Kurang lebih sudah empat tahun saya tinggal di Jogja. Tepatnya di daerah sekitaran UIN Sunan Kalijaga. Alasan saya tinggal tak lain adalah karena saya (dulunya) adalah salah satu mahasiswa di kampus Islam itu.
Sebagai pendatang, tentu saja banyak hal yang membuat saya sedikit syok. Entah itu karena kultur, makanan, atau kondisi alam. Mau tidak mau, demi menyelesaikan studi, saya harus beradaptasi. Saya akui, saya agak kesulitan melakukannya. Oleh karena itu, setiap pulang ke Tasikmalaya, saya selalu merasa senang.
Dulu, saya tidak pernah menganggap istimewa momen kepulangan saya ke kampung. Namun, berkat pengalaman tinggal di Yogya, saya menjadi sadar bahwa pulang ke Tasikmalaya adalah hal yang patut disyukuri.
Ada tiga hal yang membuat saya sangat bersyukur ketika pulang.
Di Jogja, kipas angin saja nggak cukup
Pertama adalah faktor suhu dan cuaca. Saya tidak bermaksud menggeneralisir seluruh wilayah Jogja. Namun, di tempat saya ngekos, panasnya pol-polan belakangan ini. Jujur saja, di siang hari, saya hampir tidak bisa lepas dari kipas angin. Terkadang, jika terlalu panas, saya terpaksa bertelanjang dada.
Berbeda ketika saya pulang ke Tasikmalaya. Suhu panas Jogja seakan cuma mimpi. Saya tinggal di Singaparna, agak dekat dengan Gunung Galunggung. Makanya, suhunya tidak terlalu panas dan udaranya sejuk. Kebetulannya lagi, saat ini suhu di Tasikmalaya sedang cukup dingin.
Jika di Jogja saya rajin memeluk kipas angin, di Tasikmalaya, saya rajin berkelumun di dalam selimut tebal untuk saat ini. Saya benar-benar bersyukur bisa pulang.
Baca halaman selanjutnya….
Tidak ada makanan terenak selain masakan ibu, benar gak?
Kedua adalah perkara makanan. Sebenarnya ini bukan masalah besar karena saya bisa beradaptasi. Hanya, entah kenapa, semua makanan yang saya makan selalu terasa kurang garam dan cenderung manis. Anehnya, sewaktu saya tanya teman saya yang asli sana, dia bilang kalau garamnya pas.
Menu makan harian pun tidak pernah jauh dari nasi sayur tambah lauk. Terkadang kalau sedang bosan, saya biasa beli nasi kucing plus gorengan dari angkringan yang biasa mangkal di Sapen. Tapi, lama-lama, saya akhirnya muak dengan kebiasaan makan saya sendiri. Jatuhnya malah homesick padahal sudah lama tinggal di Jogja.
Dan, ketika pulang, saya bersyukur sekali bisa makan masakan ibu. Padahal tidak ada yang istimewa dari hidangannya. Hanya tempe goreng dan sayur sop. Namun, rasanya benar-benar lezat, terutama rasa asinnya cukup kuat.
Saat saya makan dengan lahap, ibu pasti selalu tanya. “Kakak nggak pernah makan tempe sama sayur di Jogja?”
Kalau sudah begitu, saya cuma bisa nyengir dan menjawab, “Pernah, Bu. Sering malah. Cuma nggak seenak masakan Ibu.” Rasa-rasanya, peribahasa tiada makanan terenak selain masakan ibu itu benar adanya.
Nggak bisa dekat dengan keluarga inti
Faktor ketiga adalah tentang keluarga. Tidak ada yang tahu kapan waktu hidup seseorang akan berakhir. Bisa jadi tahun depan, bulan depan, atau mungkin esok lusa. Saya bersyukur bisa pulang ke Tasikmalaya karena itu berarti saya masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk lebih dekat dengan ayah, ibu, dan adik.
Saya tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu bersama mereka. Oleh karena itu, di momen kepulangan saya ke Tasikmalaya yang permanen ini, saya berniat untuk memperbaiki hubungan kami. Selain itu, setelah wisuda Juni 2023 lalu, saya sendiri merasa bahwa memang sudah waktunya untuk meninggalkan Jogja.
Note: Apakah suatu hari nanti saya akan kembali ke Jogja? Mungkin saja jika seandainya takdir mengharuskan saya kembali untuk berkarya di sana, ya saya pasti balik. Jika tidak? Ya tidak apa-apa karena “ada 1000 jalan menuju Makkah”.
Penulis: Maulana Hasan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tasikmalaya Tampil Beda: Daerah Sunda, tapi Pakai Papan Nama Aksara Jawa dan Arab Pegon. Kok Bisa?