Tarif KRL berbasis NIK adalah kebijakan super duper brilian, pokoknya wajib didukung, sundul langit!
Saya dan mungkin banyak orang bersepakat bahwa Agustus jadi bulan yang ramai dan riuh, tapi juga melelahkan. Setidaknya hingga 8 bulan terakhir di tahun 2024, Agustus seperti jadi puncak dari segala hal-hal aneh yang bikin masyarakat, khususnya netizen di media sosial untuk rajin dan terus berkomentar.
Sebut saja soal sewa mobil Alphard 25 juta per hari di IKN, fenomena pemaksaan lepas hijab bagi anggota paskibraka, partai beringin yang goyah (karena tukang kayu?), putusan MK yang coba dianulir, BBM subsidi yang dibatasi, hingga yang terbaru adalah rencana pemberlakuan tarif KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dan semua fenomena itu ditanggapi normatif dan lempeng-lempeng saja oleh Bapak Presiden.
Misalnya soal putusan MK yang dianulir hingga didemo, beliau tampak tenang dan kalem menjawab “itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki.” Jawaban yang seolah-olah beliau ini tidak punya tanggungjawab dan beban apa-apa. Bahkan, isu yang terakhir soal tarif KRL dijawab oleh beliau dengan tiga kata “SAYA ENGGAK TAHU.”
Keren nggak tuh. Sosok pemimpin yang sangat langka.
Coba sebutkan, negara mana yang punya pemimpin yang begitu membumi, saking membuminya, ketika ditanya, jawabannya seperti itu. Tapi sudahlah, mungkin itulah cara beliau supaya dirindukan oleh masyarakat Indonesia. Beliau kan sudah mau habis masa jabatannya.
Daftar Isi
Tarif KRL berbasis NIK wajib diapresiasi
Tapi terlepas dari itu, rencana pemberlakuan tarif KRL berbasis NIK di Jabodetabek oleh Kementerian Perhubungan ini patut kita apresiasi. Ini serius. Kebijakan ini punya latar belakang visi yang sangat mulia, yaitu untuk memastikan bahwa subsidi fasilitas moda transportasi publik ini tepat sasaran. Nantinya, tarif KRL akan diklasifikasikan sesuai dengan data pendapatan status ekonomi dari penumpang melalui NIK.
Ingat, persoalan ketidaktepatan sasaran jadi salah satu penyakit yang selalu ada dalam mayoritas program berbasis subsidi di Indonesia. Ini disadari oleh semua pemangku kebijakan tapi sulit sekali ditangani. Semua tersandera oleh kepentingan. Oleh karena itu, langkah Kementerian Perhubungan ini adalah ide yang futuristik.
“Pertumbuhan ekonomi melejit!”
Kita semua tahu. KRL itu identik dengan desak-desakan. Apalagi kalau naiknya dari Stasiun Manggarai. Aduh, badannya dipepet-pepetin seperti tumpukan baju di dalam lemari. Nah, daripada harus menambah gerbong yang membebani APBN, ya lebih baik tarifnya diklasifikasikan saja. Ada yang lebih mahal dan ada yang lebih murah. Tujuannya jelas, kalangan menengah atas, khususnya orang-orang kaya bisa membayar lebih mahal atau supaya sekalian tidak ikut-ikutan naik KRL.
Meski saya sendiri hingga saat ini kok belum menemukan, ada orang kaya yang begitu niat menyerobot fasilitas publik kelas menengah bawah hanya untuk merasakan desak-desakannya naik KRL. Tapi ya tidak apa-apa. Ini yang disebut dengan mitigasi risiko.
Lebih jauh, kebijakan ini punya implikasi yang baik secara siklus ekonomi. Jadi ketika tarif KRL naik, maka probabilitas masyarakat kembali memilih menggunakan transportasi pribadi jadi tinggi. Efek selanjutnya adalah daya beli terhadap mobil atau motor pun meningkat. Saat kondisi itu terjadi, maka konsumsi bahan bakar nonsubsidi (karena yang subsidi kan dibatasi) juga akan naik.
Situasi tersebut sangat bagus untuk mempercantik persentase pertumbuhan ekonomi. Nanti di headline berita tertulis “Periode akhir Pak Jokowi, Konsumsi Rumah Tangga Menguat, Pertumbuhan Ekonomi Melejit.” Wah keren sekali, bukan?
Persoalan kemacetan dan pengurangan emisi karbon bagaimana? Yah itu urusan Gubernur yang baru lah. Kan sudah didukung sama rezim. Lagi pula, Jakarta sebentar lagi bukan ibu kota. Sudah ada IKN, loh ya.
Tarif KRL berbasis NIK itu keren!
Selain itu, bila rencana ini benar direalisasikan, akan jadi sebuah capain yang menghebohkan dunia. Bagaimana tidak? Ada sebuah negara berstatus overpopulasi dengan mayoritas penduduknya kelas menengah ke bawah, malah melakukan diskriminasi harga terhadap transportasi publik yang fasilitasnya sama.
Jadi kamu ketika naik KRL, kok ternyata kebagiannya berdiri, bisa jadi membayar lebih mahal karena kamu dianggap bukan bagian dari penerima subsidi. Udah berdiri, bayarnya lebih mahal. Sementara di negara lain, umumnya menyetarakan semua tarif biar warganya menikmati kenyamanan yang sama atas sebuah transportasi publik. Kalau negara lain menerapkan pajak progresif, maka Indonesia akan dikenal sebagai pelopor penerapan subsidi progresif! Keren sekali ini.
Tapi kalau begitu, orang jadi malas dong menggunakan KRL? Loh justru itu tujuannya.
Kalau makin banyak orang naik KRL, makin tinggi subsidi yang dibebankan kepada APBN. Sementara APBN kita masih punya tanggungan IKN dan makan bergizi gratis, loh. Walaupun komposisi subsidi APBN untuk KRL berdasarkan outlook tahun anggaran 2024 hanya Rp7,88 triliun. Yah hanya sekitar 5 persen dari total anggaran IKN yang hingga saat ini yang mencapai Rp72,3 triliun. Padahal subsidi motor listrik saja sampai Rp9 triliun, kan ya?
Pemanfaatan NIK juga patut dipandang sebagai upaya pemerintah untuk memperkuat lagi database data-data pribadi yang kita miliki. Kalau sudah memanfaatkan NIK, artinya pemerintah sudah serius nih soal keamanan data. Jadi Kominfo akan bekerja lebih keras lagi, sehingga peretasan-peretasan seperti sebelumnya bisa ditangani. Logikanya begitu dong, masak keamananya masih begitu-begitu saja. Kan sudah diintegrasikan semua loh. Kasihan data-data kami ini kalau dibobol terus.
Harus kita dukung mati-matian
Oleh karena itu, mari kita dukung kebijakan ini sebagai niat baik pemerintah untuk memastikan subsidinya tepat sasaran, mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi beban APBN, dan menatap Indonesia yang lebih proper soal keamanan data.
Pesan saya untuk warga di Jabodetabek dan bahkan Indonesia secara keseluruhan yang status ekonominya kelas menengah, sehat-sehat selalu ya kalian. Ingat, kalian harus terus berjuang untuk menopang perekonomian Indonesia. Kalau dalam implementasinya kok kebijakan ini ngaco seperti yang sudah-sudah, ya apa boleh buat? Anggap itu sebagai komedi dari pemerintah, kita kan tahu mereka hanya bisa melucu dan membuat gaduh daripada berpikir dan bertindak logis. Benar begitu kan, Pak Jokowi?
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tak Ada yang Lebih Tabah dari para Pejuang KRL