Skripsi Itu Baik, Kalau Ada yang Jahat, Mungkin Dia Skripsi yang Tersakiti

skripsi itu baik

https://unsplash.com/photos/9zsHNt5OpqE

Banyak mahasiswa kejang-kejang ketika memasuki semester di mana mereka harus melakukan riset akhir untuk menggapai titel sarjana yang disebut skripsi. Berbagai konten di media sosial juga acap kali memberi stigma bahwa skripsi itu susah. Padahal, memang iya. Skripsi itu susah. Tapi skripsi itu baik! Karena What doesn’t kill you makes you stronger, Berooo~

Percaya nggak, dengan adanya skripsi kita bisa berkembang menjadi manusia seutuhnya di kampus. Jadi mahasiswa seutuhnya itu maksudnya kita sebagai mahasiswa yang selama ini amburadul dan kerjaannya rebahan terus, tetep ngerasain terpapar kehidupan akademik dengan kewajiban membaca jurnal biar bisa ngerjain skripsi. Pernahkan kalian berpikir bahwa justru dengan adanya skripsi, setidaknya kita akan cemas jika sudah kebanyakan nongkrong dan main pubji. Skripsi tuh jadi sejenis “wake up call“. Dan dengan adanya skripsi pula, setidaknya kita akan tahu bahwa, “Oh, gini ya yang diajarin dosen di semester 1, baru paham sekarang gue.”

Jadi apalagi bukti kalau skripsi itu baik yang selama ini tidak kita sadari?

Pertama, skripsi itu memberikan pengalaman tak ternilai buat kamu. Selain mengasah otak, skripsi juga mengasah emosi jiwa. Berapa kali judul skripsi skripsi kamu direvisi terus menerus? Mungkin lebih menyakitkan judul-judul yang ditolak daripada cinta yang ditolak, ye nggak? Belum lagi ada sebagian dosen pembimbing yang tidak ada bedanya seperti duit, susah ditemukan. Sudah susah ditemukan, saat membimbing pun malah menyebalkan.

Tapi dari situ kita bisa belajar menghargai. Dari mulai menghargai waktu dengan dosen pembimbing, menghargai masukan-masukan yang kita terima, menghargai waktu, dan bahkan yang terutama adalah bagaimana kita menghargai diri sendiri serta usaha-usaha yang sudah kita lakukan. Bro, Sis, it’s priceless, right?

Kedua, skripsi itu memberikan kesempatan bagi otak kita untuk mengembangkan dirinya (roti kali ah mengembang). Coba bayangkan, selama 5-6 semester kalau kerjaanmu hanya ngopi, rebahan dan garuk-garuk pantat, dan pada semester akhir kamu sudah harus garuk-garuk kepala membenahi revisi. Apa nggak tambah cerdas otak ini?

Lalu, skripsi itu juga punya kekuatan mengubah seseorang. Semalas apapun kamu, kalau sudah masuk fase skripsi, bisa jadi akan muncul benih-benih mahasiswa ambisius di dalam jiwa raga. Saran saja, jangan keseringan ngatain mahasiswa lain itu ambisius, kelak kamu akan tahu bahwa tiap orang punya alasannya masing-masing untuk mengejar sesuatu di hidupnya. Kamu mau sedang sibuk-sibuknya membuat proposal skripsi, lalu datanglah temanmu bilang dengan santainya, “Yaelah, ambis amat lo. Santai aja kali.”, apa kamu tidak ingin melemparnya dengan meja saat itu juga?

Inti dari semuanya adalah, skripsi itu baik. Baik adanya, baik gunanya.

Tapi skripsi punya urgensi yang dalam sebetulnya. Skripsi itu punya manfaat bagus buat literasi bangsa kita. Seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia membaca berita dengan clickbait lebih digandrungi daripada membuang waktu 3-4 menit mencari kebenaran. Lewat skripsi, setidaknya kita belajar supaya tidak tolol-tolol amat dalam membuat pernyataan dan memberi opini. Proses pengerjaannya yang tidak mudah juga membuat kita jadi bisa menghargai karya orang lain apapun bentuknya. Di era yang semakin maju dan media sosial yang semakin penuh dengan influencer-influencer gila konten, orang-orang yang berpikir kritis semakin diperlukan. Berpikir kritis, itu kita lakukan tiap kali sidang dengan bapak ibu penguji, bukan?

Dengan adanya karya itu, kita jadi tahu artinya kejujuran dalam berkreasi. Tikus-tikus di senayan itu gelarnya buanyak, tapi yang jujur ya gitu deh. Lewat skripsi, nilai itu bisa kita dapatkan dan tularkan. Boom.

Kalau mau dibilang berat, ya memang berat. Sebab memang skripsi menuntut banyak hal dari kamu. Suka tidak suka, ya itulah yang harus kamu hadapi di tahun terakhir kuliah. Kalau tidak mau menghadapi skripsi, ya silakan ambil jalur pendidikan lain. Mau kamu bilang skripsi S1 nggak ada hubungannya dengan dunia kerja, ya emang nggak ada hubungannya. Lantas ngapain ambil S1 kalau sudah tahu akan mengerjakan skripsi ujungnya?

Skripsi itu mungkin nggak akan berhubungan langsung dengan dunia kerja. Alasannya sederhana, karena memang universitas seyogyanya mencetak akademisi-akademisi. Bukan karyawan/pekerja, kendati setelahnya lulusan S1 justru malah menjadi sukses di dunia kerja, itu lain soal. Kan, nggak semua ilmu kita dapat diterapkan di tempat kerja.

Skripsi itu sekarang menjadi nasib kita. Tapi namanya nasib, harus disyukuri dan harus dihadapi. Kecuali kamu punya banyak uang untuk dihambur-hamburkan begitu saja. Hehe.

BACA JUGA Surat Terbuka Untuk Dosen Pembimbing atau tulisan Abiel Matthew Budiyanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version