Jalan Malioboro no.175 kini menjadi Jogja Library Center. Di depannya terbangun pedestrian yang estetik dan Instagramable. Wisatawan lalu-lalang serta berebut untuk berfoto di bawah petunjuk jalan bertulis Malioboro. Mungkin Anda yang baru sekali dua kali ke Jogja akan berpikir, “Wah Malioboro sekarang benar-benar romantis.” Sayang sekali dugaan Anda salah. Lantaran Malioboro telah romantis semenjak 50 tahun silam. Di trotoarnya selalu terdengar pembicaraan nyeni dan literasi layaknya kedai kopi. Sastrawan dan seniman besar seperti dibaptis oleh aspal Malioboro. Dan kesemuanya terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Malioboro, Umbu Landu Paranggi.
Nama eyang Umbu Landu Paranggi mungkin terdengar asing. Terutama jika Anda tidak tertarik pada dunia sastra dan puisi Indonesia. Maklum saja, blio memang seperti pertapa. Sabdanya mengalun dalam puisi-puisi yang memberi pengaruh dalam dunia sastra Indonesia. Dan benar, eyang Umbu berjasa dalam membentuk Malioboro menjadi romantis.
Eyang Umbu lahir di NTT pada 10 Agustus 1943. Namun, Jogja menjadi tempat ia menggodok diri menjadi pujangga besar. Kecintaannya pada tanah Jogja dan sastra begitu besar, sampai membuat cuitan akun romantisasi Jogja terkesan tipu-tipu.
Hidupnya di Jogja yang membuat Malioboro romantis. Andai eyang Umbu Landu Paranggi dulu memilih Wakatobi, mungkin yang menjadi romantis adalah Pulau Lumanggau. Namun, eyang Umbu telah memilih Jogja. “Pokoknya saya jatuh hati rata dengan tanah pada Jogja,” ungkapnya dalam wawancara di Balairung tahun 1999. Jauh sebelum selebgram berlagak kagum dan ingin menghabiskan sisa hidup di Jogja.
Kehadirannya di Jogja bukan tanpa tujuan. Selain mengasuh rubrik sastra di harian Pelopor Jogja, blio mendirikan Persada Studi Klub (PSK). PSK adalah kelompok kajian dan menulis sastra yang menumpang di kantor Pelopor Jogja. Dan PSK menjadi wadah bagi para sastrawan muda untuk mengembangkan diri. Eyang Umbu pun turun langsung sebagai mentor para sastrawan muda ini. Salah satunya Emha Ainun Najib alias Cak Nun.
Eyang Umbu Landu Paranggi merombak Malioboro. Pada awalnya, Malioboro tidak ubahnya kompleks pertokoan yang didominasi pedagang Tionghoa. Namun, kehadiran eyang Umbu dan PSK menghidupkan Malioboro. Malioboro menjadi paran jujugan anak muda Jogja saat itu.
Setiap malam terdengar diskusi dan pembacaan puisi. Beberapa yang ikut-ikutan dan tidak berpuisi memilih jalur musik. Tabuhan musik sederhana turut meramaikan Malioboro. Malioboro makin ramai, tapi eyang Umbu makin sepi. Layaknya pertapa yang telah berbagi buah ilmu, eyang Umbu hijrah dari Jogja ke Bali.
Inilah jasa besar eyang Umbu bagi Jogja. Tanpa kehadirannya, mungkin wajah Malioboro akan berbeda. Lantaran eyang Umbu-lah anak muda tidak merasa asing dengan area Malioboro. Bahkan tidak menahan diri untuk melakukan olah seni. Dan model inilah yang kini diterapkan di area Malioboro.
Pantas jika eyang Umbu Landu Paranggi disebut presiden Malioboro. Namanya presiden pasti akan memutuskan dan melakukan apa pun yang terbaik bagi bersama. Demikian pula dengan eyang Umbu. Demi memberi ruang ekspresi, eyang Umbu menjadikan Malioboro sebagai tempat yang bebas merdeka untuk ngedan dalam seni.
Tidak perlu buzzer. Tidak perlu mengiklankan soto 5 ribuan. Eyang Umbu selaku presiden sukses menunjukkan romantismenya jalan Malioboro yang abadi hingga ini. Inilah yang menurut saya menjadi romantisnya Jogja. Setiap sudutnya menjadi ruang ekspresi dan diskusi. Dan eyang Umbu melakukannya dengan cantik.
Kerja eyang Umbu sebagai Presiden Malioboro sangat nyata. Malioboro kini menjadi jujugan anak muda. Tidak hanya sekadar blusukan, Presiden Malioboro membangun iklim menyenangkan bagi anak muda. Dampaknya benar-benar abadi sampai saat ini. Jogja menjadi istimewa, Malioboro begitu romantis dan nyeni. Jadi, bukan akun-akun buzzer romantisasi yang menabur cinta dan sastra di Malioboro. Eyang Umbu dan PSK pelakunya
Namun, kabar mengejutkan membuat banyak orang terpukul. Eyang Umbu menghembuskan nafas terakhir setelah 3 hari dirawat di ICU. Seharusnya warga Malioboro mengibarkan bendera setengah tiang. Bagaimanapun, eyang Umbu yang telah membangun Malioboro menjadi ruang nyaman berbagai kalangan.
Selamat jalan, eyang Umbu. Tanpamu Malioboro hanya jadi tempat belanja. Namun, laku sepimu yang kini meramaikan Maliboro.
Sumber Gambar: YouTube Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Kemendikbud
BACA JUGA Menelusuri Asal Usul Nama Malioboro, Ikon Kota Jogja dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.