Saya ingin Carlo Ancelotti ditendang saat itu juga setelah Madrid dilumat Barca empat gol tanpa balas di kandang sendiri. Pada hari itu, saya yakin mendiang Santiago Bernabeu begitu malu di akhirat sana, melihat Modric dipasang sebagai false nine dan Nacho yang dipermainkan Dembele.
Amarah saya dan banyak suporter Madrid setelah kekalahan menyedihkan pada laga El Clasico tersebut sebenarnya adalah ledakan yang selama ini tertahan. Ancelotti seakan tak mau melakukan rotasi pemain, meski laga tak lagi penting. Pemain seperti diperas keringatnya hingga tak bersisa. Dan pemain yang tak menjejak lapangan makin frustrasi. Ketergantungan pada Benzema bikin tim ini stagnan. Jika Benzema buruk, Madrid buruk. Pejah gesang nderek Benzema, padahal Madrid bukan tim seperti itu.
Saya amat yakin bahwa laga El Clasico adalah awal mula keruntuhan Madrid. Tapi, ternyata saya salah.
***
Dulu, Agus Mulyadi pernah bertanya, “Kik, tim opo sing to dukung?” Dengan mantap, saya menjawab, “Hala Madrid!” Respons Agus begitu nggatheli. Dia bilang, “Ora asik, mosok ndukung og tim sing menangan.” Pada titik tertentu, dia benar. Tapi, ada salahnya juga.
Saya mendukung Real Madrid karena dua hal. Pertama, David Beckham. Ketika dia pindah ke Madrid, nggak pakai lama saya pindah dukung Madrid. Iya, duluuuu banget, saya dukung MU ketika masih bocah. Ternyata, saya kadung kepincut sama Madrid. Kedua, inilah yang bikin saya kepincut, tim ini menangan.
Namun, lambat laun, mendukung Madrid justru jadi cara saya menyakiti diri sendiri. Kemunculan Messi akhirnya bikin Barcelona mendominasi. Dan yang jadi korbannya, ya Madrid. Sudah berkali-kali saya melihat Real Madrid dibantai Barcelona. Juara di liga domestik pun tak meyakinkan. Di Liga Champions pun terseok-seok.
Benar, kedatangan Ronaldo bikin semuanya berubah. Tapi, memori kehilangan masa jaya itu membekas di benak saya (dan mungkin orang lain). Saya tidak bisa melihat Real Madrid menang dengan skor tipis, mereka harus menang dengan skor besar, mendominasi, dengan permainan yang bagus pula. Memang obsesi ini aneh, tapi, kalian pahamlah maksud saya.
Tapi, lambat laun, saya menyadari bahwa sebenarnya obsesi saya tak aneh-aneh amat. Saya menyadari bahwa Real Madrid itu spesial, setidaknya bagi saya. Tim ini tidak ingin menang. Tim ini ingin menang dan menguasai. Tapi, di saat lain, tim ini tidak hanya ingin menang dan menguasai, tapi juga bermain hebat.
Dan di saat lain, mereka, entah kenapa, jatuh di awal, lalu bangkit dengan begitu menakjubkan.
Saya menyebut semangat Madrid adalah keangkuhan yang berdasar. Madrid adalah tim terbaik, dan wajar jika mereka angkuh. Ketika mereka terluka, ego mereka bikin mereka tak bisa menerima kekalahan. Maka, mereka bertarung lebih keras, lebih alot, dan membuat keajaiban. Dan ini sesuai dengan spirit tim ini, grandeza, yang artinya, kebesaran, keagungan, atau kejayaan. Tiga arti tersebut, semua sesuai dengan apa yang tim ini perjuangkan.
***
Carlo Ancelotti mengubur kenangan El Clasico lalu fokus ke laga selanjutnya. Mereka bertandang ke Stamford Bridge, dan semua memprediksi bahwa Madrid akan dikubur dalam-dalam. Tapi, mereka justru menginjak-injak Chelsea di depan pendukung sendiri. Sempat kelabakan di Bernabeu, namun akhirnya mereka tetap melaju setelah Chelsea tak sanggup mempertahankan selisih gol.
Lalu, mereka bersua dengan Manchester City, tim paling sempurna di dunia (versi saya). Di laga pertama, Madrid masih bisa pulang tegak meski kalah dengan skor 4-3. Namun, laga leg kedua di Bernabeu menunjukkan siapa Carlo Ancelotti sebenarnya.
Benar bahwa Rodrygo dan Benzema adalah aktor yang harus disanjung atas kemenangan Madrid, namun kita harus beri Ancelotti kredit yang sama besarnya.
Ancelotti sempat dianggap pelatih miskin taktik. Jika definisi kaya taktik adalah possession, skema yang rapi, pergerakan pemain yang terencana, serta strategi yang njelimet, benar Ancelotti miskin. Tapi, saya tak begitu setuju.
Saya tak mau membahas skema yang ia terapkan, tapi lebih ke man management yang ia lakukan. Carlo Ancelotti merasa ia tak perlu memberi instruksi yang detil kepada tiap pemainnya. Ia merasa bahwa hal itu tak perlu dilakukan. Dan menurut saya, itu tepat. Kau mencoba memberi instruksi bagaimana melewati pemain kepada Vinicius dan bagaimana mencari ruang kepada Benzema? Come on.
Sikapnya yang tak berlebihan, bahkan ketika Madrid berhasil come back melawan City menunjukkan bahwa itu bukan hal yang menakjubkan. Ia percaya anak buahnya bisa melakukan itu, sebab mereka bermain untuk Real Madrid. Dan bermain untuk Real Madrid, artinya, tidak memberi ruang untuk aib dan rasa malu sama sekali.
Mungkin kekalahan di El Clasico lah yang memberi Ancelotti kesadaran bahwa ia sedang melatih Real Madrid. Tidak ada ruang pengampunan untuk kesalahan dan kekalahan. Semuanya harus sempurna. Dan mungkin ia menemukan bagaimana menjadi Real Madrid yang sempurna: memberi kepercayaan pada pemain bahwa mereka bisa melakukan keajaiban. And yeah, it works.
Laga final Liga Champions akan tersaji beberapa saat lagi. Liverpool bukanlah tim yang mudah dikalahkan. Setidaknya, jauh lebih sulit ketimbang PSG. Namun, tidak ada final yang mudah. Tapi, sebelumnya, saya ingin berterima kasih kepada Carlo Ancelotti. Dia membuat Vinicius bersinar, dia memberi kita penampilan terbaik Benzema, dia memberi ruang untuk Camavinga, Valverde, Rodrygo, dan Ceballos untuk menyihir dunia. Dia membawa Madrid meraih titel La Liga ke-35, dan yang terakhir, membawa Real Madrid ke habitat aslinya: final Liga Champions.
Apa pun hasilnya, terima kasih, Ancelotti. Tanpamu, ini tak mungkin terjadi. Dan tentu saja, saya minta maaf telah meragukanmu.
HALA MADRID Y NADA MAS!
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Rodrygo, The Starboy