Saya percaya bahwa setiap kampus pasti ingin memberikan yang terbaik untuk mahasiswanya. Termasuk UNY, almamater saya, yang dulunya dikenal kalem, sopan, bersahaja, dan murah senyum. Tapi akhir-akhir ini, banyak calon mahasiswa baru (camaba) 2025 yang merasa bahwa UNY bukan lagi rumah yang ramah, melainkan institusi yang mulai terasa seperti perusahaan.
Gimana nggak? Belum juga masuk kuliah, mereka sudah diwajibkan untuk mengikuti cek kesehatan langsung di Fakultas Kedokteran (FK) UNY. Dan bukan cuma cek tekanan darah atau timbang badan seperti di puskesmas, lho. Ini satu paket lengkap dari pemeriksaan fisik, pengukuran tinggi badan, buta warna, sampai tes MMPI (psikotes kepribadian yang biasa dipakai buat rekrutmen profesional).
Harga yang mahal dan tersembunyi
Biar adil, saya coba telusuri dulu. Saya pikir ini mungkin program tambahan buat jalur-jalur tertentu, seperti olahraga atau kedokteran. Eh ternyata, tes kesehatan ini jadi bagian wajib dari proses seleksi camaba jalur mandiri UNY. Dan yang paling menarik perhatian saya bukan sekadar prosedurnya, tapi biayanya.
Menurut info resmi dan cerita para camaba di forum-forum daring, biaya tes kesehatan FK UNY ini bisa mencapai Rp300.000 sampai Rp500.000 per orang. Kalau dari berita dari IDN Times, biayanya malah mencapai 650 ribu. Dan itu belum termasuk ongkos datang ke Jogja, biaya nginep di kos harian, makan selama di sana, dan logistik lain.
Coba bayangkan kamu dari luar daerah—misal dari Jambi, Kalimantan, atau NTT. Kamu dinyatakan lolos administrasi awal dan diminta datang langsung ke Jogja buat cek kesehatan. Mau nggak mau kamu harus:
- Naik bus/kereta/pesawat ke Jogja
- Cari kos harian atau tempat nginep
- Siapkan uang tes kesehatan
- Bayar makan dan transport selama beberapa hari
Dan ini semua terjadi saat kamu belum resmi jadi mahasiswa.
Belum jadi mahasiswa, sudah jadi “konsumen awal” UNY
Yang bikin saya miris adalah kesan bahwa UNY kini melihat camaba bukan lagi sebagai calon peserta didik, tapi semacam konsumen awal. Sejak awal kamu dituntut untuk punya uang dulu baru boleh lanjut. Sementara kita tahu, tidak semua camaba berasal dari keluarga mampu. Banyak yang nekat kuliah karena ingin memperbaiki nasib, bukan karena punya tabungan berlebih.
Dulu, UNY dikenal bersahabat. Bahkan sempat jadi pilihan favorit anak daerah karena kampusnya adem dan biaya hidup di sekitarnya murah. Tapi sekarang, semangat inklusif itu mulai pudar.
Saya paham bahwa FK UNY ingin menjaga kualitas. Bahwa cek kesehatan penting. Tapi kenapa harus terpusat di satu tempat, dan tanpa ada opsi alternatif yang lebih ramah untuk camaba dari luar kota?
Kenapa nggak pakai surat keterangan sehat dari RSUD setempat saja dulu, dan nanti baru dicek ulang saat sudah resmi jadi mahasiswa?
Kebutuhan kesehatan atau seleksi finansial?
Yang lebih menyakitkan, buat camaba dari keluarga pas-pasan, biaya-biaya tersembunyi seperti ini justru jadi penghambat terbesar. Coba pikir, di saat orang tua masih sibuk cari dana buat bayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), mereka juga harus menyiapkan dana ekstra hanya untuk tes kesehatan prakuliah. Belum lagi kalau nanti pengumuman diterima tidak sesuai harapan—uang sudah habis, tapi status mahasiswa belum dikantongi.
Akhirnya muncul pertanyaan tajam di benak saya apakah ini memang soal kualitas mahasiswa? Atau soal “uji daya beli” terselubung?
UNY apakah masih rumah yang sama?
Saya tidak sedang menyalahkan UNY. Kampus juga harus beradaptasi, apalagi setelah punya Fakultas Kedokteran baru. Mungkin ini bagian dari proses menuju kampus modern yang terintegrasi. Tapi tetap saja, saya tidak bisa menahan perasaan kecewa saat melihat bagaimana perubahan ini terasa berat sebelah.
Yang berubah dari UNY bukan hanya kurikulumnya, tapi juga cara memperlakukan camaba. Dari yang dulunya mengayomi, kini terasa memaksa. Dari yang dulunya terbuka, kini penuh syarat tak tertulis. UNY sekarang sudah bertransformasi jadi kampus besar, tapi sayangnya, tidak semua camaba siap menghadapi cara barunya.
Saya percaya, niat UNY itu baik. Tapi cara menyampaikannya belum ramah. Saya percaya cek kesehatan itu penting, tapi memberatkan secara finansial di masa transisi juga bukan hal yang sepele.
Untuk pihak kampus mungkin perlu ada solusi. Misalnya menyediakan subsidi tes kesehatan, membuka klinik regional per wilayah, atau memberi opsi surat keterangan sementara dari RS terdekat. Supaya kampus tidak hanya terlihat profesional, tapi juga tetap memelihara rasa empati sosial.
Karena menjadi camaba itu bukan soal siapa yang paling siap bayar. Tapi siapa yang paling siap belajar. Dan kalau kampus mulai menyeleksi berdasarkan isi dompet sebelum membuka pintu ruang kelas, ya mohon maaf: bukan hanya idealisme yang tergadai, tapi juga rasa kemanusiaan yang dulu jadi alasan kenapa kampus itu dipilih.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















