Pada awal September 2016, saya terenyak di depan kepulan asap rokok Bapak. Tanpa hujan, tanpa angin, Bapak menyatakan akan berangkat ziarah ke Yerusalem. Di tengah pemberitaan gencar perihal konflik Israel-Palestina, hati siapa yang tidak merinding membayangkan kondisi di sana. Saya pun menerima kenyataan bahwa Bapak saya akan mendatangi pusat konflik itu.
Lebih jauh lagi, Bapak juga mengajak Ibu saya. Ini semakin membuat saya merinding. Terpisah dengan orang tua yang berada di area konflik bukan sesuatu yang biasa saja. Ingin rasanya meng-hih kedua orang tua saja. Kok ya nganeh-anehi berangkat ke wilayah yang tak jelas dikuasai negara mana. Sayang sekali, moralitas Jawa menghalangi saya untuk meng-hih orang tua.
Memang, Yerusalem adalah tujuan ziarah terwahid. Ada tiga agama samawi yang punya sejarah di sana. Tapi mbok ya ditunda dulu. Pemberitaan tentang kisruh di Timur Tengah masih gencar. Foto rudal yang seperti kembang api juga berseliweran di beranda media sosial saya. Tapi melihat antusiasme kedua orang tua saya, yo wes lah saya ikhlas dan berharap pada semesta semua akan baik-baik saja.
Tiba di hari keberangkatan, saya punya waktu luang untuk memantau perjalanan orang tua saya karena saya tengah mengerjakan skripsi yang tak usai-usai. Dari kejadian yang lucu sampai yang membuat deg-degan, dari sekadar digeledah pihak bandara Abu Dhabi sampai bapak saya yang dikepoin aparat keamanan Palestina, semua saya pantau dari Indonesia.
Setiap hari saya bertanya keadaan di sana. Apakah ada konflik? Apakah ada serangan rudal? Apakah Bapak dan Ibu jauh dari kisruh di Timur Tengah? Sebenarnya saya cukup was-was. Namun, sepertinya Ibu punya cara jitu menenangkan pikiran anaknya. Beliau mengirim sebuah foto yang mengubah cara pandang saya tentang tanah Yerusalem dan konflik Palestina-Israel.
Dalam foto tersebut, terdapat empat orang yang sedang merokok. Paling kiri adalah Bapak yang outfitnya cetar itu. Di sebelahnya adalah Yoram, tour guide berdarah Yahudi. Perempuan yang terlihat bersandar mesra di samping Yoram adalah Pamella, istri Yoram yang berdarah Indonesia. Sedangkan yang paling kanan adalah Khareem, driver bus dari Palestina yang berdarah Arab.
Pertama, saya melihat foto itu dengan geli. Ternyata Bapak tidak bisa menahan untuk berhenti merokok selama tiga minggu di negeri para nabi itu. Tapi, setelah sadar siapa saja dalam foto tersebut, saya geleng-geleng.
Dalam foto tersebut, ada orang Jawa, Yahudi, dan Palestina yang sedang santai merokok. Tidak ada kerusuhan. Tidak ada pula kebencian yang tersirat dari wajah mereka. Lalu di mana ingar bingar yang selalu didengungkan warga Indonesia?
Lebih unik lagi, empat orang di foto tersebut juga berbeda keyakinan. Bapak saya Kejawen, Yoram adalah penganut Yahudi, Pamella adalah penganut Kristen, dan Khareem beragama Islam. Keempat orang tersebut akur-akur saja. Terutama Yoram dan Khareem.
Orang tua saya juga menjelaskan apa yang terjadi selama berkunjung ke Yerusalem dan sekitarnya. Benar, ada konflik berdarah antara Israel dengan Hamas. Namun, bukan berarti suasana jadi mencekam dan tidak tenteram. Bagi warga yang tidak terdampak konflik, mereka tetap hidup berdampingan.
Inilah yang menurut saya sayang untuk dilewatkan. Kebencian terhadap Israel dan Yahudi terlalu dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Kebencian ini berujung pada stereotipe bahwa semua orang Yahudi itu jahat dan membenci orang Islam. Lalu sudah sepantasnya kita membenci orang Yahudi.
Kenyataannya, di “pusat konflik” sendiri tidak ada kebencian berdasarkan ras dan agama. Yoram dan Khareem tidak saling benci, malah akur sebagai partner kerja dan teman. Tidak hanya akrab formalitas di depan peziarah, tapi juga di belakang layar saat mereka diam-diam merokok.
Patut kita ingat, di Yerusalem tidak diizinkan merokok sembarangan. Ruang untuk perokok juga sangat langka. Maka, orang-orang seperti Yoram dan Khareem harus pandai-pandai mencari tempat sepi untuk merokok. Salah satunya di parkiran bus pariwisata. Di sana mereka merokok bersama tanpa membawa kebencian yang biasa dikisahkan di Indonesia. Adem ayem dan penuh canda tawa.
Selain perkara kebencian yang fana, saya juga makin selektif dalam mendapat berita. Ketika orang tua saya sedang berada di Yerusalem, banyak video beredar perihal kerusuhan di Masjidilaqsa. Tentu saya panik setengah mati. Mau nyusul mengevakuasi orang tua saya, tapi harus jaga rumah.
Ternyata, video tersebut adalah video lawas. Bahkan beberapa hari setelah video itu beredar, bapak saya bisa berkunjung ke Masjidilaqsa. Bapak sempat meluangkan waktu untuk salat di sana (Bapak saya seorang Muslim sebelum menjadi kejawen). Mungkin, ini pertama kali saya terlibat dalam proses mematahkan video hoaks.
Pada akhirnya, perjalanan orang tua saya ke Yerusalem dan sekitarnya membangun sudut pandang baru. Membenci penindasan itu baik. Berempati pada kelompok yang tertindas itu perlu. Namun, membenci seseorang berdasarkan ras adalah kemunduran bagi manusia modern. Apalagi membenci hingga menganggap sebuah bangsa layak dihabisi.
Yoram dan Khareem adalah bukti sederhana bahwa kebencian pada konflik berbeda dengan kebencian pada manusia, agama, dan bangsa. Aneksasi Israel layak dikutuk dan dilawan. Namun, mendramatisasi penderitaan rakyat Palestina malah makin merendahkan martabat mereka. Apalagi menggunakan simbol mereka untuk demo atau kampanye di Indonesia.
Photo by Haley Black via Pexels.com
Foto di Yerusalem dokumentasi pribadi penulis
BACA JUGA Meluruskan Nama Cukuran Rambut Pria biar Nggak Salah Kaprah dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.