Ketika hari pertama masuk kuliah—setelah turun dari sepeda motor di parkiran hingga menginjakkan kaki pertama kali di dalam kelas—saya berpikir bahwa tempat ini adalah tempat mencetak para sastrawan hebat. Iya—saya adalah mahasiswa Fakultas Sastra. Bayangan pertama ketika mendengar Fakultas Sastra—maka bagi saya adalah tempat di mana para calon sastrawan berkumpul, bertukar pendapat, dan berbagi karya, hingga mencetak sastrawan hebat.
Fakultas Sastra. Dari namanya saja sudah jelas bahwa yang ada didalamnya adalah segala tentang kesusastraan, dan tentang kebahasaan. Mungkin di beberapa universitas, jurusan sastra masuk di Fakultas Ilmu Budaya atau fakultas serupa lainnya. Tetapi di tempat saya, sastra menjadi nama fakultas itu sendiri—Fakultas Sastra.
Pandangan awal saya tentang Fakultas Sastra adalah saya akan dididik, dibina dan diarahkan untuk menjadi seorang sastrawan. Pikiran saya waktu itu langsung merujuk nama Sapardi Djoko Damono, seorang sastrawan yang juga ahli di Ilmu Sastra. Beberapa karyanya tak sekadar karya puisi atau prosa saja—beliau juga menulis tentang beberapa kajian keilmuan sastra, yang juga menjadi rujukan di berbagai universitas di Indonesia.
Iya. Saya akan jadi seperti Pak Sapardi—menjadi sastrawan dan juga ahli sastra. Setidaknya itulah pandangan awal saya tentang masa depan di Fakultas Sastra. Jalan saya menjadi sastrawan akan lebih mudah dan menyenangkan.
Tapi bayangan itu perlahan memudar setelah hari ke hari, bulan ke bulan, hingga sekarang sudah berjalan tiga tahun. Saya merasa tidak pernah diarahkan menjadi seorang sastrawan. Setidaknya itu yang saya alami jika dilihat dari puluhan mata kuliah yang sudah saya jalani. Apakah mungkin saya kurang aktif?—bisa jadi. Apakah saya tak punya inisiatif untuk memulai sendiri?—tentu saya sudah mulai sendiri.
Begini—jika dilihat dari 40 mata kuliah kesastraan dan kebahasaan yang saya sudah jalani, hanya ada empat mata kuliah yang secara langsung mengajarkan untuk menulis sastra—baik itu fiksi maupun non fiksi. Selebihnya adalah mata kuliah dasar, mata kuliah analisis dan kritik. Dari sini saja sudah menimbulkan pertanyaan—setidaknya dalam diri saya—apakah saya dididik, dibina, dan diarahkan menjadi sastrawan atau menjadi kritikus atau pengamat sastra?
Saya mencoba untuk berpikir positif bahwa saya harus punya inisiatif lebih untuk menjadi sastrawan. Menciptakan karya sendiri, mengirimnya sendiri, sebar-sebar sendiri. Kalau begitu, mengapa mata kuliah menulis puisi, prosa dan esai masih tetap ada? Kenapa tidak diganti menjadi membaca puisi, membaca prosa dan membaca esai saja?
Karena pertanyaan standar tiap pengajar adalah “sudah baca berapa buku minggu ini?” tanpa dibarengi dengan “sudah menulis apa saja minggu ini?” Ini sudah menggambarkan bahwa saya memang tidak terlalu diarahkan untuk menjadi sastrawan. Pada praktiknya saya memang lebih diarahkan menjadi analis atau kritikus.
Tapi bukannya untuk menjadi analis atau kritikus yang mumpuni, juga harus menjadi pencipta yang mumpuni juga? Berarti seharusnya porsi antara mata kuliah penciptaan dan mata kuliah analisis dan kritik juga harus seimbang di universitas. Apalagi dengan label Fakultas Sastra yang sudah gamblang sekali ‘sastra’-nya—inu hanya hipotesa ngawur saya saja sih.
Apakah ini menjadi alasan mengapa saat ini jarang sekali lahir sastrawan dari bangku Fakultas Sastra? Apakah ini menjadi alasan bahwa dunia sastra kita cukup kekurangan sastrawan dari bangku akademisi?
Iya. Karena bangku akademisi—bangku Fakultas Sastra—lebih banyak mencetak analis dan kritikus yang mungkin hanya bisa membedah dan mencincang struktur sastra tanpa bisa “mengembalikannya” lagi—bahkan untuk menciptakan karya sastra itu sendiri. Saya—atau kami—lebih diarahkan untuk menjadi analis dan kritikus.
Tak hanya itu, pengajar-pengajar juga lebih mengarahkan mahasiswanya untuk lebih berkarya di bidang analisa dan kritik. Bukannya itu bagus?—iya. Tetapi masalahnya adalah sedikit sekali pengajar yang lebih mengarahkan ke ranah penciptaan, membuat puisi atau prosa contohnya.
Jika dilihat dari segi penghargaan atau apresiasi, bidang analisa dan kritik lebih punya tempat jika dibandingkan dengan bidang penciptaan atau pengkaryaan. Inilah yang memicu mahasiswa lebih “suka” membuat analisa dan kritik terhadap karya sastra—daripada membuat karya sastra. Lalu jika mahasiswa lebih membutuhkan apresiasi—dari pengajar tentunya—daripada karya diri sendiri, bagaimana nasib masa depan sastra Indonesia dari bangku akademis?
Tidak ada yang bisa menjawab. Jika kembali ke pertanyaan sebelumnya, bahwa apakah ini menjadi alasan mengapa saat ini jarang sekali lahir sastrawan dari bangku Fakultas Sastra?—bisa dikatakan betul. Fakultas Sastra saat ini memang tidak mencetak sastrawan. Tapi lebih mencetak analis dan kritikus sastra, tanpa mengarahkan mahasiswa untuk menjadi sastrawan terlebih dahulu. Akhirnya label mahasiswa Sastra, atau lulusan Sastra hanya menjadi beban ganda bagi saya—dan beberapa orang yang ingin terjun ke dunia sastra.
“Kami sudah kalah sejak dalam pendaftaran.” Sudah terbukti, bahwa sastrawan dari “jalanan” lebih punya eksistensi yang juga sangat berkualitas dari segi karyanya. Bukan bermaksud menciptakan dikotomi tersebut, namun itulah yang terjadi di lapangan—faktanya sudah seperti itu. Miris sekali melihat kurangnya sastrawan dari Fakultas Sastra.
Saya kemudian berpikir. Apakah saya terlalu menuntut dan tak punya inisiatif?—saya rasa tidak. Karena kewajiban pengajar itu mengarahkan saya dan menuntut itu juga hak. Karena saya masih punya cita-cita di dunia sastra, saya juga berhak menuntut. Semoga kedepannya Fakultas Sastra lebih banyak mencetak sastrawan daripada analis dan kritikus. Masa kalah sih dengan Ivan Lanin?