Pernah nggak pas lagi scrolling Instagram ketemu iklan kursus bahasa Inggris yang bangga mempromosikan “belajar sama native speaker”?
Nah, selamat datang ke dunia industri bahasa Inggris, di mana mitos native speaker=guru terbaik berujung pada termarjinalkannya guru lokal. Industri bahasa di sini (masih) berani bayar mahal guru ‘native’ dan ngasih label ‘premium’ atau ‘ekslusif’ di paket kelasnya. Nah, apakah berarti guru lokal nggak premium? Mari kita bongkar bareng kenapa stereotip ini harus segera kita matikan!
Daftar Isi
Native-speakerism
Saya rasa, industri bahasa di sini terjangkit native-speakerism. Apa sih native-speakerism? Intinya, banyak orang menganggap guru yang lahir dan besar di negara penutur asli Inggris (kayak UK, US, Australia) itu otomatis juara mengajar. Padahal kemampuan ngajarnya belum tentu lebih oke dibanding guru lokal yang kompeten.
Sebenarnya, banyak ahli bahasa bilang bahwa konsep ‘native’ itu samar banget dan layak diperdebatkan (kompilasi tulisan yang cukup komprehensif dapat dilihat dalam buku (En)Countering Native-speakerism). Holliday (2015) dengan tajam mengaitkan native-speakerism dengan hierarki warna kulit dan budaya yang dilegitimasi sebagai ‘standar emas’. Dia menamai fenomena ini sebagai neo-rasisme, karena ia tidak lagi bersifat eksplisit sebagai penindasan ras tradisional, melainkan terselubung dalam wacana profesional dan komersial industri bahasa Inggris.
Neo-rasisme bekerja lewat narasi bahwa penutur Barat adalah “pemilik” bahasa, sementara ragam dan aksen lain dianggap sekadar variasi inferior. Sederhananya, pengajar bahasa Inggris non-native (baca: selain kulit putih) dianggap tidak cukup otentik dan tidak sempurna, sehingga kerap mengalami diskriminasi dalam pasar kerja.
Coba kita pikirin baik-baik: dalam konteks bahasa Inggris, orang mana yang dapat dikategorikan sebagai native? Apakah orang Singapura yang dalam kesehariannya biasa bicara pakai bahasa Inggris tidak tergolong native speaker? Bagaimana dengan orang India dengan aksen khasnya yang sejak lahir sudah terbiasa menggunakan dengan bahasa Inggris sehari? Tetap bukan native meskipun dapat bicara lancar?
Atau contoh yang lebih dekat dengan kita: anak Indonesia yang sejak kecil sudah lancar berbahasa Inggris (misalnya dengan menjadi siswa di sekolah internasional). Kalaupun mereka tidak dianggap native karena dialek mereka berbeda, bahasa Inggris di AS, UK, dan Australia pun muncul dengan beragam logatnya. Kenapa label native hanya dilabuhkan pada orang Barat?
Native vs non-native yang sudah tidak relevan
Kini saatnya kita terima semua variasi Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, yang juga dikenal sebagai paradigma World Englishes. Lagi pula, secara statistik dan kedekatan geografis, kita lebih mungkin menggunakan bahasa Inggris dengan mereka yang bukan berasal dari ‘English-speaking countries’ dibanding mereka yang berasal dari AS-Canada, UK, dan Australia-New Zealand. Jelas, dari jumlah populasinya saja kalah jauh.
Dengan kata lain, dikotomi ‘native’ vs ‘non-native’ sudah tidak relevan dan tidak berguna sama sekali. Kita tidak lagi memerlukan validasi mereka yang berkulit putih sebagai ukuran kemampuan berbahasa Inggris. Justru sebaliknya, jika tujuan pengajaran bahasa Inggris adalah untuk berkomunikasi global, eksposur pembelajar terhadap ragam dialek bahasa Inggris menjadi semakin penting. Ketika bekerja, mereka mungkin akan menggunakan bahasa Inggris untuk berinteraksi dengan klien dari Singapura atau bos dari India.
Setelah kita sadar bahwa ‘native’ itu sendiri mitos, selanjutnya tinggal tanya: siapa yang paling diuntungkan oleh stereotip ini?
Industri pendidikan paham betul cara mengkapitalisasi mitos ini dan memainkan psikologi publik untuk kepentingan mereka. Misalnya, di feeds Instagram Kursus ABC, kita bakal disambut foto bule ganteng atau cewek cantik dengan label belajar bareng native speaker, lengkap dengan embel-embel eksklusif dan premium, seolah-olah sekadar bersuara dengan aksen Barat auto jago semua.
Ada paket “bule” untuk korporat dan orang tua yang rela bayar mahal. Lalu ada paket “lokal” untuk mahasiswa dan pekerja kantoran dengan harga lebih miring. Belum lagi ada add-on “speaking club with native speaker” yang bikin makin cringe! Boleh jadi mereka sekadar menemukan turis bule dan langsung ditawarkan mengajar part-time. Sad but true.
Guru bahasa Inggris lokal terpinggirkan
Sementara itu, guru lokal jadi marjinal. Fee per jam mereka timpang. Misalnya ditawar Rp150.000/jam, padahal di lembaga yang sama bule dapat Rp250.000/jam. Meskipun secara kualitas dan sertifikasi sudah mumpuni, para guru lokal ini akan terus dibayar murah simply karena mereka nggak berkulit putih. Kebayang kan absurdnya sistem ini? Apa ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini selain rasisme?
Ini jelas merugikan ekosistem pengajaran dan kesejahteraan guru lokal. Fenomena ini membuat saya mikir: sebenarnya, saat kursus-kursus itu buka lowongan, mereka lagi nyari apa sih? Pedagog profesional yang paham metode pengajaran atau badut marketing yang sekadar bisa diajak foto bareng? Coba bayangin CV guru lokal berisi gelar S1 jurusan pendidikan, pengalaman ngajar 4 tahun, dan sertifikasi guru, tapi kalah bersaing sama guru “native” yang pengalaman mengajarnya nggak jelas sambil nulis, “Let’s learn English together!”
Belajar bahasa Inggris nggak harus sama native, kok
Melalui tulisan ini saya mengajak para pembaca, khususnya mereka yang berencana mau belajar bahasa Inggris, untuk tidak terkecoh dengan label ‘kelas native’. Cek kredensial gurunya, bukan asal usul atau warna kulitnya. Dukung guru lokal yang udah punya skill mumpuni dan pantas dapat upah adil, sekaligus jadi konsumen kritis yang tolak label premium cuma karena bule. Ingat, bahasa Inggris itu bahasa internasional, bukan bahasa orang Amerika atau British doang.
Selain itu, para pengajar bahasa Inggris yang terhormat: daripada mengajar slang Amerika, aksen British, dan yang semacamnya itu, lebih baik berikan materi yang lebih relevan dan berguna bagi kebutuhan komunikasi global. Budaya kulit putih bukan hal yang ekslusif dan sepenting itu sehingga murid harus paham. Ada banyak pendekatan pengajaran yang lain yang lebih relevan dan berguna bagi mereka.
Sudah saatnya kita memutus rantai mitos native-speakerism dan berhenti mengglorifikasi guru bule dalam pengajaran bahasa Inggris. Bahasa Inggris adalah milik kita semua, bukan milik segelintir orang Barat saja. Maka mari jadikan pembelajaran benar-benar inklusif, relevan, dan berbobot.
Penulis: Faqih
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengalaman Berkomunikasi dengan Bule yang Bukan Native English Speaker