Beberapa hari sebelum Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, dinobatkan jadi koruptor saweran pejabat, Kementan menobatkan penyanyi dangdut, Lesti Kejora, sebagai Duta Petani Milenial. Otomatis, komentar sinis nan negatif pun timbul di sana-sini, bukan karena antara pengangkatan ini ada hubungannya dengan korupsi Pak Yasin, tapi karena penobatan itu sendiri memang mengada-ngada.
Komentar negatif terhadap pengangkatan artis jadi duta bukan tanpa alasan. Sebelum-sebelumnya, publik sudah dihebohkan oleh ulah Kementerian Komunikasi dan Informasi yang mengangkat Wulan Guritno sebagai duta anti judi online. Masalahnya pengangkatan ini terjadi setelah model tahun 2000-an ini ditangkap karena diduga mempromosikan judi online.
Kek mana ceritanya ada orang yang ngajak judi, malah jadi duta anti judi? Nggak nyambung, Bos!
Daftar Isi
Apa urgensinya mengangkat duta ini duta itu?
Dulu, pas masih zaman covid-19, mungkin ada yang masih ingat, ada yang jadi duta masker dan duta protokol kesehatan. Tapi mari kita bertanya, emang se-urgent apa sih mengangkat orang menjadi duta? Masih relevankah mengangkat satu orang buat dijadikan sosok untuk mewakili suatu bidang tertentu?
Dulu di tahun 2021, saya datang ke lapak baca salah satu teman saya. Di sana juga banyak temannya dari teman saya yang tak saya kenal. Setelah terlibat beberapa obrolan, saya baru tahu bahwa salah satu dari temannya teman saya itu ternyata mantan Duta Bahasa.
Ada sedikit hal yang tak menyenangkan di tengah obrolan kami.
Saat itu saya lagi ada proyek menyusun kosakata bahasa daerah yang sering dipakai oleh orang-orang di Kecamatan Mandiangin, Sarolangun. Saya pikir, saya berbicara dengan orang yang tepat, karena orang yang satu ini pernah mewakili kantor Bahasa, dan juga selain mengurusi tentang bahasa Indonesia, juga bahasa daerah.
Hal yang tidak menyenangkan itu terjadi ketika saya ceritakan itu, tiba-tiba dia bilang, “Berarti kalo mandi nggak pake air ya?”
Guyonannya patah bawah
Bercandaan yang menyenangkan, namun timbul di situasi yang tidak tepat. Lelucon semacam ini sebenarnya sudah biasa bagi saya, dan barangkali bagi orang Mandiangin lainnya. Saya pernah dapat lelucon yang sama dari abang-abang bengkel, bapak-bapak pedagang sayur, dan kuli panggul di pasar. Tapi saya tidak pernah mempersiapkan diri bakal dapat lelucon yang sama dari seseorang yang pernah dinobatkan sebagai duta lembaga orang-orang hebat.
Pertama, lelucon seperti itu biasanya dilemparkan oleh orang-orang yang memang belum pernah mendengar nama Mandiangin. Sedangkan salah satu tugas duta Bahasa, sesuai dengan slogannya adalah “Utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan Bahasa Daerah dan kuasasi Bahasa asing”. Artinya seorang duta bahasa seharusnya sedikit banyak tahu bahwa ada banyak ragam dialek Bahasa di Provinsi Jambi. Menurut data BPS, pada 2022 Provinsi Jambi memiliki 144 kecamatan dengan dialeknya masing-masing.
Dari ucapan yang disampaikan oleh seorang mantan Duta Bahasa ini, saya jadi berpikir ulang, emang ngapain aja sih kegiatan mereka selama ini? Apa saja program kerja yang mereka lakukan untuk mewujudkan slogan itu, tak pernah tampak di mata orang awam seperti saya. Terakhir kali saya lihat seorang duta bahasa cuma muncul di acara Talkshow dan seminar bertemakan literasi dengan kue dan hidangan lezat di depan mereka.
Persyaratan duta yang tak masuk akal
Pertanyaan ini tak cuma saya arahkan kepada Duta Bahasa semata, tetapi semua duta-duta yang pernah ada.
Dimulai dari persyaratan dan proses perekrutan. Dalam perekrutan duta wisata misalnya, mereka mensyaratkan tiga kriteria, Beauty, Brain dan Behaviour. Dilansir dari Indonesia Baik, tiga syarat ini diperlukan guna menunjang misi mereka, yaitu mengedukasi, mempersuasi, Figur Publik dan agen perubahan.
Ini terdengar rancu dan tidak nyambung antara persyaratan dengan peran yang diemban, terutama tentang Beauty. Oke, orang-orang boleh beranggapan bahwa Beauty di sini dengan makna yang luas. Tapi hasil dari kriteria tersebut faktanya menyingkirkan orang-orang dengan muka pas-pasan dan tidak layak kendati mereka punya Brain dan Behavior yang bagus.
