Status karyawan tetap sudah nggak istimewa lagi di mata pekerja Gen Z. Mereka lebih mempertimbangkan work-life balance, kesempatan berkembang, dan gaji serta benefit tinggi.
Pada masanya, menjadi PNS adalah idaman banyak orang. Khususnya bagi para orang tua terdahulu. Apalagi dengan iming-iming masa tua akan terjamin, bisa tetap hidup nyaman dan layak—melalui uang pensiunan tiap bulannya, meski sudah tidak lagi bekerja.
Itu untuk para PNS di bawah naungan pemerintah atau BUMN, ya. Sebenarnya pekerja swasta juga punya peluang serupa meski tak sama persis. Selain naik jabatan, hal lain yang diincar karyawan swasta adalah status karyawan tetap (permanent employee).
Tentu saja status ini menjadi incaran banyak orang. Sebab, ketika pekerja sudah mendapat status karyawan tetap, ia akan mendapat tambahan benefit yang tidak ia dapatkan sebelumnya. Setidaknya ketika terkena PHK suatu hari nanti, karyawan tetap akan mendapat jaminan berupa pesangon. Normalnya demikian. Meski sulit dimungkiri ada saja perusahaan yang nakal dan tidak memenuhi hak karyawan yang terkena PHK.
Lain dulu, lain pula sekarang. Generasi teranyar yang lagi gencar mencari dan perlahan tapi pasti memenuhi ruang lingkup pekerjaan adalah para Gen Z. Gen Z tengah menjadi sorotan karena tingkahnya yang dianggap nyeleneh saat bekerja. Namun, ada satu hal menarik mengenai Gen Z yang berkaitan dengan status karyawan tetap (permanent employee) dalam dunia kerja.
Baca halaman selanjutnya: Gen Z agak lain…
Gen Z “agak lain” dalam dunia kerja, tak seperti generasi-generasi sebelumnya
Berdasarkan data tahun 2022 pada laman Databoks, ada 3 poin penting yang membuat Gen Z dan Milenial bertahan di tempat kerjanya. Ketiga hal tersebut berkaitan dengan work-life balance, kesempatan belajar dan berkembang, serta gaji tinggi dan benefit lain. Hal tersebut cukup relate dengan kondisi terkini di berbagai ruang lingkup pekerjaan. Dan ketiga hal tersebut merupakan incaran atau setidaknya yang diinginkan oleh para pekerja Gen Z.
Alih-alih menjadi karyawan tetap, orientasi Gen Z dalam dunia kerja bergeser dan tidak sama seperti generasi sebelumnya. Itulah kenapa gaya bekerja Gen Z berbeda. Jadi, sebetulnya ribut-ribut soal Gen Z yang dibenturkan dengan generasi sebelumnya, jika tanpa solusi, hanya akan jalan di tempat.
Meski begitu, bukan berarti status karyawan tetap diabaikan begitu saja, dianggap tak penting, atau tidak diterapkan sebagaimana mestinya oleh perusahaan. Sebaliknya, hal ini justru menjadi fenomena yang patut dipertimbangkan perusahaan. Perusahaan harus bisa menarik minat Gen Z untuk tetap bekerja sebagaimana mestinya dan mendapat upah sesuai kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan, dan pengalaman. Tentu saja tanpa mengesampingkan status karyawan tetap ketika ada pekerja yang layak dan sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan.
Bisa juga mendapat tambahan benefit dan mengembangkan karier setelah menyandang status karyawan tetap
FYI, proses menuju status karyawan tetap di tiap perusahaan akan melalui berbagai penilaian. Selain itu, perusahaan biasanya juga akan melihat formasi, kemampuan, sekaligus kebutuhan perusahaan, serta performa pekerja sendiri. Bagi pekerja Gen Z yang bekerja sesuai ekspektasi atasan sekaligus perusahaan, bukan tak mungkin dia akan menyandang status karyawan tetap. Seiring dengan hal tersebut, pekerja Gen Z juga bisa mengembangkan karier sekaligus mendapatkan kesempatan belajar lebih hingga mendapat tambahan benefit.
Persoalan yang menguap saat ini adalah penilaian bahwa Gen Z dan loyalitas kerjanya ibarat dua hal yang bertolak belakang. Istilah “kutu loncat” kerap dijadikan tameng pembenaran dalam menemukan tempat kerja yang lebih nyaman, gaji dan benefit yang lebih tinggi, serta kenaikan jabatan yang signifikan. Selama mematuhi kontrak yang sama-sama sudah disepakati, harusnya tidak jadi masalah, ya. Tapi ya jangan sampai baru kerja 1 atau 2 minggu langsung hilang tanpa kabar.
Meminjam istilah “kutu loncat” dengan mengabaikan perjanjian yang sebelumnya sudah disepakati, tentu tidak bisa dinormalisasi. Namun, di sisi lain, jika ingin memiliki pekerja yang loyal dan mempertahankan siapa pun yang potensial, perusahaan juga mesti berbenah dalam menawarkan benefit sekaligus deskripsi pekerjaan yang diberikan. Iya, sesekali memang bisa dianggap belajar atau menambah ilmu. Tapi, kalau keterusan sampai dengan pekerja tersebut mengajukan resign karena kelelahan, itu sih namanya tuman.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Malangnya Nasib Gen Z, Terlanjur Dicap Nggak Becus di Dunia Kerja.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.