Sopir bus ugal-ugalan perlu ditertibkan. Sebab, tak ada setoran yang seharga nyawa. Itu pun nyawa orang lain.
“Wasyuuuuu, mataneee piceeek koe!”
Teman saya mengumpat sembari berusaha menjaga kestabilan motornya agar tidak jatuh. Semua gara-gara bus yang rakus mengambil jalur yang jelas bukan untuknya. Bus itu menyalip melawan arah, dan kami pengendara motor dipaksa untuk mengalah.
Saya yang berada di belakangnya maklum mendengar umpatannya. Meski harusnya umpatan itu bisa diganti dengan ungkapan rasa syukur, tapi siapa yang tidak panik dan marah ketika jalur yang seharusnya menjadi haknya, harus diambil dengan brutal?
Kisah lain yang tidak kalah seru pernah saya alami ketika harus menggunakan bus ekonomi dari Jakarta-Semarang. Sopir bus yang saya tumpangi saling menyalip dengan bus lainnya di jalur pantura daerah Brebes. Saat menyalip sisi samping kedua bus berjarak begitu tipis setipis tempe mendoang yang tergerus inflasi.
Saya di dalam bus seperti berada dalam situasi yang mirip dengan Film Death Race sembari bibir memohon ampun kepada Tuhan kalau-kalau di saat itu nyawa melayang. Penumpang lain ada yang berteriak, “Sudah mas, ojo ngebut, aku durung rabi!!!” dengan suara bergetar.
Potret yang saya alami di atas, masih masif ditemukan hingga saat ini. Bahkan, saya yakin, banyak penumpang bus lain yang punya pengalaman lebih mencekam dari saya.
Daftar Isi
Ugal-ugalan karena sistem
Dampak buruk dari kebut-kebutan dan ugal-ugalan para sopir bus ini pada akhirnya menstimulasi tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Berdasarkan laporan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), korban kecelakaan angkutan jalan di Indonesia mencapai 204.447 orang sepanjang 2022. Hampir dari 50 persen di antaranya disebabkan oleh kelalaian para sopir bus yang acap kali sembarangan di jalan raya. Terbaru, ada insiden PO Bus Rahayu dan Eka yang menelan korban hingga puluhan orang. Fenomena ugal-ugalan bus di Indonesia sampai masuk pemberitaan di media China yang ramai dibicarakan di media sosial X.
Setiap fenomena punya penyebabnya, tidak tiba-tiba terjadi tanpa alasan. Sama halnya dengan ugal-ugalannya para sopir bus ini. Jika diamati, perilaku ugal-ugalan mereka disebabkan karena dua faktor yaitu faktor struktural dan kultural. Mari kita bahas satu per satu.
Faktor struktural terjadi secara terstruktur dan sistemik yang landscape-nya bisa sangat luas. Ambil saja sesuatu yang paling dekat yaitu terkait regulasi dan kondisi ekonomi.
Regulasi terkait pengaturan perihal berkendara di jalan raya pada dasarnya telah diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Setidaknya ada 5 pasal yang mengatur dengan hukuman terberat mencapai 12 tahun penjara atau denda sebanyak 24 juta rupiah. Tapi, regulasi ini dalam implementasinya tak bisa dilaksanakan dengan optimal. Alasannya tentu banyak hal, tapi yang paling penting adalah minimnya pengetahuan para sopir dan pemilik armada bus dan kondisi ekonomi yang menuntut persaingan antar-armada. Ini membuat para pemilik armada dan sopir bus seperti mengabaikan peraturan ini.
Imbas selanjutnya kita lihat dari segi ekonomi. Bus membutuhkan bahan bakar. Sementara harga bahan bakar terus mengalami kenaikan. Belum ditambah dengan biaya perawatan bus yang juga ikut naik seiring dengan inflasi yang terus mencekik. Ini mendorong para pemilik bus memutar otak untuk melakukan efisiensi armada. Artinya armada busnya diminimalkan jumlahnya sehingga beban perawatannya dapat ditekan.
Eksekutif aman, ekonomi deg-degan
Selain itu, dalam banyak kasus, bus-bus tersebut terutama yang ekonomi juga dikejar setoran sehingga harus berebut penumpang di terminal. Para sopir bus dituntut untuk cepat tiba di terminal karena setiap dari armada bus telah memiliki jam ngetemnya. Jika lewat dari jam ngetemnya, armada bus yang bersangkutan belum tiba di terminal, posisinya akan diisi oleh armada bus lainnya.
