“Pak, kenapa sih buruh pada demo kemarin?” tanya seorang siswi. Kebetulan hari itu saya mengajar para siswi madrasah aliyah di Islamic Boarding School, tepatnya di Sukabumi. Saya sangat bersyukur, meskipun dalam keadaan pandemi, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang diperbolehkan membuka pembelajaran tatap muka.
Lalu saya menjawab pertanyaan siswi tersebut, “Jika nanti kalian nanti bekerja jadi buruh di pabrik, kalian harus perjuangin hak kalian.”
“Pak, jangan doain kita jadi pegawai buruh pabrik dong, Pak.” Celetuk seorang siswi.
“Iya, Pak.” Sahut temannya yang lain.
“Emang kenapa dengan buruh pabrik?” Tanya saya kepada mereka.
“Nggak sih, Pak, tapi… ” Jawab seorang siswi, namun terlihat masih ragu mengungkapkannya.
“Kenapa? Malu kalo jadi buruh pabrik?” Jawab saya langsung.
“Nggak sih, Pak, tapi gimana ya… ” Jawab siswi lain sambil bingung mau bilang apa mereka.
Lalu saya timpal kembali, “Jujur saja, kalian malu kalo jadi buruh pabrik? Gengsi ya dengan pekerjaannya? Lalu, bapak mau kasih contoh apa?” Sambil terus saya kasih pertanyaan tanpa ampun pada mereka.
Ternyata mereka jawab juga, “Ya contohnya pekerja kantoranlah pak, yang lebih terhormat.”
“Astaghfirullah.” Ungkap saya dalam hati.
Sambil menghela nafas, saya mencoba untuk menyasar dulu, ada sebuah problem dalam pikiran mereka, yang selama ini mereka anggap buruk kepada pekerjaan buruh pabrik.
“Baik anak-anak, Bapak jelaskan sedikit yaa… Kalian tahu, apa bedanya mereka yang bekerja di kantoran sama buruh pabrik?” Tanya saya.
“Kalo di kantoran, Pak, lebih rapi, lebih punya nama, nggak gengsi kalo ngakuin kita bekerja di sana.”
“Oh gitu yaaa, jadi kalo bekerja di pabrik itu tidak rapi, tidak punya nama dan malu mengakuinya?”
“Iya, Pak.” Mereka semua jawab barengan.
Saya makin menghela nafas lebih panjang. Kemudian saya diam sejenak untuk berpikir, apa yang harus saya katakan pada mereka selanjutnya.
“Anak-anakku, bekerja di kantor atau bekerja di pabrik itu tidak ada bedanya. Mungkin tempat, iya berbeda. Mungkin juga pakaian, iya lebih rapi di kantor, pakai kemeja, dasi, dan sepatu mengkilat. Mungkin juga gaji yang diterima lebih besar di kantor, tapi kadang di pabrik juga sama besar.”
“Namun, pada dasarnya mereka semua pekerja. Mereka semua buruh. Buruh kantoran, buruh pabrik. Bapak juga sekarang ngajar kalian sebagai guru tidak jauh berbeda dengan buruh, karena bapak ngajar di sini, menjual jasa sebagai pengajar.”
Mereka mulai diam, lalu saya lanjutkan. “Segala sesuatu yang mereka abdikan untuk orang lain, entah itu tenaga, pikiran, dan sebagainya, lalu mereka dibayar dengan hal tersebut, itulah buruh.” Ucap saya dengan nada tinggi.
Lalu saya coba melogiskan kembali, “Apakah mereka yang bekerja di pabrik mendapatkannya tidak halal? Apakah mereka yang bekerja di pabrik bukan pahlawan bagi keluarga mereka? Apakah dengan mereka yang bekerja di pabrik hidup mereka jadi hina?”
Mereka mulai bingung tidak ada yang berani menjawab, hanya saling tatap satu sama lain. Lalu, kembali saya lanjutkan.
“Mereka yang bekerja di pabrik mendapatkan dengan cara halal, mereka tidak mencuri dan tidak meminta-minta. Mereka yang bekerja di pabrik berjasa betul kepada kita semua. Pakaian kita ini, tanpa mereka kita tak bisa menutupi aurat kita. Makanan yang kita makan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka. Kendaraan, jalan, ada berkat para buruh.”
