Apabila kita berbicara tentang isu diskriminasi rasial, maka negara pertama yang terlintas adalah Amerika Serikat. Hal ini karena Amerika Serikat memang memiliki sejarah panjang terkait isu diskriminasi rasial. Ketika Amerika secara resmi dipimpin Barack Obama, banyak pihak yang merasa bahwa diskriminasi rasial bukan lagi menjadi momok di Amerika. Namun, masalah diskriminasi rasial ternyata masih menjadi suatu isu penting di Amerika sampai sekarang.
Amerika Serikat bukanlah satu-satunya negara yang harus bergelut dengan isu diskriminasi rasial. Negara tetangga Indonesia, yakni Australia, juga memiliki sejarah panjang terkait diskriminasi rasial terhadap suku Aborigin. Praktik diskriminasi tersebut dikenal dengan Stolen Generation atau generasi yang terampas.
Permasalahan diskriminasi rasial di Australia tidak terlepas dari status negara Australia yang merupakan salah satu negara koloni Inggris. Tahun 1770 Kapten James Cook, seorang armada dari Inggris berlayar menelusuri sepanjang pantai timur dan berhenti di Botany Bay. Ia kemudian mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayah Kerajaan Inggris dan memberinya nama New South Wales sebelum akhirnya berubah nama menjadi Australia.
Wilayah Australia dahulu dimanfaatkan oleh pemerintah Inggris sebagai solusi untuk mengatasi kepadatan di penjara-penjara Inggris. Tahun 1787, armada pertama yang membawa sekitar 700 narapidana berlayar menuju Australia dan secara resmi Inggris pun mengkolonialisasi Australia. Masyarakat asli Australia yakni suku Aborigin harus hidup berdampingan dengan pendatang kulit putih dari Inggris yang secara perlahan tidak hanya tinggal di wilayah mereka tetapi juga membangun sistem pemerintahan.
Dengan terbentuknya sistem pemerintahan, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh masyarakatnya. Pemerintah Australia pun berkeinginan untuk mensejahterakan anak-anak suku Aborigin. Pemerintah Australia melihat ada banyak anak suku Aborigin yang tidak terurus, hidup di alam terbuka dan tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan kebersihan. Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan untuk melakukan penertiban anak-anak suku Aborigin. Niat baik pemerintah Australia ini didukung oleh para tokoh masyarakat pada saat itu. Penertiban anak-anak suku Aborigin dilakukan tidak hanya agar mereka mendapatkan pendidikan dan akses terhadap kesehatan tetapi juga agar mereka dapat berbaur dengan anak-anak kulit putih.
Niat awal pemerintah Australia yang tergolong baik ini justru berubah dalam proses pelaksanaannya. Pemerintah Australia tidak hanya mengumpulkan anak-anak yang tidak terurus tetapi semua anak suku Aborigin diambil paksa dan dipisahkan dari orang tuanya. Anak-anak yang sudah diambil oleh pemerintah Australia tidak akan bisa lagi bertemu dengan orang tua mereka. Anak-anak tersebut kemudian dikumpulkan dalam sebuah kamp, untuk nantinya diberikan edukasi tentang gaya hidup orang kulit putih.
Apabila anak-anak suku Aborigin tersebut telah memasuki usia dewasa, maka mereka akan keluar dari kamp untuk selanjutnya dipekerjakan sebagai budak bagi keluarga kulit putih di Australia. Hal inilah yang menyebabkan banyak pihak mengklaim bahwa Stolen Generation bukan hanya sekedar bentuk diskriminasi rasial tetapi juga perbudakan serta cultural genocide atau genosida budaya yakni sebuah upaya pembersihan budaya.