Skema dengan pembagian jam ngetem ini memang menguntungkan armada bus-bus besar dengan kelas eksekutif. Mereka bisa tiba tepat waktu karena jalur yang dilalui biasanya menggunakan jalan tol. Misal pun telat, ada bus pengganti dari armada yang sama untuk mengisi pos ngetemnya. Tapi sebaliknya, skema ini tentu memberatkan betul bagi para bus-bus ekonomi. Wong mereka ini armadanya sedikit, jalur yang dilalui pun lebih banyak yang non-tol.
Sementara faktor secara kultural atau kebiasaan, para sopir bus ini ngebut untuk membunuh rasa bosan dan ngantuk. Pengakuan ini saya dapat dari teman yang punya saudara seorang sopir. Bayangkan, para sopir bus khususnya ekonomi itu biasanya single fighter. Mereka sendirian dalam sekali rute perjalanan, tanpa sopir pengganti.
Nggak jarang mereka mengemudikan lebih dari satu kali rute perjalanan. Mereka bolak-balik dengan rute dan pemandangan yang sama. Ditambah kalau keneknya nggak pengertian sehingga sopirnya nggak diajak ngobrol.
Kondisi seperti itu tentu menimbulkan rasa bosan dan mengantuk. Cara untuk mengantisipasinya adalah dengan memacu bus dengan cepat untuk meningkatkan adrenalin sehingga otak tetap waspada. Tentu dengan bantuan kopi dan rokok. Kebiasaan seperti ini kemudian menjamur dan membudaya di kalangan para sopir bus. Karakter para sopir bus juga acap kali emosional ketika disalip oleh bus lainnya sehingga nggak jarang memicu saling berbalapan di jalur sempit yang banyak dilalui oleh kendaraan pribadi.
Kalau perlu, presiden turun tangan ngurusin sopir bus
Untuk menertibkan para oknum sopir yang ugal-ugalan, dua faktor yang saya sebutkan sebelumnya harus dijadikan perhatian oleh Dinas Perhubungan. Bila perlu, presiden harus mengambil sikap. Ini serius loh. Faktor struktural harus bisa disikapi dengan berbagai intervensi kebijakan. Masifkan edukasi regulasi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada para sopir secara berkala. Kasih mereka pelayanan khusus saat diedukasi sehingga mereka benar-benar menyimak. Jangan sosialisasi partai atau kebijakan populis aja yang diberikan uang saku.
Dalam sistem transportasi modern di negara-negara maju, sopir menjadi tenaga profesional yang harus berlisensi. Ini untuk menciptakan tenaga sopir yang paham dengan dasar-dasar pelayanan untuk menyamankan penumpang. Sangat disayangkan, di Indonesia, sopir-sopir bus ini hanya dilihat berdasarkan SIM dan tingkat kemahirannya dalam mengemudi. Padahal, yang paling penting adalah perilaku sopir yang paham soal kenyamanan dari penumpang. Pemerintah, harusnya sadar dengan hal ini dan mulai menyiapkan ekosistem persopiran yang tersistematik.
Di tingkat kebijakan, pemerintah dapat memberikan kepastian subsidi bahan bakar khusus untuk para penyedia transportasi publik sehingga mereka mendapatkan ketenangan perihal biaya operasional. Lebih penting, atur dengan baik sistem terminal di kota-kota besar sehingga mereka tidak terkesan disisihkan dan dianaktirikan. Mereka diberikan pos khusus sehingga tidak berebut penumpang dengan armada-armada bus besar. Semua itu butuh kebijaksanaan pemerintah untuk dieksekusi dengan baik.
Capres nggak ada yang mau bikin program buat sopir bus nih?
Saya percaya, industri transportasi bus akan tetap lestari. Banyak masyarakat Indonesia yang masih bergantung dengan keberadaan bus-bus AKAP yang hilir mudik tiap hari. Oleh karena itu, menertibkan sopir-sopir yang ugal-ugalan harus jadi hal yang serius untuk dipikirkan dan dilaksanakan. Melihat saat ini masuk masa kampanye, alih-alih mengusulkan program yang ndakik-ndakik dan ngawang-ngawang, paslon capres dan cawapres bisa usulkan program kerja yang memberikan solusi atas keresahan masyarakat soal bus yang ugal-ugalan.
Gimana Pak Anies, Pak Prabowo, dan Pak Ganjar? Biar konkret gitu loh.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Penjelasan Sopir tentang Anggapan Mending Hilang Satu Nyawa Ketimbang Satu Bus