Terganas dan Terlangka
  • Memanah di Tengah Hujan, Ujian Atlet Panahan Menyiasati Alam dan Menaklukkan Gentar agar Anak Panah Terbidik di Sasaran
  • UGM Berikan Keringanan UKT bagi Mahasiswa Terdampak Banjir Sumatra, Juga Pemulihan Psikologis bagi Korban

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.