Ketika mulai menapaki tangga Stasiun Manggarai, muncul desakan untuk terus maju. Jangan sampai tertekan. Maksudnya ketekan beneran!
Terhimpit dan tertekan di tengah lautan manusia sudah menjadi makanan sehari-hari bagi para komuter pengguna Kereta Rel Listrik (KRL) yang harus transit di Stasiun Manggarai. Stasiun yang katanya menjadi simpul utama atau titik sentral transportasi di ibu kota tersebut menjadi saksi bisu hiruk pikuk kehidupan masyarakat perkotaan. Rush Hour atau jam sibuk di Stasiun Manggarai terjadi di jam berangkat dan jam pulang kantor. Pada jam-jam tersebut, para komuter dari penjuru ibu kota, terutama mereka yang tinggal di Jabodetabek, mulai memenuhi ruang di Stasiun Manggarai.
Apabila sudah sering transit di stasiun ini, fenomena orang lari-lari seperti dikejar zombie atau bahkan kegencet karena mencoba menyelinap di antara kerumunan manusia sudah menjadi pemandangan yang tak asing lagi. Hal ini wajar terjadi karena apabila telat sedikit saja dan ketinggalan kereta incaran, mereka harus menunggu lebih lama lagi untuk naik kereta selanjutnya. Pastinya dengan kondisi stasiun yang tidak kondusif. Kalau sampai terjebak di situasi tersebut, mood siapa pun bisa jadi buruk seketika.
Bagaimana tidak, bisa-bisa telat sampai kantor atau bahkan telat pulang ke rumah. Kalau sudah begini susah mengikuti prinsip work life balance. Waktu 24 jam per harinya sudah habis untuk pergi bekerja, bekerja, dan pulang bekerja. Saya sih cuma bisa mengucap “Kuat-kuat ya, pejuang komuter!”
Daftar Isi
- KRL masih jadi moda transportasi umum andalan kota
- Meniti tangga Stasiun Manggarai harus kuat mental
- Kehilangan jadi hal biasa di Stasiun Manggarai, tapi bisa juga tiba-tiba mendapat “keberuntungan” di sini
- Dari tangga menuju peron ke kereta, perjuangan mencapai tujuan akhir
- Menelisik kehidupan perkotaan di balik keramaian Stasiun Manggarai
KRL masih jadi moda transportasi umum andalan kota
Meski harus menjalani alur perjalanan yang sangat hectic di Stasiun Manggarai, tak lantas membuat para pejuang komuter kapok dan menyerah begitu saja. Di samping kesan negatifnya, KRL masih memiliki daya tarik sebagai salah satu moda transportasi umum yang ramah di kantong. Hitung-hitung lebih mrah dibanding harus membayar biaya bensin untuk naik kendaraan pribadi.
Toh, naik kendaraan sendiri sama saja capek karena harus terjebak macet di jalan raya. Memang susah memilih moda transportasi yang oke untuk berkendara di ibu kota. Jadi, pada akhirnya kita harus kembali ke preferensi masing-masing: memilih tersiksa di mana dan bagaimana.
Apabila memilih untuk menggunakan KRL sebagai moda transportasi umum andalan, saran saya sih, kalau terpaksa transit di Stasiun Manggarai, jangan lupa meregangkan otot dan mempersiapkan mental. Ini penting sebelum memasuki medan tempur. Stasiun ini jelas akan menjadi wahana yang cukup menguras banyak energi, kesabaran, dan juga meningkatkan kadar stres.
Awal dari rintangan di Stasiun Manggarai dimulai ketika menapakkan kaki di tangga atau eskalator menuju peron rel kereta api. Interaksi dan mobilitas di tangga ini menghasilkan banyak pengalaman dan cerita menarik bagi para komuter. Mulai dari hanyut terbawa massa, dimarahi orang asing, kehilangan barang, hingga tak sengaja ketemu jodoh.
Meski harus melewati berbagai tekanan, anggap saja itu semua adalah langkah awal menuju kesuksesan. Sebab, kalau sudah menyerah di tangga ini sama saja dengan tidak bisa pulang.
Meniti tangga Stasiun Manggarai harus kuat mental
“Kanan buat jalan, Mbak, Mas!” Hal ini sudah menjadi semacam aturan tersirat yang harus dipatuhi oleh para pengguna eskalator di stasiun mana pun, tak terkecuali Stasiun Manggarai.
Jalur kiri di eskalator stasiun memang diperuntukkan bagi orang-orang yang ingin tetap diam, sementara jalur kanan diperuntukkan bagi orang-orang yang ingin mendahului atau berjalan. Meski begitu tak jarang jalur kanan ditutupi orang-orang yang tak tahu terkait aturan tersebut sehingga mengakibatkan stuck di eskalator. Kalau sudah begini, pasti akan mengundang seruan ketus dan judes dari orang-orang yang sedang terburu-buru di belakang.
Sesak dan sumpek adalah dua kata yang mencerminkan atmosfer ketika sedang berada di tangga atau eskalator Stasiun Manggarai. Kepadatan yang luar biasa mengakibatkan ruang gerak jadi terbatas. Bahkan sering kali para komuter benar-benar terjebak dan susah mengalihkan pandangan ke kanan atau kiri.
