Sisi Gelap Tinggal di Tengah Kota Jogja: Sebuah Wilayah yang Dikepung Sampah

3 Sisi Gelap Tinggal di Jogja Bagian Kota Dipaksa Ikhlas (Unsplash)

3 Sisi Gelap Tinggal di Jogja Bagian Kota Dipaksa Ikhlas (Unsplash)

Saya lahir dan besar di Kota Jogja. Tepatnya di daerah bernama Baciro, dekat sekali dengan Stadion Mandala Krida. Di usia 33 tahun saya menikah dan memilih tinggal di Minggir. Sebuah daerah di pinggiran Sleman sebelah barat. Minggir ini berbatasan langsung dengan Kulon Progo.

Saya cukup menikmati tinggal di Minggir. Alamnya masih sangat asri, banyak sawah, dan makanan di sini murah. Bahkan, di beberapa warung pecel lele, harganya bisa 2 kali lebih murah ketimbang di Kota Jogja. