Belakangan ini, internet dan sosial media mendapati sebuah fenomena yang unik, yakni viralnya suatu aliran filsafat klasik bernama stoisisme atau yang lebih sering disebut stoikisme. Tersebarnya aliran filsafat ini di kalangan anak muda merupakan suatu fenomena yang langka, mengingat istilah filsafat sendiri lebih sering dikonotasikan sebagai suatu hal yang negatif. Biasanya kalo nggak dikaitin sama ateisme, pasti dikaitin sama madesu-isme (masa depan suram).
Tapi berbeda dengan stoikisme/filosofi teras, aliran filsafat ini malah sering disebut sangat relevan dengan kehidupan modern. Bahkan, stoikisme ini juga digadang-gadang menjadi obat mujarab bagi manusia-manusia modern di tengah kegilaan zaman. Hal-hal itulah yang membuat saya tertarik untuk menjerumuskan diri dan mempelajari aliran filsafat ini. Akan tetapi, semakin saya mendalami stoikisme, semakin tampak pula bahwa filsafat ini tidaklah sama persis dengan apa yang banyak didakwahkan di internet, bahkan cenderung mengalami distorsi informasi.
Pertama-tama mari kita ulik aliran filsafat ini secara historis. Dari sejarahnya, filsafat stoikisme ini lahir dari ketidakmujuran seorang juragan kaya bernama Zeno yang terdampar di Kota Athena dan akhirnya berguru pada seorang filsuf aliran cynicism bernama Crates. Pertemuan antara dua pola pikir inilah yang melahirkan stoikisme menjadi sebuah aliran filsafat yang menarik. Bayangkan saja, sebuah filsafat lahir dari pikiran koko-koko juragan 12 toko yang belajar tasawuf sembari semedi di Kaki Gunung Slamet.
Begitupun juga dengan stoikisme, banyak ajaran dari filsafat ini yang terkesan kontradiktif dan akhirnya banyak menciptakan miskonsepsi bagi para “umatnya”. Miskonsepsi ini semakin menjadi-jadi setelah stoikisme menjadi viral dan digaungkan oleh para poser yang mungkin belajar stoikisme juga cuman dari yutub. Salah satu miskonsepsi terbesar dari stoikisme saat ini adalah pandangan bahwa stoikisme merupakan aliran yang mengajarkan kita untuk apatis dan pasif terhadap kehidupan.
Pemahaman sesat ini biasanya didukung oleh salah satu doktrin dalam stoikisme yang disebut dikotomi kendali. Singkatnya, dikotomi kendali ini menjelaskan bahwa ada hal-hal yang bisa kita kendalikan (pikiran, persepsi, tindakan diri sendiri) dan ada yang tidak bisa kita kendalikan (kesuksesan, sikap orang lain, jodoh, resesi 2023, Indonesia juara AFF, dll), dan oleh karena itu hendaknya kita lebih berfokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan saja.
Kedengarannya sih nggak ada masalah dari konsep tersebut. Tapi emang dasarnya orang-orang sekarang suka nangkep sesuatu setengah-setengah, akibatnya filsafat sekeren ini malah jadi miskonsepsi besar. Untuk meluruskan miskonsepsi-miskonsepsi tersebut, mari kita usut kesesatan ini satu persatu, setajam silet.
Doktrin utama selaras dengan alam
Dari banyak narasi yang terpampang secara digital, cukup mudah untuk kita melihat bahwa narasi-narasi stoikisme mainstream lebih sering menempatkan dikotomi kendali sebagai doktrin utama dari filsafat stoikisme. Nggak murni salah juga, dikotomi kendali memang merupakan salah satu konsep esensial dalam filsafat ini.
Tapi jika dikaji lebih dalam, core of the core dari filsafat stoikisme ini sejatinya adalah doktrin untuk hidup selaras dengan alam beserta nilai-nilai kebajikan di dalamnya. Dalam doktrin ini dijelaskan bahwa manusia terbaik adalah manusia yang bisa memaksimalkan eksistensinya untuk mewujudkan sebaik-baiknya harmoni dan kebajikan sesuai hukum alam, tentunya dengan konteks masing-masing individu.
