Stasiun Lempuyangan Jogja, Stasiun Sederhana Saksi Pertemuan yang Manis dan Perpisahan yang Tragis

Stasiun Lempuyangan Jogja, Stasiun Sederhana Saksi Pertemuan yang Manis dan Perpisahan yang Tragis

Stasiun Lempuyangan Jogja, Stasiun Sederhana Saksi Pertemuan yang Manis dan Perpisahan yang Tragis (RaFaDa20631 via Wikimedia Commons)

Stasiun Lempuyangan Jogja, bagi saya, adalah tempat penuh ironi. Ada yang melepas rindu, dan ada yang tak akan lagi bertemu

Ada dua stasiun di Kota Jogja: Tugu (Atau Stasiun Yogyakarta), serta Lempuyangan. Keduanya hanya terpisah beberapa kilometer. Namun terkesan terpisah jauh karena keindahan yang kontras. Stasiun Tugu menyambut pendatang dengan romantis, dan Stasiun Lempuyangan menyambut dengan sederhana. Tugu mengantar kita ke Malioboro yang kesohor, dan Lempuyangan mengantar ke gudang semen yang bikin sesak.

Benar-benar tak ada yang spesial dari Stasiun Lempuyangan jika dilihat dari luar. Ia selayaknya stasiun pada umumnya. Ramai manusia, harum roti memaksa merangsek ke hidung, itu saja.

Namun, saya merasa Stasiun Lempuyangan lebih romantis dari Stasiun Tugu. Tentu karena ada cerita tersendiri di dalamnya. Saya tidak bisa dihipnotis oleh kemegahan Stasiun Tugu yang khas kolonial. Karena Stasiun Lempuyangan sudah merebut hati saya dengan banyak kisah. Perjumpaan, serta perpisahan.

Stasiun Lempuyangan, stasiun umbi-umbian yang sederhana

Kampung Lempuyangan menjadi tempat stasiun ini berdiri. Lempuyangan sendiri berasal dari kata Lempuyang, sejenis tanaman umbi-umbian yang akrab sebagai bumbu atau jamu. Yah, dari nama saja Stasiun Lempuyangan memang sederhana. Bandingkan dengan Stasiun Tugu yang monumental. Nggak usah tanya asal nama stasiunnya, ngono we takoook.

Mungkin karena namanya sama, masalah pembangunan juga sama. Stasiun Tugu gemar bersolek yang nggak penting-penting banget, kadang-kadang menggusur juga.

Stasiun Tugu memang cocok untuk menyambut wisatawan. Kemegahan bangunan yang berlanggam kolonial atau indische itu memang Instagrammable. Bandingkan dengan Lempuyangan, yang bentuknya khas stasiun sederhana. Apalagi di dekatnya ada gudang semen yang membuat lingkungan sekitar selalu berdebu. Sangat tidak estetik.

Anda tidak akan menemukan jajaran pedagang dalam bangunan indah di muka Stasiun Lempuyangan. Tidak ada angkringan kopi jos yang (kadang) overpriced itu. Di Stasiun Lempuyangan, Anda disambut jajaran warung semi permanen. Angkringan di sisi paling timur juga menjual jajanan standar. Anda wajib coba angkringan ini, teh gula batunya enak tenan.

Memang sesederhana itu Stasiun Lempuyangan. Namun kalau bicara kisah, saya sudah kenyang mendapatkannya di stasiun umbi-umbian ini.

Sebatang rokok dan teman perjalanan

Setiap saya mengunjungi area yang penuh orang asing, saya selalu pakai diplomasi rokok. Harapannya sih agar punya teman ngobrol sepanjang perjalanan. Kadang saya berlagak tidak bawa korek dan pinjam orang di sebelah saya. Dari pinjam korek itu, saya membuka pembicaraan yang sering berlanjut sampai stasiun tujuan.

Tenang, saya merokok di area yang disediakan. Saya perokok santun kok. BTW, di Stasiun Lempuyangan ada smoking areanya.

