Solo sering disebut-sebut sebagai tempat tinggal ideal. Kotanya terkenal nyaman dan cocok untuk slow living. Biaya hidup di sana dianggap murah dan daerahnya tidak sepadat kota-kota besar. Sementara dari sisi fasilitas, kota ini punya fasilitas yang lengkao mulai dari kesehatan hingga pendidikan semua ada.
Nggak heran, Survei IAP (Ikatan Ahli Perencana) mencatat, Solo pernah duduk manis di posisi teratas sebagai kota layak huni. Bahkan mengalahkan, Yogyakarta. Solo juga pernah didapuk jadi kota paling toleran versi SETARA Institute pada 2022. Kota yang terkenal akan nasi liwet ini berada di peringkat ketiga. Sudah gitu, Solo masuk nominasi Kota Layak Anak, Kota Cerdas, sampe Kota Budaya. Lengkap kan?
Sekilas, Solo terdengar seperti kota yang sempurna. Namun, itu dari sudut pandang orang luar Solo atau mungkin wisatawan. Sebagai orang asli daerah ini, Saya tahu betul lika-liku hidup di Kota Batik ini.
Solo yang hanya ramah bagi wisatawan
Bagi turis atau pendatang yang hanya 1 atau 2 minggu mampir, Solo memang kota yang sempurna. Kalian bisa ngopi-ngopi lucu di kafe estetik, mencicipi kuliner enak, hingga menikmati budaya setempat yang begitu unik. Semua itu bisa diperoleh dengan harga yang terjangkau, setidaknya terjangkau bagi mereka yang sehari-hari digaji standar ibukota.
Akan tetapi, lain cerita kalau kamu orang asli Solo, kerja di Solo, dan digaji berdasar standar setempat. Jangankan ngopi-ngopi lucu di kafe, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja ngos-ngosan. Upah pekerja kota ini tidak melejit seperti biaya hidupnya, apalagi untuk membiayai gaya hidup yang ala-ala.
Sebagai gambaran, UMR (atau UMK) Solo 2025 ditetapkan sebesar Rp2.416.560. Cuma naik 6,5% dari tahun lalu. Angka itu sangat mepet untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Namun, untuk hal-hal lain di luar kebutuhan hidup, saya rasa akan sulit.
Bayangkan saja, harga minuman di kafe kekinian biasanya berkisar antara Rp 18.000–26.000. Bahkan, ada juga yang mencapai Rp30.000-Rp45.000. Sekali nongkrong bisa ngabisin sepertiga gaji harian.
Hal lain yang bikin lebih nyesek adalah banyak barista coffee shop yang digaji di bawah UMR. Bahkan, ada yang nggak sampai Rp2 juta. Ada juga yang digaji harian tanpa BPJS, tanpa kontrak, pokoknya tanpa arah dan jaminan yang jelas.
Itu baru satu persoalan. Padahal di kota ini banyak persoalan-persoalan baru yang bikin saya merasa kalau Solo berubah terlalu cepat. Kota yang dahulu terasa sederhana ini tiba-tiba berubah dengan gaya hidup pendatang, bukan penghuninya.
Baca halaman selanjutnya: Warlok boleh bangga, tapi jangan buta…




















