Solo kalah pamor
Seperti yang sudah saya singgung di atas, Solo ini punya banyak hal, lho. Tapi lagi-lagi masalahnya kalah pamor.
Kirab budaya? Kalah sama Jogja. Festival batik? Pekalongan lebih terkenal. Makanan khas? Jangan tanya, bahkan surabi saja kayaknya kalah pamor sama siomay dan batagor Bandung yang ada di Solo.
Kadang saya bertanya-tanya, apa karena terlalu banyak kemiripannya dengan daerah lain, terutama Jogja, jadinya kehilangan keistimewaannya? Bisa jadi. Terlalu mirip, terlalu berdampingan, dan terlalu sering dibandingkan.
Kita ambil contoh batik. Solo punya Kampung Batik Laweyan dan Kauman yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan. Tetapi coba tanyakan ke netizen +62, kalau mau batik beli ke mana? Kebanyakan akan menjawab Jogja.
Belum lagi masalah infrastruktur dan pengembangan kota. Solo mau berkembang, tapi pelan banget. Stasiun Balapan direnovasi. Oke, keren. Tetapi begitu keluar stasiun, masyarakat bingung: mau ke mana? Nggak ada yang nyambut. Malioboro versi Solo? Nggak ada. Yang ada cuma jalanan sunyi yang ditemani sepeda motor lewat pelan-pelan. Bahkan trotoarnya lebih luas dari isi hatimu saat sedang mencintai diam-diam.
Saatnya Solo tampil
Meski kalah pamor, saya tetap cinta Solo. Soalnya kota ini adalah kota yang hangat.
Mungkin sudah saatnya Solo mencari jati diri. Bukan menjadi Jogja KW, bukan pula menyandang titel sebagai kota transit untuk ke Candi Sukuh atau Grojogan Sewu. Tetapi menjadi dirinya sendiri. Kota yang menerima dirinya apa adanya tapi juga berani berkata, “Hei, aku juga punya cerita, lho.”
Dan mungkin, kota ini butuh satu ikon yang kuat. Entah itu makanan, tempat, atau bahkan tokoh fiksi. Kalau perlu, bikin karakter maskot seperti Si Unyil atau Doraemon, tapi versi Solo. Misalnya, “Mas Esang”, tokoh fiktif anak muda Solo yang sopan, kalem, tapi tajam dalam komentar sosial. Bisa dipakai buat edukasi, promosi wisata, atau sekadar jadi meme. Biar nggak semua tentang Jokowi terus.
Akhirnya, sebagai warga yang tinggal di Solo, saya hanya bisa berharap kota ini tidak terus-terusan menjadi bayang-bayang kota lain. Sebab kota ini layak jadi terang, bukan hanya temaram. Dan tentu saja layak dikenal bukan karena Jokowi atau batik tetangga, tetapi karena dirinya sendiri.
Penulis: Alfin Nur Ridwan
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Saya Sudah Muak dengan Kota Solo yang Berhenti Nyaman dan Berhenti Menyenangkan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















