Saat membuka gawai, tidak sengaja saya melihat postingan salah satu teman di Instagram. Tepatnya, postingan story Instagram. Dia menggunggah sebuah story seseorang yang mengeluhkan soal tawaran gaji dari sebuah perusahaan. Dia mengeluhkan bahwa dirinya kurang pantas mendapat gaji dari perusahaan tersebut. Alasannya, dia fresh graduate sebuah universitas ternama di Indonesia.
Sontak saja hal diatas menjadi viral. Reaksi warganet soal itu meledak. Banyak nyinyiran lalu lalang di media sosial. Bahkan ada yang menambahkan tagar #LulusanUI dalam postingannya. Nampaknya persoalan gaji dan status fresh graduate butuh perhatian serius.
Bagi para fresh graduate, hal lumrah yang mereka lakukan pasca wisuda adalah mencari pekerjaan. Ada yang ingin bekerja sesuai bidang keilmuannya, ada yang ingin bekerja lintas disiplin ilmunya. Soal pilihan itu, tentu yang lebih paham adalah para sarjana itu sendiri. Mereka harusnya paham akan potensi diri mereka. Yang menjadi persoalan lain adalah soal gaji yang mereka terima.
Beberapa orang berpendapat bahwa gaji awal bekerja itu disesuaikan dengan kemampuan pemberi kerja. Mendapat gaji di bawah standar pun tak jadi masalah. Yang penting mereka mendapat gaji agar bisa bertahan hidup. Golongan ini juga meyakini bahwa pengalaman saat bekerja itu lebih utama. Soal gaji, mereka yakin nantinya akan ada peningkatan manakala performa kerja mereka bagus, bahkan meningkat dari bulan ke bulan. Mereka ingin menunjukkan kemampuan mereka semaksimal mungkin. Dengan begitu, gaji akan bertambah dengan sendirinya. Begitu pikir mereka.
Tapi ada golongan lain yang berpendapat bahwa gaji awal pekerja haruslah sesuai standar. Standar yang dimaksud dalam hal ini tentu standar wilayah. Istilah yang umum diketahui adalah Upah Minimum Regional atau UMR. Mereka memegang teguh prinsip itu. Alasannnya logis, mereka ingin dihargai sebagaimana wajarnya. Dihargai atas jerih payah mereka agar setara dengan pekerja yang lain. Mereka tak peduli apakah mereka pekeja baru. Mereka hanya ingin kesetaraan dalam hal kesejahteraan. Logis, mereka juga manusia yang ingin hidup layak.
Mengapa hal demikian selalu muncul? Semacam persoalan klasik yang tiap hari ada. Bahkan tak perlu menunggu ribuan sarjana diwisuda. Tak perlu juga menunggu jawaban dari si dia atas cintamu. Hehehe.
Memang selalu ada alasan dalam tiap peristiwa. Misal, pemberi kerja memberi gaji dibawah standar untuk pekerja baru. Alasan mereka biasanya sederhana. Mereka ingin melihat sejauh mana pekerja baru itu menyesuaikan diri di lingkungan kerjanya yang baru. Apakah pekerja itu mampu bekerja secara individu. Apakah pekerja baru itu mampu juga bekerja bersama sebuah tim. Sembari melihat bagaimana pekerja baru itu memberi manfaat bagi pemberi kerja.
Bagi pekerja baru, mereka tentu ingin dianggap sebagaimana manusia. Mereka punya bermacam kebutuhan. Dengan bekerja, mereka ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Harap mereka, pemberi kerja memberi gaji yang layak bagi mereka untuk hidup mereka.
Masalah demikian sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik. Dengan keterbukaan dan kejujuran. Pemberi kerja jujur mengatakan kondisi keuangannya. Sedangkan pencari kerja jujur mengatakan apa kebutuhan mereka untuk hidup. Saling terbuka kedua pihak itu akan menentukan jalan keluar. Dalam hal ini kesepakatan gaji. Dengan pembicaraan itu tentunya akan diketahui kekuatan pemberi kerja saat memberi gaji untuk pencari kerja, dengan standar kelayakan menurut kedua pihak.
Yang jadi masalah saat pemberi kerja ingin mendapat tenaga pekerja dengan gaji seminim mungkin. Tentu karena tujuan ekonomis. Lalu pencari kerja pilih-pilih pekerjaan. Mereka hanya mau gaji besar saja. Dan itu pun bermodal selembar kertas ijazah saja tanpa skill.
Boleh saja fresh graduate yang mencari kerja menunjukkan di kampus mana dia belajar. Sah saja pencari kerja bilang bahwa dia berasal dari kampus ternama. Namun, mencari kerja bukan melulu soal itu. Tak peduli dari mana dia berasal. Asal dia punya kompetensi, tentu mendapat pekerjaan idaman bisa segera didapatkan. Buat apa pencari kerja berbangga diri atas almamater mereka. Tapi mereka tak punya kompetensi yang mumpuni. Perusahaan mana pula yang mau mempekerjakan mereka.
Untuk pemberi kerja, sudah waktunya memperlakukan pekerja dengan layak. Pekerja adalah manusia. Mereka bukan benda mati yang tidak punya perasaan. Mereka butuh dijamin kesehatan dan keamanan hidup mereka. Apakah pekerja bisa bekerja maksimal saat hidup mereka sengsara. Apakah pekerja bisa bekerja dengan tenang bila hidup mereka tidak aman.
Semoga para pemberi kerja dapat mendengar keluhan pekerja mereka. Dan semoga para pencari kerja bisa mendapat pekerjaan idaman mereka demi perbaikan hidup mereka. Karena secapek-capeknya bekerja, masih lebih capek lagi bila tidak bekerja.