Tulisan #nahkoda_kapal_pecah semakin menguatkan indikasi bahwa kegiatan curhat di media sosial kini tidak lagi didominasi oleh kaum perempuan. Setelah ustaz unknown serba tahu soal efek drakor dan tuduhan-tuduhan seriusnya yang tidak sepenuhnya terbukti, seorang Bapak lewat tulisannya dengan hastag nahkoda_kapal_pecah turut membuktikan bahwa adalah PENTING mengeluhkan kondisi perempuan (dalam hal ini istri) dalam perspektif negatif di ranah publik, entah didasarkan pengalaman dalam rumah tangganya atau sekadar generalisir dangkal demi mencari sensasi belaka.
***
Bapak yang merindukan istri sempurna serupa bidadari,
Perempuan dalam memenuhi nalurinya yang cenderung ingin tampil cantik dan tetap terlihat menarik, tak perlu curhatan lebay semacam #nahkoda_tanpa_kapal untuk terpancing bersolek. Ada banyak layanan kecantikan dan produk-produk berkualitas yang kini sangat mudah diperoleh tentunya asal duitnya ada.
Duit, Pak… duit yang nominalnya tidak cukup hanya disisihkan dari anggaran belanja bulanan. Sebab kualitas itu memang sudah dari sananya cenderung berbanding lurus dengan harga. Semakin mantap anggarannya, semakin besar peluang dan pilihan seorang perempuan merawat dan meningkatkan kecantikan lahiriahnya secara paripurna.
Minimal sebulan sekali potong rambut, meni pedi setiap dua minggu sekali, rutin facial dan creambath itu sudah sangat biasa. Di timeline saya sedang ramai membahas skincare dan seluk beluknya, serta pilihan-pilihan merek sekaligus urutan perawatan yang jumlah produk yang mesti digunakan untuk mencapai hasil yang gemilang, yang kalau dijumlahkan kurang lebih sama banyak jenisnya dengan jumlah bumbu masakan yang ada di dapur restoran Padang. Pagi hari harus pakai sekian macam, siang hari setelah shalat sekian macam dan malam beda lagi.
Saya sangat percaya itu bukan sekadar #humblebrag ala pecinta skincare, sebab suatu ketika di Korea saya sempat mendengar sendiri seorang lelaki muda berwajah penuh cahaya yang bertugas sebagai pemandu wisata, menceritakan bahwa ibunya yang sudah cukup sepuh setiap pagi, siang dan malam masih secara rutin melaksanakan ritual perawatan wajah melalui 10 macam tahap.
Konon, 10 macam tahapan itu karena sudah saking terbiasanya, bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari 10 menit saja. Soal waktu saya tidak begitu kuatir, yang saya penasaran, berapa besar anggaran yang harus disiapkan untuk perawatan disiplin lagi paripurna semacam itu? Pagi, siang dan malam kok kayak mahal dan melelahkan bagi perempuan yang suka serba cepat dan serba perhitungan macam saya ini? Dan ternyata, itu memang bukan masalah bagi mereka yang paham betul lika-liku merawat kecantikan. Mereka sangat sadar dan rela menyisihkan penghasilan mereka asalkan wajah bisa tetap tampil kencang dan mulus, yang mana kita tahu bersama bahwa produk kecantikan yang yahud harganya tidak main-main.
Bapak, sudahkah pernah secara sadar dan rela menyisihkan penghasilannya untuk anggaran kecantikan istri sendiri? Alangkah lebih mantap jika Bapak justru memulai menjadi pelopor gerakan para suami #dukungpenggunaanskincare dan terus giat menyemangati mereka supaya mohon jangan pelit jika ingin selalu ada pemandangan serupa 72 bidadari di rumah mereka.
Ada kualitas, ada harga, Bapak. Begitulah.
Soal makanan di rumah yang keseringan indomie dan tumis kangkung kebanyakan micin, saya kok ya prihatin. Di luar layanan pesan makanan jadi sekarang begitu marak, kita pun sudah hidup di era informasi apapun bisa diakses dengan sedemikian kilat. Asal berteman dengan Google, yakin persoalan remeh semacam tidak bisa memasak aneka masakan enak akan teratasi. Di Google tinggal ketik nama masakannya, sekian banyak resep muncul seketika, tinggal memilih yang mana hendak diikuti. Apa istri Bapak termasuk fakir kuota?
