Belum lama ini, saya memutuskan untuk logout alias keluar dari akun Instagram pribadi saya sampai waktu yang tidak ditentukan. Bukannya apa-apa, saya hanya ingin menjadi ibu muda yang waras.
Menjadi seorang ibu di era kemajuan media sosial ini bisa dibilang enak sekaligus eneg. Enak, karena saya bisa mendapatkan berbagai informasi terkait perkembangan anak dengan mudah. Bahkan, saya bisa melakukan konsultasi awal sama dokter spesialis anak (DSA) hanya dengan membayar beberapa belas ribu saja di aplikasi dokter.
Eneg-nya, ya karena sekarang semakin mudah melihat rumput tetangga. Orang bilang jangan liat rumput tetangga, dong, pastinya selalu hijau di matamu! Masalahnya, rumput-rumput hijau tetangga itu selalu melambai-lambai frontal minta dilihat via InstaStory dan foto-foto Instagram.
Tentu saja dari lubuk hati yang paling dalam, saya ingin berhenti mengikuti alias unfollow mereka. Masalahnya, tali pertemanan bisa putus karenanya. Tidak lucu juga dong, kalau saya berbicara terus terang bahwa kewarasan saya terganggu karena postingan mereka.
Bukannya apa-apa, tetapi saya merasa sangat terganggu saat ada banyak ibu yang pamer mengenai betapa derasnya air susu mereka dan betapa penuhnya kulkas karena itu. Mereka juga membuat kuliah singkat tentang keunggulan air susu ibu kalau dibandingkan dengan susu formula. Tanpa mereka sadari, saya, dan beberapa ibu lain yang dulu adalah teman dekat mereka, menggunakan susu formula alias sufor.
Belum selesai sampai di situ, ada banyak pula ibu-ibu yang memamerkan bahwa jadi working mom itu keren. Masak dikit-dikit ngandelin suami! Kalau suamimu direbut pelakor, mau jadi apa?
Berlawanan dari hal tersebut, ada lagi kelompok ibu-ibu yang menekankan pentingnya mendampingi anak dua puluh empat jam dan selalu siap sedia saat suami pulang ke rumah. Ati-ati, anak jadi deket sama pembantu kalau nggak diurusin!
Kekesalan ini menumpuk bukan karena saya tidak punya identitas: mau dibilang working-mom, tapi kok kerja via gawai dan laptop di rumah. Mau dibilang full-time mom, kadang juga anak saya tinggal main buat ngerjain kerjaan.
Namun karena saya sudah capek sama para ibu-ibu muda yang entah kenapa berubah jadi lulusan S3 Parenting dan menghakimi pilihan banyak orang yang mereka kenal, secara tidak langsung.
Saya jadi kangen masa-masa sekolah dan kuliah, saat para ibu-ibu muda profesor parenting itu jadi teman yang asyik dan slebor. Boro-boro memperhatikan pentingnya ASI dan buruknya sufor (menurut mereka, padahal DSA saya merekomendasikan susu formula tertentu), jajan cilok di jalan yang sudah jelas kotornya saja mereka mau, kok.
Jadi ibu muda waras di zaman internet merupakan tantangan besar. Kita jadi mudah tahu isi hati orang karena mereka dengan sukarela dan gratis membagikannya di Insta Story. Belum lagi ditambah dengan gempuran para influencers yang sepertinya perfeksionis sekali kalau soal anak.
Sejujurnya, tidak masalah, tetapi kesempurnaan itu mereka tonjolkan betul. Dan kalau pun saya tidak mengikuti mereka, unggahan mereka menghantui kolom explore saya. Ini belum lagi ditambah sama ibu-ibu muda yang juga selalu mengikuti ukuran tumbuh-kembang anak dan mengharuskan anak-anak mereka bisa melakukan hal-hal sesuai standar itu.
Ya memang sih, itu hal yang baik. Masalahnya, tiap anak itu unik dan tidak bisa disamakan perkembangannya. Ada yang terlambat jalan, tetapi setelah jalan justru cepatnya mengalahkan The Flash. Ada juga yang telat bicara, tetapi setelah bisa bicara, argumentasi mereka mengalahkan acara debat pengacara di stasiun TV terkenal itu.
Harus diakui kalau sebagai ibu muda pun, saya terkadang ingin memamerkan milestone alias pencapaian anak saya. Namun saya sadar kalau itu tidak ada gunanya. Selain karena saya dan anak saya bukan influencers, terlalu pamer bisa menyakitkan hati orang. Mungkin saya tidak melanggar hukum, tetapi saya berpotensi melanggar etika pertemanan.
Jadi begitulah. Barangkali orang-orang bisa bilang kalau saya terlalu sensitif dan aslinya kompetitif. Takut sakit hati sama ibu-ibu muda lain yang lebih kece dalam mengurus anak. Cuma, saya hanya ingin fokus pada perkembangan anak dan tidak selalu membandingkannya sama anak lain. Bukankah sebetulnya standar kewarasan dan kebahagiaan kita jadi sering rusak karena terlalu banyak melihat kehidupan orang lain?