Orang Magelang kalau mau ke Malioboro nggak usah jauh-jauh ke Jogja, di sekitar kawasan Candi Borobudur ada Malioboro KW.
Manusia punya beragam cara untuk merayakan kebahagiaan. Saya sendiri memilih merayakannya dengan menulis ungkapan rasa terima kasih ini. Dulu saya pernah menulis soal keinginan terpendam agar Magelang punya Malioboro versinya sendiri. Dan kawasan Borobudur sudah mengabulkan keinginan saya tersebut. Sebenarnya Malioboro KW itu sudah sejak lama ada, sayanya saja yang kurang gaul dan kurang eksplorasi. Kalau kata anak kekinian, saya ini kurang nge-trip dan jarang healing.
Lewat unggahan Instagram sebuah akun yang tampaknya rajin meromantisisasi Magelang, kawasan gemerlap itu terlihat sangat menggairahkan. Walau tanpa dibubuhi efek slow motion, mobil dan motor terlihat ramai dan tetap bergerak pelan. Sekilas sangat cocok dijadikan sebagai lokasi muda-mudi, keluarga, komunitas motor, hingga komunitas Supreme Magelang, bercengkrama. Maka, dengan nafsu yang didorong rasa penasaran, saya pun segera menuju ke sana.
Saya berkesempatan mengunjungi Malioboronya Borobudur di waktu malam. Segala pujian harus saya berikan tanpa pamrih ketika melihat kawasan itu. Jalan menuju kawasan itu terang benderang, banyak tiang lampu jalan di kanan kirinya. Sangat berbeda dengan keadaan jalan menuju kampung saya yang gelap gulita.
Reels Instagram itu memang tak bohong, kawan. Malioboro versi Borobudur memang punya trotoar yang sangat indah, rata bak kertas HVS. Lampu-lampu jalan yang tertancap dengan mantap mampu mengajak pengunjung untuk segera mengabadikan momen di sampingnya. Banyaknya penjaja makanan dan minuman sudah tentu memberikan pilihan yang beragam. Anda juga bisa naik skuter listrik kalau mau, di mana kegiatan itu sudah dilarang oleh Malioboro asli. Dan yang paling mengharukan dari semua hal itu adalah kesadaran kolektif untuk menjadikannya sebagai Malioboro. Luar biasa!
Tak ada yang bisa menggambarkan rasa terima kasih saya waktu itu. Ini bukan karena saya warga Magelang, lho, ya. Kehadiran Malioboro di Magelang, makin mengukuhkan niat Magelang meningkatkan sektor wisata. Jogja tetap jadi inspirasinya, itu jelas. Mungkin Magelang benar-benar ingin bisa menjadi sebeken Jogja. Dan seperti banyak kota lain di Indonesia, Magelang mau tidak mau harus “mudah takjub” dengan ikon wisata wilayah lain yang dianggapnya lebih top. Lalu, untuk membuktikan keseriusannya, dibuatlah replikanya dengan semirip mungkin.
Ini bukan kejadian langka, ini lumrah adanya. Magelang sendiri punya Nepal versi Kaliangkrik, hingga baru-baru ini bikin tempat wisata ala pemukiman di Eropa. Di banyak daerah lain, akan kita temui monumen khas Eropa, hingga dataran tinggi Amerika, dan persawahan khas Bali meski berada di pulau Jawa. Karena itulah sudah sepantasnya orang-orang berterima kasih pada daerahnya yang punya kelakuan menjiplak semacam itu. Ini adalah wujud penguatan daerah.
Baca halaman selanjutnya
Sebagai warga asli Magelang, saya tentu saja bangga…
Sebagai warga asli Magelang, saya tentu saja bangga. Meski saya juga tetap mengingatkan Magelang agar tak lupa dengan jati dirinya sendiri. Bayangkan, tak jauh dari Malioboro KW itu berdiri megah sebuah candi Buddha yang didirikan pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Bahkan, ratusan candi lain tersebar di kawasan seribu candi ini. Lima gunung megah mengelilinginya dan satu gunung mungil berada di tengah-tengahnya. Sejarah panjang Magelang dan budayanya yang unik, tentu bisa dianggap sebagai ciri khasnya.
Saya paham, Borobudur memang kerap dianggap punya Jogja. Namun, itu tak serta merta membenarkan pencurian Malioboro punya Jogja. Tapi, inilah realitas kehidupan. Cara semacam ini sedang tren, dan lebih mudah dilakukan.
Ketimbang meningkatkan rasa bangga atas apa yang dimiliki, menggunakan kreativitas alih-alih ikut tren, meningkatkan keamanan dan kenyamanan di jalan umum lain, dan membuat ekosistem pariwisata yang sehat, saya kira membuat Malioboro KW adalah sebuah trik yang lebih mudah dan cepat. Yang penting ramai dan kekinian!
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Daripada Bikin Malioboro, Ada Baiknya Magelang Fokus Wisata Seribu Candi Saja.