Lebih lanjut, seluruh konsep yang ada di stoikisme sendiri (termasuk dikotomi kendali) sebenarnya adalah subdoktrin untuk menuju keselarasan/harmoni tersebut. Maka dari itu, menjadi sebuah ketololan jika seorang stoik nggak peduli sama karut-marut dunia luar hanya karena menganggap itu bukan urusannya. Itu artinya dia telah mendahului sekaligus melanggar doktrin keselarasan alam dan layak kita dakwa sebagai pengikut stoikisme sekte mageran.
Apatheia bukan apatis
Dalam stoikisme, kita juga mengenal konsep kebahagian bernama apatheia. Konsep apatheia ini merupakan konsep stoik yang mendefinisikan kebahagiaan sebagai ketenangan atau ketiadaan emosi negatif dalam menghadapi segala situasi, bahkan di situasi yang membagongkan sekalipun. Tetapi kembali lagi, kebahagiaan ini juga tetap berlandaskan nilai kebajikan dan harmoni alam.
Berbicara mengenai apatheia, banyak orang yang salah kaprah mendefinisikan kebahagiaan apatheia ini sebagai kebahagiaan yang bertumpu pada sikap pasrah dan “nrimo” terhadap segala nasib yang menimpa.
Anggapan ini salah, kebahagiaan menurut konsep apatheia sejatinya lebih mengajarkan kepada seorang stoik untuk menjalani segala sesuatu dengan kepala dingin. Tetapi ketika terjadi suatu peristiwa yang melanggar nilai kebajikan, seorang stoik tidak boleh diam dan Ia juga dituntut untuk “mengambil tindakan” secara tenang dan bijaksana. Analoginya ya kali polisi bisa nrimo ngeliat orang nerobos lampu merah didiemin gitu aja, kan lumayan tuh buat…naik pangkat. #komediaman
Dikotomi kendali bukan dikosongi kendali
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, konsep dikotomi kendali ini bisa dibilang menjadi biang kerok permasalahan miskonsepsi nan ruwet ini. Secara hakiki, konsep dikotomi kendali sebenarnya berfungsi untuk memberikan kita pembatasan yang jelas antara sesuatu yang di bawah kendali kita dengan sesuatu yang tidak sepenuhnya di bawah kendali kita, serta menjadi panduan kepada kita untuk tidak bergantung kepada hal-hal diluar kendali tersebut (hal-hal eksternal).
Meskipun begitu, tidak bergantung kepada hal-hal eksternal bukan berarti kita “mengosongkan” effort kita terhadap hal tersebut, seolah-olah kita tidak punya kendali sama sekali. Doktrin dikotomi kendali ini mengajarkan kepada kita untuk tetap menjalankan apa yang menjadi tugas kita, dan selebihnya biar alam yang bekerja.
Tujuan awal konsep tersebut adalah agar kita tidak terombang-ambing oleh kompleksitas alam semesta yang gak bisa kita kendaliin. Tapi dengan jadi apatis dan pasif, justru kita juga menjadi terombang-ambing sama kehidupan. Bahkan potensinya bukan cuma terombang-ambing, bisa-bisa kita jadi tenggelam ke dasar samudera kehidupan bersama para pecundang dan pengemis gift TikTok.
Kesimpulan
Jadi pada intinya, stoikisme ini bukan menyuruh kita untuk pasif dan apatis terhadap segala persoalan “takdiriyah” duniawi (cukuplah orang Jogja yang kaya gitu). Lebih dari itu, stoikisme adalah ilmu tentang kontrol diri untuk mencapai kedamaian dengan bertumpu pada hukum dan nilai kebajikan alam semesta.
So, kalo besok-besok kalian masih ketemu orang mager plus apatis berkedok penganut stoikisme, tempeleng aja mulutnya atas nama Marcus Aurelius.
Penulis: Farrel Ahmad Syakur
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 20 Sesat Logika versi Anak Jurusan Filsafat yang Kerap Terjadi di Medsos