“Mereka juga menjadi pahlawan bagi keluarga mereka, menghidupi keluarganya, bisa menyekolahkan, membeli makan, mengasihi susu bayi, dan mungkin saja saudara mereka juga tertolong akibat dari mereka bekerja sebagai buruh pabrik.”
“Bukan hanya pada mereka yang bekerja buruh pabrik saja. Mereka yang bekerja serabutan, sebagai petani, nelayan, orang yang bekerja pembuatan jalan raya, jalan kereta, jalan tol. Juga mereka yang bekerja sebagai buruh bangunan, pedagang asongan, pengamen jalanan, tukang bersih-bersih dan seterusnya. Mereka semua adalah orang yang berjasa pada kehidupan ini.”
“Jangan pandang mereka hina dalam pekerjaannya, ada banyak nyawa yang mereka selamatkan, paling tidak, keluarga mereka yang bisa dihidupi, juga jangan menilai rendah pekerjaan mereka. Mungkin saja mereka lebih mulia dibanding kita.”
“Kalian tahu, mereka yang berdasi rapi, bekerja di kantoran, ruang ber-AC, fasilitas mobil terjamin, khususnya mereka sebagai wakil rakyat kita, mereka bekerja dengan gaji yang besar, tunjangan yang bejibun. Tapi, mereka bekerja dengan tidak jujur, mereka korupsi dengan segala kebijakannya.”
“Akibatnya adalah ribuan nyawa rakyat yang hilang akibat dari kebijakan yang mereka buat dengan sembrono. Pembukaan lahan yang semena-mena dengan alasan pembangunan, pembukaan jalan baru, pembuatan bandara Internasional, jalan tol, jalan kereta api dengan menggusur rumah masyarakat yang sudah berpuluh tahun tinggal di sana. Berapa ribu masyarakat adat yang terusir akibat pembukaan lahan sawit. Nyawa yang hilang akibat bencana alam diakibatkan dari eksploitasi alam secara besar-besaran.”
“Mereka, wakil rakyat yang seharusnya bekerja dengan baik harusnya dapat menyelamatkan jutaan nyawa, jika dibanding dengan buruh pabrik yang hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.”
“Mereka seharusnya membuat kebijakan tentang lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan seterusnya. Secara adil, memihak pada rakyat banyak, kemaslahatan dan hajat orang banyak. Kalian boleh cita-cita jadi wakil rakyat, tapi yang jujur. Yang memihak dan memperjuangkan rakyat banyak secara adil. Kalian tidak boleh malu juga jika nanti menjadi buruh pabrik, pekerja serabutan, guru honor seperti bapak sekarang.”
“Kita tidak tahu jalan hidup kedepan akan seperti apa. Kalian mungkin bisa merencanakan ingin jadi apa, atau mau seperti apa. Lalu, apakah kalian bisa menjamin ke depannya itu akan berhasil apa yang kalian inginkan?”
“Lika-liku kehidupan itu penuh kejutan. Untuk hari besok saja kadang kita bingung akan terjadi seperti apa, apalagi ini untuk waktu yang cukup lama. Bukan berarti Bapak merendahkan seseorang yang punya cita-cita tinggi, Nggak juga. Kalian boleh punya rencana yang baik, cita-cita setinggi langit, lanjutkan. Hanya saja kita tidak bisa memungkiri ada jalan usaha dan takdir kita yang setia mengikuti.”
“Sekali lagi, jangan memandang rendah suatu pekerjaan hanya dari, tampilan, gajinya, tapi pandanglah mereka seberapa banyak manfaat dari pekerjaan yang mereka lakukan untuk orang lain. Lalu, bersyukur atas penderitaan orang lain pun itu juga jangan dilakukan, karena itu biadab. Misalnya orang lain pekerjaannya buruh pabrik, lalu kita bersyukur bahwa kita tidak menjadi buruh pabrik. Atau orang lain mempunyai pekerjaan rendah menurut kacamata kita, lalu kita bersyukur karena mempunyai pekerjaan lebih baik. Nah itu lebih biadab. Paham kalian?”
” Paham, Pak.” Ungkap seorang siswi.
“Lho, kenapa yang lain tidak jawab?” Pas saya lihat ternyata mereka udah pada ngantuk.
“ASTAGHFIRULLAH!!!”
BACA JUGA Terlalu Banyak Ustaz, Bukannya Maslahat, Malah Membuat Ribet Umat dan tulisan-tulisan Didim Dimyati lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.