Atau orang-orang boleh bilang bahwa fisik yang bagus juga dibutuhkan. Mengingat kegiatan mereka yang sering berinteraksi dengan orang banyak, seperti menyambut tamu dari luar kota, menghadiri acara protokoler pemerintahan dan sejenisnya. Tapi masalahnya, kegiatan mereka kebanyakan tak lebih dari yang saya sebutkan barusan.
Pemborosan semata
Edy Sutrisno, seorang anggota DPRD Magelang tahun 2013 pernah menilai bahwa ajang duta wisata semacam ini hanya pemborosan dan melenceng dari tujuannya semula. Alih-alih menjadi edukator dan agen perubahan, dan berkontribusi buat orang banyak, Duta Wisata tak lebih dari seorang pengawal pengantin dengan segala peralatan perangnya. Tapi giliran si penganten diserang beneran, dia lari tunggang langgang karena peralatan perang tersebut cuma replika semata.
Lagipula kalo peran duta wisata mempromosikan parawisata di daerahnya, kayaknya di era sosial media sekarang. Seperti yang dikatakan pegiat Perempuan Gunung Kidul, Mudi Lestari ketika dia mengomentari ajang duta pariwisata Gunung Kidul Maret 2023 yang lalu. Peran para TikTokers dan netizen lebih berpengaruh untuk mempromosikan wisatanya, dibanding si duta sendiri. Ini masuk akal juga, sih. Tak perlu script dan bahan apa pun, cukup dengan berkunjung dan berswafoto di sana, lalu unggah ke sosial media, maka otomatis orang-orang melihat dan menjadikan tempat wisata tersebut sebagai rekomendasi buat liburan.
Kurangnya pemberdayaan terhadap para duta ini juga membuat peran mereka berkesan kayak ecek-ecek. Seperti yang diakui oleh Jabatan Fungsional Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Berau, Retno Kustiah. Dinas terkait masih kesulitan untuk memberdayakan para duta wisata dan budaya karena belum ada formulasi yang tepat.
Sejauh ini pemberdayaan para duta hanya pada tataran pelibatan setiap agenda promosi kebudayaan dan pariwisata daerah di luar kota. Kemudian, menjadi penyambut tamu kehormatan setiap agenda Pemkab Berau. Ah, lagi-lagi cuma sebagai tim penyambut tamu.
Motivasi, niatnya
Ajang duta, dengan mengangkat seorang kaum muda mewakili suatu bidang, memang awalnya bertujuan untuk memotivasi anak muda yang lain untuk ikut berkontribusi pada bidang yang didutakan. Mereka ini dianggap sebagai agen yang mewakili lembaga terkait untuk menyuarakan program mereka kepada kamu muda.
Tapi sayangnya, ajang duta, Bujang-Gadis, Abang-None dan sejenisnya itu semakin ke sini semakin berkesan main-main dan boros anggaran. Senada yang dikatakan oleh kak Mudi Lestari tadi, ajang duta-dutaan seperti ini tak lebih dari ajang pamer kecantikan yang sudah dimulai sejak Orde Baru. Relevansinya buat pembangunan apa, outputnya apa, pun dinas terkait yang mengadakan, juga tak menjelaskannya secara detail.
Baik Lesti maupun Wulan selama ini tidak merepresentasikan apa yang mereka wakili. Lesti, kendati katanya orang tuanya petani, dan dia kalo pulang kampung masih ikut bertani, tapi orang-orang sudah terlanjur kenal bahwa dia adalah seorang entertainer. Harusnya yang dijadikan duta petani adalah orang tuanya.
Begitu pula Wulan Guritno. Keputusan kominfo yang berencana mengangkat dia jadi duta anti-judi online sangat tidak beretika. Itu justru mengglorifikasi orang-orang yang berbuat melanggar hukum. Meskipun kedoknya memotivasi orang-orang untuk melakukan hal yang sebaliknya, mau dilihat dari puncak langit tertinggi pun, itu tetap tidak masuk akal.
Sudah saatnya pemerintah mengalihkan anggaran ke hal-hal yang berdampak langsung, daripada mengadakan acara seremonial semacam ini. Jika ingin melestarikan bahasa, entah itu Indonesia, Daerah, maupun asing, kenapa tak diperkuatkan saja ke dalam mata pelajaran di sekolah? Jika ingin memperkuat sektor pertanian, urus pertanian dengan benar dan jangan korupsi. Cukuplah Akhdiyat Duta Modjo jadi Duta Sheila on 7, Lesti Kejora jangan.
Penulis: Rinaldi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Duta Sheila on 7 Mengomentari Kehidupannya yang Biasa Saja