Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta orang pada Agustus 2023. Angka tersebut menunjukkan penurunan tajam hingga 6,77% dibandingkan 2022. Namun, yang pasti, masalah pengangguran ini belum bisa diselesaikan. Dan, salah satu sebabnya adalah syarat lowongan kerja yang diskriminatif. Rasanya seperti benang kusut yang tidak bisa diurai.
Dunia kerja sudah sangat berkembang seiring laju teknologi. Namun, masih saja ada syarat lowongan kerja yang primitif. Dan para penulis di Terminal Mojok juga sudah banyak yang menuliskan syarat aneh yang dicantumkan pemberi loker, yang sebenarnya tidak relevan dengan pekerjaan. Saya merasa syarat lowongan kerja yang diskriminatif ini menjadi penyebab banyaknya penganggur di Indonesia.
Dan, yang kali ini ingin saya bahas adalah pelamar harus single. Meskipun hal ini bisa dilihat sebagai hak pembuat lowongan pekerjaan, namun tetap saja persyaratan ini menciptakan pertanyaan besar tentang keadilan bagi yang ingin melamar kerja.
Baru saja kemarin ketika sedang berkendara saya melihat ada sebuah banner besar yang menarik perhatian saya. Banner itu menunjukkan informasi lowongan kerja. Tidak ada yang aneh dari banner tersebut. Tapi, setelah membacanya lebih lanjut, ternyata ada syarat harus single. Lah, emangnya yang sudah menikah nggak bisa kerja? Itu pertanyaan yang langsung terlintas di kepala saya.
Syarat lowongan kerja yang diskriminatif
Menetapkan status pernikahan sebagai syarat untuk pekerjaan dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan peluang ditempat kerja, yang mendasari keadilan dalam merekrut dan mempekerjakan sumber daya manusia. Memilih seseorang berdasarkan status pernikahan mereka dapat mengabaikan kualifikasi, keterampilan, dan kemampuan yang sesungguhnya relevan untuk tugas pekerjaan.
Memang jika dilihat dari kacamata pemberi lowongan pekerjaan, membuat syarat lowongan kerja harus berstatus single sangat masuk akal. Karena mungkin dari pengalaman pekerja yang sudah berstatus sudah menikah biasanya banyak mengalami hambatan di pekerjaan. Seperti cuti melahirkan, menjemput anak sekolah, anggota keluarga sakit.
Dan, dari segi biaya, pasti orang yang sudah berkeluarga akan membutuhkan lebih banyak biaya daripada yang single. Tapi, hal buruk itu semua tidak bisa digeneralisasi terhadap pekerja yang memiliki status sudah menikah.
Alasan tersebut juga bukan alasan yang kuat, karena bisa saja orang yang sudah berstatus menikah bekerja lebih giat karena mempunyai tanggung jawab yang lebih. Kalau dari segi gaji, pelamar juga sudah mengetahui saat ingin melamar. Jadi seharusnya kedua belah pihak sudah menyepakati mengenai gaji.
Syarat yang melecehkan hak individu
Selain itu, kebijakan harus single dapat mengangkangi hak individu yaitu membangun kehidupan berkeluarga. Status pernikahan adalah bagian dari kehidupan pribadi setiap individu. Menggunakan alasan tersebut sebagai kriteria untuk pekerjaan menurut saya bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap privasi kehidupan seseorang dan lagian juga tidak relevan dengan kinerja profesional seseorang.
Adanya kebijakan semacam ini juga dapat berdampak negatif di lingkungan kerja. Diskriminasi berdasarkan status pernikahan dapat menghambat inklusi dan mendorong stigma negatif yang merugikan bagi orang yang sudah menikah. Hal ini bertentangan dengan semangat keberagaman yang saat ini banyak ditekankan dalam lingkungan kerja yang inklusif.
Sebagai penutup, menurut saya, penting bagi perusahaan untuk mengkaji ulang terkait syarat lowongan kerja mengenai “status pernikahan”. Sebab, sudah seharusnya syarat lowongan pekerjaan itu memiliki kriteria yang objektif dan relevan dengan jobdesk pekerjaan. Seperti menilai seseorang berdasarkan kompetensi, kualifikasi dan pengalaman kerja yang dirasa lebih adil bagi pelamar kerja. Sehingga menciptakan lingkungan kerja yang profesional dan mendukung kesetaraan bagi semua pekerja.
Penulis: Diaz Robigo
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Syarat Lowongan Kerja yang Membunuh Fresh Graduate
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.