Suka Duka Tinggal di Pelosok Kabupaten Bangkalan Madura

Suka Duka Tinggal di Pelosok Kabupaten Bangkalan Madura

Suka Duka Tinggal di Pelosok Kabupaten Bangkalan Madura (Syafii Muhammad via Wikimedia Commons)

Tinggal di pelosok Kabupaten Bangkalan Madura membuat saya sering nggak relate dengan apa yang dikeluhkan orang-orang di media sosial. Bagi saya, hal-hal yang ramai diperbincangkan itu terasa sangat jauh, hampir mustahil dijangkau dan ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga soal keuntungan dan kemudahan yang bisa didapatkan orang-orang yang tinggal di kota besar. Jelas belum pernah—atau hampir nggak mungkin—terealisasikan selama saya masih hidup di sini.

Maka izinkan saya berbagi cerita mengenai suka dan duka tinggal di pelosok Kabupaten Bangkalan Madura. Daerah pelosok yang jauh dari ingar bingar kehidupan dunia urban.

Sukanya tinggal di pelosok Kabupaten Bangkalan Madura

#1 Nggak ada macet

Macet sudah jelas jadi makanan harian orang-orang yang hidup di kota besar. Bahkan untuk jarak yang sekiranya dekat, terkadang harus ditempuh dalam waktu 1-2 jam di jalan. Saya sering kali melihat teman-teman yang tinggal di beberapa kota besar mengeluh soal ini dan merasa umur mereka hanya habis di jalanan karena terjebak macet.

Di tempat tinggal saya, di Kabupaten Bangkalan Madura, tentu saja macet jarang ditemui. Paling mentok macet terjadi kalau menjelang Lebaran saja. Itu pun karena orang-orang yang merantau ke kota pulang kampung ke sini.

#2 Sumber air melimpah dan udara bersih

Sumber air dan udara di tempat tinggal saya tentu saja masih bersih dan jauh dari polusi. Air untuk sumber kehidupan berasal langsung dari sumber mata air. Air sungainya masih jernih dan banyak ikannya. Pepohonan masih hijau dan sawah masih terbentang luas. Yah, asalkan nggak ada yang ujug-ujug membangun pabrik dan membuang limbahnya di sungai, menebang pepohonan, dan mendirikan bangunan-bangunan beton dan berasap di atas sawah, semua bakalan aman.

#3 Biaya hidup murah

Biaya hidup di pelosok Kabupaten Bangkalan Madura itu murah. Penjual makanan di tempat tinggal saya misalnya, rata-rata mematok harga murah karena bahan baku makanannya juga mereka peroleh dengan harga murah. Bahkan di pasar, berbekal uang lima ribu rupiah sudah bisa dapat sebungkus nasi lengkap dengan lauk pauknya, lho. Bandingkan dengan di kota besar, uang lima ribu rupiah kadang cuma cukup buat bayar parkir.

Baca halaman selanjutnya

Duka tinggal di pelosok Kabupaten Bangkalan Madura…

Dukanya tinggal di pelosok Kabupaten Bangkalan Madura

#1 Fasilitas umum kurang memadai

Tinggal di pelosok Kabupaten Bangkalan Madura memang nggak bakalan kena macet, tapi bukan berarti kami yang tinggal di sini nggak butuh fasilitas umum macam transportasi publik. Percayalah, kami yang tinggal di pelosok kabupaten justru paling membutuhkan transportasi publik yang memadai.

Ketika kenaikan harga bensin terjadi, pemerintah mungkin berharap orang-orang berpindah haluan dari naik kendaraan pribadi ke kendaraan umum seperti angkot (karena hanya angkot yang ada dan banyak tersedia di sini). Sayangnya, tetangga saya yang masih duduk di bangku SMP-SMA malah nekat naik motor ke sekolah diam-diam. Kenapa? Ya karena ongkos angkot naik tiga kali lipat.

Dari yang biasanya ongkos ke SMP bolak-balik hanya dikenakan dua ribu rupiah, naik menjadi enam ribu rupiah. Ongkos ke SMA lebih parah lagi, yang biasanya PP enam ribu rupiah, bisa jadi dua belas ribu rupiah. Dan sebelnya ini semua rata, seolah para sopir angkot di sini bersekongkol membuat aturan ini karena nggak ada pengawasan dari pemerintah kabupaten. Selain itu, angkot di sini rata-rata milik pribadi.

Seandainya angkot gratis atau bus jemputan sekolah bisa hadir di daerah sini, setidaknya akan memudahkan anak sekolah dan warga untuk bepergian.

Selain perkara transportasi umum, beberapa waktu lalu seorang teman saya yang tinggal di kota memberi tahu bahwa sistem perpustakaan di sana sudah digital. Katanya, bukan cuma buku-bukunya yang tersedia versi digitalnya, tapi proses peminjamannya juga bisa dilakukan secara digital. Belum lagi lagi koleksi buku di perpustakaan kota tersebut melimpah dan update. Lokasi perpusnya juga mudah dijangkau dan nyaman.

Setelah mendengar cerita teman saya, saya cuma bisa iri. Boro-boro di kabupaten pelosok bisa merasakan hal serupa, lha perpustakaan di sini koleksi bukunya lawas semua. Sudah gitu lokasinya juga sulit diakses, tempatnya kurang nyaman, buku-bukunya berdebu, dan kadang masih harus ditambah bonus pustakawannya jutek banget.

#2 Hiburan yang terbatas

Apa sih hiburan yang ada di pelosok kabupaten? Nggak banyak—kalau nggak mau dibilang nggak ada. Di tempat saya tinggal, di pelosok Kabupaten Bangkalan Madura, hanya ada stadion (iya, saya tahu stadion bukan tempat buat cari hiburan, tapi kami nggak punya pilihan lain), TRK (taman rekreasi kota) yang danaunya berwarna hijau lumut dan permainannya nggak asyik, pantai (yang banyak sampahnya), kolam renang (cuma kolam biasa tanpa banyak wahana di dalamnya), dan satu mal (yang hanya terdiri dari tiga lantai dan nggak banyak tenant di dalamnya). Sedih, kan?

Jadi, kalau mau nonton film di bioskop, saya dan teman-teman masih harus ke pulau seberang yang kotanya lebih maju. Mau cobain makanan kekinian? Ke pulau seberang dulu. Mau beli alat elektronik? Tentu saja juga harus ke pulau seberang. Pokoknya apa pun masalahnya, pulau seberang solusinya!

#3 UMR rendah

Duka terakhir yang saya rasakan selama tinggal di pelosok Kabupaten Bangkalan Madura adalah soal UMR dan beban kerjanya. Duh, kerja di pelosok kabupaten beneran bikin ngenes, deh. Udah UMR-nya minim, eh rata-rata gaji yang diberikan malah di bawah UMR dengan beban kerja yang nggak manusiawi.

Kadang gaji yang ditawarkan di sini malah hanya berdasarkan kesepakatan bersama. Kalau kerjaannya nggak diterima, nanti malah nganggur dan jadi beban orang tua. Tapi kalau diterima ya gimana. Terima nasib saja lah.

Begitulah suka duka tinggal di pelosok kabupaten. Tentu saja belum semua saya ceritakan di sini. Masih ada beberapa suka dan duka lainnya yang saya rasakan. Meski begitu, saya tetap senang bisa tinggal di sini. Semoga saja besok-besok akses hiburan tak terbatas lagi, fasilitas umum makin diperbaiki, dan tentu saja UMR-nya bisa naik lagi.

Penulis: Siti Halwah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Bangkalan Kota Zikir dan Selawat: Bukan Sok Alim, tapi Ada Maksudnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version