Ketika hidup makin sulit dan tidak pasti, apa hal terenak yang bisa dilakukan? Betul, mengagumi orang miskin! Melihat mereka yang hidup sederhana tapi bisa mencapai sesuatu yang besar. Apalagi kalau orang itu bisa lebih ‘sukses’ dibanding kita. Misal, seorang Abdi Dalem Kraton Jogja yang diupah rendah, tapi bisa menguliahkan anak. Cerita yang bisa mengalihkan sesaknya hidup menjadi kagum dan syukur.
Padahal yang dikagumi itu harusnya menjadi bare minimum. Standar hidup layak hari ini. Tapi hidup yang brengsek dan dikelola pemerintah bajingan membuat hal sepele jadi mengagumkan. Sialnya ini semua adalah candu. Alih-alih menjawab masalah struktural, orang berebut onani kemiskinan dan mengagumi hidup yang sesak.
Abdi dalem yang memang melayani bukanlah tanda keberhasilan falsafah narimo ing pandum! Justru menjadi bukti bahwa ada yang salah dalam memahami hidup layak dan sejahtera. Melihat abdi dalem sebagai konsep hidup ideal hanya akan membodohi nalar yang tersisa. Memudahkan penguasa untuk mencekik Anda yang masih ngablu pada idealisme kosmologis nggatheli.
Kekaguman berlebihan pada abdi dalem
Saya masih garuk-garuk kepala yang tak gatal ketika membaca opini Masbiiem melalui akun X @merapi_uncover. Dengan begitu naif dan nggapleki, Masbiiem meromantisasi para abdi dalem yang hidup sederhana bahkan nelangsa. Tapi bisa menghidupi bahkan menguliahkan anak-anaknya. Bahkan ketika abdi dalem hanya gajian tiga bulan sekali dan tidak seberapa.
“Aneh tapi inilah istimewanya Jogja & mereka semua,” kata akun tidak jelas itu. Bentar, yang aneh bukan fenomena ini. Tapi logika patah bawah seorang Masbiiem. Kok bisa memuliakan sistem kerja yang tidak layak sebagai sesuatu yang istimewa?
Tentunya cuitan seperti ini akan disambar ratusan warganet. Terutama mereka yang mempertanyakan logika Masbiiem. Tapi yang mendukung juga banyak. Memandang jadi abdi dalem akan mendatangkan rezeki secara ajaib.
Sepertinya Masbiiem ini terlalu banyak wuru kecubung romantisasi Jogja. Jadi lupa tentang makna sebuah pengabdian. Atau memang otaknya tidak sampai seperti isi cuitannya. Yang jelas, nggatheli!
Memahami pengabdian abdi dalem
Sebelum kalian mengirim somasi, saya mau mengingatkan: saya tidak benci abdi dalem. Mereka adalah orang-orang yang tulus mengorbankan waktu dan tenaga demi pengabdian. Tapi saya benci pada konsep pengabdian yang dipelintir kaum-kaum tidak menapak tanah.
Kunci utama memahami fenomena ‘abdi dalem’ adalah dari kata pertama: abdi. Menjadi abdi dalem bukanlah pekerjaan profesional. Bukan menukar tenaga dan pikiran dengan nafkah. Konsep Abdi Dalem cukup dekat dengan sistem volunteer. Dan seperti yang Anda tahu, sistem volunteer memang rentan dengan kerja keras tanpa apresiasi.
Apresiasi seorang abdi dalem memang jauh dari kriteria hidup layak. Karena memang bukan didasari oleh hubungan industrial. Beberapa sumber menyatakan ‘gaji’ abdi dalem Kraton Jogja hanyalah ratusan ribu sampai dua juta lebih sedikit. ‘Gaji’ jutaan ini adalah honorarium di luar upah simbolis atau kekucah yang mengenaskan. Diambil dari Dana Keistimewaan (Danais) yang triliunan itu. Maka menjadi abdi dalem bukanlah untuk menyambung hidup. Tapi bentuk pengabdian pada budaya Jawa yang (katanya) diwariskan pada monarki Jogja.
Baca halaman selanjutnya
Honorarium abdi dalem dan standar hidup




















