Tanaman Teh-tehan: Pagar Rumah khas Masyarakat Pedesaan yang Kian Terpinggirkan

Lebaran masih beberapa minggu lagi, tetapi Pak Lik saya yang ada di Jakarta sudah tidak sabar mudik ke kampung halaman. Hampir setiap sore, ia telepon-teleponan dengan simbah dan ibu saya. Dua tahun tidak mudik ke Gunungkidul, saya bisa memahami betapa rindunya ia ingin segara ketemu simbah dan sanak saudara di rumah.

Pak Lik yang kerap saya panggil Pak Pon itu sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta. Hampir setiap Lebaran, ia pulang. Namun, sejak pandemi menyerang Indonesia, ia selalu mengurungkan niat untuk pulang ke kampung halaman.

Meski sudah lama tinggal di Jakarta, ia selalu peduli dengan tanah kelahirannya. Tidak jarang ia mengorganisir warga perantauan di Jakarta untuk menyumbang dana ketika di kampung ada Rasulan atau acara tradisi dan budaya lainnya.

Pagar dari tanaman teh-tehan. (Shutterstock.com)

Pada tahun 2018 lalu, Pak Pon sempat marah-marah dengan ibu saya lantaran pagar tanaman teh-tehan di depan rumah simbah dibabras (dipangkas habis) dan digantikan pagar permanen. Selain karena dulu ia yang menanam teh-tehan, Pak Pon juga kesal karena suasana dusun sudah tidak lagi seperti dulu. Apa yang ia rasakan di kampung halaman, tak jauh beda dari apa yang ia lihat di Jakarta, terutama perihal pembangunan.

Perdebatan antara ibu saya dan Pak Pon pun tak bisa dihindari. Ibu berpendapat, adanya pembangunan pagar permanen ini membuat lingkungan menjadi lebih bersih dan rapi. Berbeda dengan pagar teh-tehan yang mudah rontok dan kerap menghasilkan sampah. Sementara, Pak Pon tetep ngotot, kelestarian alam di pedesaan harus tetap dijaga.

Hampir semua wilayah di sekitar desa saya juga mengalami hal serupa. Di mana sudah jarang ditemui pagar rumah tanaman yang dalam bahasa latin disebut acalypha siamensis itu. Padahal, sekitar awal tahun 2000-an, saya masih sering melihat pagar bambu dan tanaman teh-tehan di depan rumah warga.

***

Sebelum dipangkas habis, pagar teh-tehan di rumah simbah memiliki ketinggian sekitar 1,5 meter. Dulunya, pada awal tahun 2000-an, Pak Pon mendapatkan beberapa stek batang teh-tehan lalu ditancapkan di depan rumah simbah. Semakin lama, tanaman itu semakin bercabang dan membentuk semak yang rimbun.

Tanaman teh-tehan kerap dipilih sebagai pagar rumah kerana memiliki struktur yang tebal, rapi, dan mudah dibentuk. Selain tampak lebih asri dan alami, konon tanaman teh-tehan juga dianggap dapat menghantarkan atmosfer alami pada fasad rumah. Sementara itu, air hujan yang jatuh di daun teh-tehan, nantinya dapat memberi kesempatan untuk tanah dalam menyerap air lebih banyak.

Sebagai orang yang hobi memelihara tanaman hias, Pak Pon paham betul bahwa tanaman teh-tehan memberi banyak manfaat untuk lingkungan hidup. Tidak hanya mempercantik halaman rumah, tetapi tumbuhan ini juga bisa menghalau debu dan kotoran dari luar. Tak heran, jika ia cukup kesal ketika melihat tanaman teh-tehan di kampung semakin jarang ditemukan.

Tanaman teh-tehan. (Shutterstock.com)

Hilangnya tanaman teh-tehan di depan rumah simbah saya sendiri terjadi pada tahun 2017 lalu. Pada saat itu, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mengadakan lomba desa. Kebetulan dusun saya yang ditunjuk untuk mewakili Kelurahan. Berbagai persiapan dilakukan untuk menghias kampung halaman, mulai dari mengecat Pos Ronda, menambal jalan yang rusak, membuat plang di perempatan, hingga membangun pagar permanen.

Dari sekian banyak kegiatan menghias pekarangan rumah, mungkin membangun pagar permanen lah yang memerlukan modal cukup banyak. Pasalnya, warga masyarakat diminta atau dianjurkan oleh pemangku wilayah setempat untuk membangun pagar permanen secara sukarela. Sebagai warga yang patuh kepada pemimpin, hampir semua warga bahu membahu membangun pagar rumahnya dengan bahan dasar semen, batu, besi, dan pasir, itu.

Akibatnya, semua tanaman teh-tehan yang semula menjadi pagar rumah warga, harus ditebang atau dicabut dari akarnya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk membuat kampung saya tampak modern seperti di kota-kota.

***

Dalam waktu kurang dari setahun, wajah kampung saya berubah cukup drastis. Sejak kegiatan lomba tersebut, semua sarana dan prasarana di kampung diperbaruhi. Yang semula hanya ada sedikit lampu penerang jalan, kini di setiap perempatan jalan sudah dipasang lampu-lampu bertiang besi.

Salah satu dampak yang paling terlihat oleh pembangunan tersebut adalah hilangnya tanaman teh-tehan di depan rumah. Sebelumnya, hampir semua rumah warga menggunakan tanaman teh-tehan sebagai pagar. Kini, tembok-tembok kokoh berdiri di samping kanan, kiri, depan, dan belakang, rumah saya.

Dusun saya yang semula terlihat ijo royo-royo, penuh pohon-pohon rindang, perlahan mulai berkurang. Dulunya, setiap hari minggu warga sekitar secara bersama-sama memotong atau mampras tanaman teh-tehan agar terlihat rapi. Kegiatan ini kerap dimanfaatkan warga untuk minum teh bersama sambil jagongan atau bertukar cerita khas masyarakat di pedesaan.

Tanaman teh-tehan/Acalypha Siamensis. (Shutterstock.com)

Kini, maraknya pagar tembok di dapan rumah, seolah membatasi aktivitas sosial masyarakat. Tidak ada lagi kegiatan mampras-mampras tanaman teh-tehan dan minum teh bersama pada pagi hari saat akhir pekan yang dulu pernah berjaya di era 2000-an. Suasana pedesaan yang dulunya hijau, sejuk, dan guyup rukun,  perlahan mulai menghilang.

Terlepas dari itu, saya cukup bisa memahami apa yang saat itu tengah dirasakan Pak Pon. Sebagai perantau di kota besar, hampir setiap hari ia bergelut dengan hiruk pikuk Kota Metropolitan. Tentunya, pulang ke kampung halaman menjadi salah satu cara untuk mencari rasa nyaman dan tenang. Namun, ketika melihat tanah kelahirannya–yang diharapkan mampu melipur lara, justru mengikuti jejak metropolitan.

Apa yang tengah dirasakan Pak Pon hanya segelintir contoh keresahan apa yang kini tengah dirasakan orang-orang yang pernah tinggal di pelosok desa. Baginya, tidak ada hal yang lebih membahagiakan ketimbang pulang ke kampung halaman, lalu melihat suasana pedesaan yang masih asri dan alami.

Memang, pada akhirnya tidak ada kehidupan di suatu masyarakat desa yang stagnan. Pembangunan di desa-desa pasti akan terus berjalan dan semua hal yang terlihat usang, nantinya akan segara digantikan oleh hal-hal baru. Namun, dalam hal pohon dan tumbuhan, bukankah tidak ada salahnya jika kita terus menanam?

Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Purnawan Setyo Adi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.

 

 

Exit mobile version