Pemerintah Australia juga membuat serangkaian aturan hukum yang mengatur tentang Stolen Generation. Aturan hukum ini dibuat oleh masing-masing negara bagian di Australia, antara lain, di tahun 1905 dikeluarkan The Western Australia Aborigines Act. Aturan hukum ini melegalkan negara memisahkan seorang anak Aborigin di bawah usia 16 tahun dengan keluarganya untuk menjalani program pemerintah
Kemudian di tahun 1911, dikeluarkan lagi aturan hukum The South Australian Aborigines Act yang melegalkan negara memisahkan anak Aborigin yang berusia di bawah 21 tahun dari keluarganya. Terakhir ada pula aturan Northern Territory Aboriginals Ordinance yang melegalkan pemisahan anak Aborigin di bawah usia 18 tahun dengan keluarganya
Pada akhir tahun 1950-an, masyarakat suku Aborigin yang didukung pula oleh aktivis hak asasi manusia bersama-sama mengkampanyekan hak-hak sipil yang sama untuk penduduk asli Australia yakni suku Aborigin, dan berjuang untuk pencabutan serangkaian aturan hukum yang merampas kebebasan sipil bagi masyarakat suku Aborigin.
Perjuangan ini terus berlanjut hingga tahun 1958, di mana pada bulan Februari, sejumlah aktivis membentuk kelompok kepentingan yang mereka namai Federal Council for Aboriginal Advancement (FCAA) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak sipil serta kebebasan bagi masyarakat Aborigin serta mencabut semua peraturan yang mendiskriminasi suku Aborigin dan melakukan amandemen terhadap undang-undang.
Perjuangan panjang masyarakat Aborigin mulai menemukan titik terang di tahun 1967. Pada tanggal 27 Mei 1967, pemerintah federal Australia menggelar referendum. Referendum tersebut dicetuskan untuk menerapkan kebijakan atas dasar persamaan bagi setiap warga Australia. Tahun 1991, pemerintah federal Australia membentuk The Council for Aboriginal Reconciliation, yang kemudian berganti nama menjadi Reconciliation Australia pada tahun 2000, yang bertugas untuk mempromosikan adat dan kebudayaan suku Aborigin.
Puncak perjuangan masyarakat Aborigin dalam memperjuangkan tanggung jawab pemerintah atas Stolen Generation terjadi pada tahun 2008 silam. Perdana Menteri Australia kala itu Kevin Rudd menyampaikan sebuah pidato permintaan maaf atas segala dosa masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah Australia terdahulu kepada masyarakat Aborigin. Permintaan maaf ini disampaikan khususnya kepada para generasi dari Stolen Generation. Rudd mengatakan bahwa apa yang telah pemerintah Australia perbuat di masa lalu berangkat dari asumsi-asumsi rasial terhadap suku Aborigin. Oleh karenanya berbagai kebijakan yang dibuat di masa lalu kerap memarginalkan masyarakat Aborigin. Dalam pidatonya, Rudd juga mengungkapkan harapannya untuk mensejajarkan masyarakat Aborigin dengan masyarakat kulit putih sebagai masyarakat Australia yang setara.
“we today take this first step by acknowledging the past and laying claim to a future that embraces all Australians”
Begitulah sepenggal kutipan dari pidato permintaan maaf Kevin Rudd yang ia sampaikan di hadapan parlemen Australia. Pidato tersebut juga dihadiri sejumlah aktivis hak asasi manusia serta masyarakat suku Aborigin pada tanggal 13 Februari 2008. Dalam kesempatan yang sama, Kevin Rudd juga menetapkan tanggal 26 Mei sebagai National Sorry Day. National Sorry Day adalah hari untuk mengenang masyarakat suku Aborigin yang termarginalkan karena kebijakan masa lampau pemerintah Australia. Tahun ini, National Sorry Day dirayakan dengan mengambil tema “In This Together”. Tema ini memiliki makna yang mendalam karena menyiratkan harapan agar seluruh masyarakat Australia dapat bersatu. Persatuan yang dimaksud tidak hanya dalam hal mengatasi diskriminasi rasial tetapi juga dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang turut melanda Australia.
BACA JUGA Sistem Ujian di Sekolah yang Ada di Australia dan Jerman.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.