Tempe Bacem: Makanan Underrated dengan Cita Rasa Paripurna

Tempe Bacem Makanan Underrated dengan Cita Rasa Paripurna Terminal Mojok

Tempe Bacem Makanan Underrated dengan Cita Rasa Paripurna (Okkisafire via Wikimedia Commons)

Tempe bacem jadi makanan favorit hampir semua keluarga di Indonesia dan resepnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.

Tradisi wedangan (minum teh) bersama keluarga sampai saat ini masih lestari di kampung halaman saya di Gunungkidul. Biasanya, kami wedangan pada waktu pagi dan sore hari. Kebiasaan minum teh panas ini terasa kurang lengkap jika nggak ada kanca wedang (camilan). Salah satu kuliner khas Gunungkidul yang kerap dijadikan camilan saat wedangan adalah puli tempe.

Puli sendiri merupakan nasi yang dipadatkan menggunakan bahan pengenyal. Bisa dikatakan bahwa puli adalah makanan pengganti nasi. Untuk itu, sama seperti fungsi nasi, kudapan ini biasa dinikmati dengan beragam lauk, salah satunya tempe bacem.

Tempe bacem kerap disandingkan dengan puli karena memiliki cita rasa gurih, manis, dan legit. Kenyalnya puli berpadu dengan gurihnya tempe bacem, membuat kuliner yang dijuluki Romeo-Juliet ini benar-benar mantap dan memanjakan lidah. Hal ini yang kemudian membuat masyarakat Gunungkidul kerap menghidangkan puli tempe pada saat acara atau perayaan tertentu seperti gugur gunung (gotong-royong), sambatan, hajatan, dan lain sebagainya.

Sampai saat ini, tempe bacem masih menjadi kuliner favorit masyarakat Gunungkidul, terutama keluarga saya. Hampir setiap hari, terutama saat ibu saya bingung mau masak apa, pasti beli atau bikin tempe bacem. Selain enak dan mantap, makanan ini menjadi pilihan keluarga saya kerena harganya yang kelewat murah. Di pasaran, makanan ini dijual mulai dari harga Rp500 hingga Rp1.000 per biji.

Di balik rasanya yang manis dan gurih, tempe bacem memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut catatan sejarah, makanan ini sudah ada sejak akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19, tepatnya pada masa kolonial Belanda.

Lahirnya tempe bacem tak lepas dari praktik tanam paksa yang terjadi di tanah Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pada saat itu, masyarakat diminta untuk memproduksi gula dengan cara menanam tebu. Melimpahnya gula dengan kualitas istimewa ini kemudian dimanfaatkan oleh warga untuk mengolah berbagai aneka menu masakan yang memiliki rasa cenderung manis, salah satunya tempe bacem.

Nama bacem sendiri merujuk pada cara pengolahan penyajian untuk mengawetkan makanan atau yang biasa disebut dengan “membacem” atau merebus. Proses pembaceman cukup mudah. Resep tempe bacem juga sederhana dan bahannya bisa dijumpai di sekitar kita. Keluarga saya punya resep andalan dalam membuat tempe bacem ini. Pertama-tama, tempe akan direndam terlebih dahulu ke dalam air yang telah diberi aneka bumbu seperti gula merah, daun salam, bawang putih, bawang merah, dan ketumbar. Setelah bumbu meresap, tempe kemudian digoreng hingga matang.

Proses pengolahan dengan cara direndam bumbu inilah yang membuat tekstur dan cita rasa tempe bacem berbeda dengan olahan tempe lainnya. Ya, makanan satu ini cenderung memiliki rasa yang gurih manis. Dalam sekali santap, perpaduan antara gurih, asin, dan manis, jelas begitu terasa di lidah.

Selain memiliki rasa gurih manis, tekstur tempe bacem juga lebih empuk dan legit jika dibandingkan dengan tempe goreng biasa atau tanpa melalui proses pembaceman. Hal ini membuat tempe bacem cocok disandingkan dengan berbagai resep masakan lain seperti sayuran, oseng-oseng, dan aneka tumisan lainnya.

Sebagai orang yang tinggal di pelosok desa, saya cukup akrab dengan makanan ini. Bahkan, tiga hari nggak makan tempe bacem, hidup saya seperti ada yang kurang. Ini serius dan nggak berlebihan. Saya bisa saja lho nggak makan telur atau daging selama berbulan-bulan, tapi saya belum tentu kuat seminggu nggak makan tempe bacem. Entah karena suka atau keadaan ekonomi keluarga saya yang kabotan beli daging, yang jelas, saya mencintai kuliner khas Jawa ini.

Setidaknya, ada tiga alasan yang mungkin bisa jadi alasan kenapa saya hobi makan tempe bacem. Pertama, Bu Lik sudah jualan tempe sejak saya belum lahir. Kedua, harganya yang sangat memaklumi keadaan ekonomi saya. Ketiga, menurut ibu saya suka makan tempe bisa bikin pinter.

Ya, sejak kecil saya sudah “didoktrin” oleh orang tua bahwa olahan kedelai ini bisa digunakan sebagai pengganti daging merah karana kaya protein tinggi. Benar saja, menurut informasi yang saya kutip dari Alodokter, tempe memang mengandung protein, serat, zat besi, kalium, dan nutrisi penting lainnya. Beberapa kandungan tersebut berperan penting untuk menurunkan kolesterol, menjaga berat badan tetap ideal, hingga menurunkan risiko stres oksidatif.

Kendati demikian, sampai sekarang masih ada orang yang menganggap bahwa tempe bacem adalah menu makanan kelas menengah ke bawah. Tentu, ini nggak lepas dari sejarahnya yang dulu pernah dijadikan simbol kemiskinan pada masa kolonial. Padahal, dari segi rasa maupun nilai gizi, makanan satu ini nggak kalah dengan daging merah yang konon biasa dikonsumsi orang berduit itu.

Terlepas dari itu, makanan satu ini tentu nggak bisa dibanding-bandingke, disaing-saingke. Soal harga, rasa, dan kandungan gizi, tempe bacem akan selalu juara di hati masyarakat Indonesia. Dan, yang paling penting, ia adalah solusi di tengah UMR Jogja yang nggak manusiawi. Selamat menikmati.

Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Menyebut Tempe Goreng Tepung sebagai Tempe Mendoan, Seburuk-buruknya Penghinaan!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version