Yang lagi menjadi masalah sebenarnya adalah kembali ke persoalan dana, Bapak. Anggaran belanja bulanannya sudah cukupkah membeli rupa-rupa bahan makanan yang enak berikut bumbu dan pelengkap empat sehat lima sempurnanya? Kalau sudah dan di rumah menu makanannya masih itu-itu juga, saya bercuriga, Bapak ini mungkin bukan tipikal lelaki yang pandai mengambil hati istrinya. Jarang memuji, kurang tahu caranya membangkitkan gairah memasak istri yang kuncinya sebenarnya hanya butuh suara sedikit mesra dan pujian sedikit gombal.
Kurang asin, tinggal bilang; “Wah, Mama pinter banget meramu masakan yang sesuai dengan kebutuhan usiaku…”
Kurang gurih, tinggal senyum; “Besok ulangi masak ini lagi ya, Ma. Chef Farah Quinn yang cantiknya kayak Mamah itu juga awalnya begini rasanya pas belajar masak.”
Kurang manis; “Nggak apa-apa kurang manis, tinggal lihat Mamah kan sama saja. Yang pahit pun jadi manis rasanya.”
Gombal tidak berbiaya itu kadang cukup efektif membuat istri besoknya lebih giat lagi mencoba resep baru. Begitu, Bapak?
Dan soal yang ketiga mengenai; harumkan mulut zahir dan batinmu, itu merupakan masalah yang harus dipecahkan oleh suami dan istri dalam ranah privat. Bahkan anak-anak jangan sampai ikut mencuri dengar jika usia mereka masih di bawah umur. Biasanya lelaki yang cukup baik inisiatif dan kepeduliannya kepada kondisi istri, tidak akan goyah mengenai perkara sensitif semacam ini. Lalu kalaupun sampai dirasa mengganggu, si suami dengan sabar pasti akan sudi membimbing istrinya untuk mencari jalan mengatasi masalah yang ada. Jangan dirundingkan di ranah publik, Pak, kuatirnya orang akan menggunjingnya sebagai aib istri Bapak. Bukankah suami yang baik adalah suami yang bisa menjaga kehormatan istrinya?
Pertinyiinnya, apakah benar masalah bau-bauan ini hanya milik perempuan saja? Yang saya tahu malah kebanyakan perempuan berada dalam relasi kuasa suami dan merasa tidak berhak dan risih mengkritik apa saja kekurangan suaminya. Takutnya kalau suami tidak ridho, di dunia mereka menghadapi hujatan ipar dan mertua, di akhirat neraka ancamannya. Semacam istri yang durhaka dan kurang bersyukur.
Padahal, di angan-angan sebenarnya banyak istri yang juga mendambakan suaminya tetap setampan dan se-sixpack waktu kali pertama bertemu, tetap memuji dan mengirim pesan cinta di sela-sela lelahnya para perempuan ini berjuang untuk tetap menjadi nahkoda, padahal rumah tangga itu ya jabatan nahkoda harusnya dipegang suami. Para perempuan ini yang sebenarnya kepengin sekali-sekali dimasakkan sesuatu oleh suaminya yang walau nggak enak dan kebanyakan micin mereka akan lebih lebay melihat prosesnya sebagai bentuk cinta.
Di kenyataan sehari-hari, ada perempuan yang justru terbelenggu dilema tempat tidur yang tidak lagi hangat, makan bersama tak lagi romantis, bahkan mereka abai memikirkan tampilan fisik mereka lagi sebab suami menjadi sosok yang suka mengeluh dan terlalu sering membandingkan istrinya dengan perempuan-perempuan lain. Bahkan dengan bidadari yang entah bagaimana sempurna paras dan baunya.
***
Bapak yang merindukan istri sempurna serupa bidadari,
Banyak lelaki berpoligami tanpa memenuhi syarat ijin dari istri. Mengapa lantas risau lalu meributkan hal-hal yang dulunya Bapak siap terima sebagai satu paket; perempuan yang dicintai lengkap dengan kekurangan-kekurangannya dan akan menjadi teman perjalanan sehidup semati?
Poligami jaman now itu terjadi semata-semata tidak melulu oleh sebab istri terlalu banyak kurangnya. Justru kadangkala terjadi karena suami terlalu banyak maunya.
BACA JUGA Perspektif Orang Ketiga dalam Prahara Rumah Tangga Orang Lain atau tulisan Mimi Hilzah lainnya. Follow Facebook Mimi Hilzah.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.