Banyak obrolan yang telah saya lupakan. Tapi, beberapa yang terkesan masih saya ingat dengan samar. Saya sempat mencoba diplomasi rokok ini waktu akhir kuliah. Tapi tidak hanya korek yang diberikan, juga rokoknya. Si orang asing ini malah memaksa saya mengambil rokok putihnya. Seingat saya sih Marlboro. Lumayan, toh waktu itu saya Cuma bawa rokok ampas.

Obrolan berlanjut. Kami punya ketertarikan yang sama pada musik, khususnya ska dan punk rock. Awalnya saya berlagak jadi si paling tahu. Sampai akhirnya saya tenggelam dalam banjir fakta. Orang asing ini adalah salah satu promotor musik di Jakarta. Kebetulan ia memang sering main ke Jogja bertemu koleganya. Salah satunya Shaggydog. Mampus, saya sudah kelewat pongah bicara tentang band tersebut ke blio.

Baca halaman selanjutnya

Bertemu juragan tahu…

Bertemu juragan tahu

Di lain waktu saat saya mencoba peruntungan CPNS, saya kembali melakukan diplomasi rokok. Kini yang saya temui adalah bapak-bapak paruh baya yang terlihat segar bugar. Setelah pinjam korek, kami ngobrol tentang Jawa Timur khususnya Kediri. Karena saya akan melakukan tes di sana. Kebetulan, bapak ini akan ke Blitar. Akhirnya kami ngobrol selama di kereta. Bahkan bergantian merokok saat kereta berhenti di sebuah stasiun.

Bapak ini mengajarkan agar jadi orang yang nothing to lose. Apapun harus berani di coba. Tidak hanya ikut ujian CPNS, tapi kalau perlu jadi makelar. Ternyata bapak ini adalah juragan tahu di sekitar Blitar. Namun karena orangnya iseng, ia membeli minibus dan mencoba jadi supir travel. Keisengan ini berlanjut menjadi bisnis baru dengan beberapa armada. Blio main di Jogja karena sedang kehabisan ide. Betul, blio mencari ide dengan cara iseng. Hats off, Sir.

Stasiun Lempuyangan: stasiun perjumpaan, stasiun perpisahan

Saya pribadi juga memiliki pengalaman personal dengan stasiun ini. Saya sering berjumpa dengan orang-orang asing seperti tadi. Namun juga sering merasakan kesendirian. Bahkan duka lara yang dalam. Stasiun ini membantu saya untuk bisa menuju Sukoharjo. Tanah kelahiran ayah kandung saya. Yang kini harus terpisah karena perceraian.

Setiap pulang setelah bertemu ayah saya, ada rasa kosong. Seperti kehilangan sesuatu yang sebenarnya masih ada. Beberapa kali saya sering duduk-duduk di trotoar stasiun setelah pulang dari Sukoharjo. Membiarkan ingar bingar Stasiun Lempuyangan lewat seperti angin lalu. Sedih, mengingat obrolan siang harinya yang sering menyinggung masa lalu. Tapi kadang saya merasa sangat punk ketika dalam momen ini.

Saya selalu mengidentifikasi Stasiun Lempuyangan sebagai stasiun perpisahan. Ia jadi jalan pulang saya ke rumah ayah kandung. Namun juga pintu perpisahan setiap kembali ke Jogja. Kini saya bisa mengunjungi ayah saya dengan motor. Namun setiap melihat stasiun ini, kenangan masa muda dan perpisahan sering tersirat.

Kalau begini, saya merasa jadi Virgoun. Oh, bukan bikin skandal. Maksudnya, saya jadi relate dengan lagu “Diary Depresiku”. WAJAR BILA SAAT INI…

Stasiun Lempuyangan Jogja, bagi saya, adalah tempat penuh ironi. Di gerbangnya, ada pasangan yang bersuka cita melepas rindu. Tapi, di gerbang keberangkatan, ada pasangan yang menahan tangis menerima takdir. Ada yang pulang melepas rindu pada keluarga, ada yang sudah dihajar rindu karena harus meninggalkan keluarga.

Bahagia dan duka, berjalan beriringan, menemukan bentuk nyata di Stasiun Lempuyangan.

Sumber gambar: RaFaDa20631 via Wikimedia Commons

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Terminal Janti: Gerbang untuk Pulang, Rindu, dan Patah Hati

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version