Magelang sebaiknya mengganti istilah klitih dengan kejahatan jalanan. Kalau sudah, niscaya tak ada lagi klitih. Percaya, wis!
Magelang, meski berbeda, mau tak mau tetap dianggap bagian dari Jogja. Ya, nyerempet-nyerempet, lah. Budayanya juga sebenarnya tak terlalu berbeda, meski pariwisatanya kalah telak dalam segala sisi. Apa yang ada di Jogja, sedikit banyak meresap dengan perlahan ke wilayah Magelang, layaknya percobaan kapilaritas.
Apa yang terjadi di Jogja detik ini, sudah pasti mempengaruhi Magelang dengan segera di detik selanjutnya. Selain gacoan dan pembangunan jalan tol, Magelang juga punya tren kejahatan jalanan yang hampir mirip operandinya seperti yang ada di Jogja. Meski begitu, kami di sini masih senang menyebutnya sebagai klitih.
Entah sudah berapa kali kejadian yang tak mengenakkan itu terulang. Bahkan boleh saja saya sebut lumayan sering. Segerombolan orang mengendarai motor dengan gaya slebew sembari berbuat onar. Banyak dari mereka yang bawa senjata tajam dengan gaya-gaya perlente bak bandit jalanan. Sayangnya, bukan hanya gaya mereka yang meresahkan, tapi termasuk perbuatan mereka ke masyarakat. Seperti yang Anda sekalian tahu, klitih (yang berkonotasi negatif) ini adalah budaya kranjingan yang sepertinya tak pernah padam. Bahkan kini makin menyebar.
Sebagai orang Magelang, saya khawatir dan sudah pasti marah. Apalagi saya punya keluarga yang kerap keluar malam karena keharusan. Tentu bukan hanya saya yang merasakan kegundahan ini. Pasti tak ada yang mau dilukai saat sedang berkendara. Tak mungkin ada yang mau diserang saat sedang nongkrong bersama kawan-kawan. Semua orang perlu rasa aman, termasuk kami orang Magelang.
Rasa aman yang saya sadari harus diusahakan dengan kerjasama yang baik. Masyarakat dan pemerintah harus segera bertindak dengan satset. Maka dari itu, sebagai makmum dari Jogja, seharusnya Magelang segera meniru solusi nan solutif akan klitih dari imamnya itu. Sudah saatnya Magelang mengganti istilah “klitih” menjadi “kejahatan jalanan”. Klitih yang makin meresahkan dan bikin hidup makin semrawut, sudah seharusnya kita tanggulangi dengan cara yang cerdas macam itu. Cara yang brilian, yang jika diterapkan akan membuat patung Diponegoro di alun-alun gedhek-gedhek dan turun dari kudanya.
Dengan mengganti istilah klitih menjadi kejahatan jalanan, saya yakin klitih akan segera hilang di Magelang. Ini adalah keyakinan seratus persen dari saya. Soal setelah itu masih ada orang-orang berbuat onar serupa sobat klitih, itu soal lain. Mau separah apa pun perbuatan mereka, itu adalah kejahatan jalanan, bukan klitih! Jika banyak yang dirugikan, baik jiwa maupun raga, itu tetap bukan klitih!
Mengganti istilah memang tak bisa memberikan rasa aman, namun setidaknya penggunaan istilah klitih segera menurun. Saya tahu, mengganti istilah tak mungkin menurunkan efek buruk yang diterima masyarakat. Lagipula, kejahatan ini punya akar yang kuat dan menancap dalam, dan cara terbaik untuk menghentikan pertumbuhan akar itu adalah dengan memperbaiki tata bahasa di masyarakat, ketimbang mencoba memahami akar masalahnya.
Klitih sendiri punya makna mendalam yang jauh dari hal berbau kriminalitas. Ia bermakna asli jalan-jalan biasa. Kita tak boleh mencederai makna asli klitih. Jika perlu, kita harus mengganti kejahatan jalanan dengan kata yang lebih indah dan beradab. Meski saya tetap saja yakin, banyak warga Magelang yang akan tetap cedera. Karena menjaga tata bahasa tak akan pernah bisa menurunkan angka kriminalitas.
Tak ubahnya mengubah nama kopi menjadi madu. Sampai kapan pun rasanya tetap pahit dan warnanya hitam. Walau setidaknya ada hal baik yang sejatinya harus kita amini bersama. Bahwa kita adalah negara yang menghargai tata bahasa, meski belum mampu memberi rasa aman pada warganya.
Tapi, mau bagaimana lagi, mau berharap apa kalau kemampuan kita hanya sebatas mengganti nama?
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Apa Itu Klitih? Panduan Memahami Aktivitas yang Mengancam Nyawa In