Dalam situasi seperti ini, keluar dari kerumunan merupakan hal yang mustahil dan yang bisa dilakukan hanya pasrah mengikuti arus pergerakan massa. Toh, semuanya punya tujuan yang sama untuk mencapai peron stasiun pemberhentian kereta.
Kehilangan jadi hal biasa di Stasiun Manggarai, tapi bisa juga tiba-tiba mendapat “keberuntungan” di sini
Dalam perjalanan melewati tangga, sering kali barang-barang hilang tanpa sadar. Mau bagaimana lagi, tukang copet juga tak mau kalah untuk mengais kesuksesan di Stasiun Manggarai. Biasanya mereka menghuni wilayah sibuk seperti tangga dan peron stasiun; di mana orang-orang tidak waspada karena terperangkap dalam keramaian.
Selain barang, kehilangan teman dan pasangan yang awalnya pergi bersama bukanlah hal yang jarang terjadi. Di sini Anda akan menyadari kerasnya hidup. Semua manusia akan mementingkan egonya masing-masing untuk bisa mendapat kereta incaran.
Akan tetapi di tengah huru-hara tersebut, terkadang keberuntungan untuk jatuh cinta atau bertemu pasangan baru bisa saja terjadi. Salah satunya adalah teman saya. Dia dapat pacar baru setelah tidak sengaja berpegangan tangan dengan laki-laki asing di Stasiun Manggarai. Tapi, hubungannya purna kurang dari satu bulan, sih.
Jadi, kembali pada kalimat awal. Semuanya harus paham bahwa Stasiun Manggarai memang tidak berniat menghadirkan kesan romantis dan bersahabat di jam-jam sibuk.
Tampaknya Stasiun Manggarai memang masih perlu banyak perbaikan untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai stasiun sentral. Sebab, tak jarang fasilitas eskalator dan lift mengalami kerusakan di beberapa peron. Kalau sudah begini, antrean panjang dan hambatan mobilitas yang jelas mengganggu keseimbangan psikologis dan emosi tidak akan bisa dihindari. Lagi-lagi, kita harus beramal lebih banyak kesabaran di stasiun ini.
Memang suatu perjuangan untuk bisa melewati derita di Stasiun Manggarai. Setelah keluar dari tangga pun, sering kali kita belum bisa bebas dari gelombang manusia. Bahkan, sulit untuk bisa menjangkau pintu masuk kereta api karena terus terdorong oleh gerombolan penumpang ke arah yang berlawanan.
Situasi di dalam kereta pun sama saja, sumpek pol! Banyak orang yang masih memaksakan diri untuk masuk ke dalam kereta meski dari luar sudah terlihat penuh. Apa boleh buat, penumpang yang sudah berdiri di dalam pun, hanya bisa istighfar dan berharap tidak semakin tergencet oleh kepadatan yang terus bertambah.
Oh iya, ada satu hal yang haram untuk dilakukan ketika berada di dalam kereta, yaitu tidak menjaga keseimbangan. Jangan sampai ketika kereta sudah melaju ke depan Anda malah oleng dan menubruk banyak orang. Selain bakal disemprot dan ditatap sinis oleh penumpang lain. Malunya itu sih, pasti rasanya pengin cepet-cepet cabut dari kereta.
Menelisik kehidupan perkotaan di balik keramaian Stasiun Manggarai
Tangga, peron, dan gerbong kereta di Stasiun Manggarai yang selalu dipadati oleh kerumunan orang yang terburu-buru, betul-betul menggambarkan ritme kehidupan perkotaan yang apa-apa serba cepat dan penuh tekanan. Sebenarnya apa sih yang mereka kejar?
Di Stasiun Manggarai, kita bisa melihat fenomena orang-orang yang berbondong-bondong mengejar kesuksesan dalam segala aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga passion. Yah, mau bagaimana lagi, dalam gaya hidup yang berpacu dengan waktu, masyarakat perkotaan dituntut untuk bisa berlari agar tidak tersingkir oleh seleksi alam.
Ada pepatah mengatakan “Jakarta is not for everyone”. Anggap saja Jakarta mewakili lingkungan sosial di kota metropolitan. Orang-orang yang bisa hidup di lingkungan tersebut adalah orang-orang yang harus kuat secara fisik dan mental. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, tak jarang hidup pejuang komuter dipenuhi oleh rutinitas bekerja yang melelahkan—pergi pagi buta dan pulang larut malam—diiringi dengan perjalanan pulang-pergi yang bikin cepat tua. Namun, itulah yang menjadi bagian dari definisi kuat secara mental dan fisik di sini.
Di balik kesibukan Stasiun Manggarai dan orang-orangnya, saya menyadari bahwa banyak pengorbanan yang harus dilakukan untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap sebagai kesuksesan. Orang-orang yang menapakkan kaki di tangga Stasiun Manggarai adalah salah satu bagian dari orang-orang yang membawa harapan besar dari rumah. Memang, menjadi bagian dari masyarakat urban membutuhkan banyak pengorbanan, baik dalam hal tenaga maupun waktu.
Setelah menceritakan berbagai kesesakan dan kesumpekan yang saya dan teman-teman alami selama berada di Stasiun Manggarai. Lagi-lagi saya hanya bisa mengucapkan, “Sehat-sehat ya, para pejuang kesuksesan!”
Penulis: Safira Zata Yumni
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Merasakan Tua di Jalan: Naik KRL Transit Manggarai Harus Bayar Pakai Mental Health.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.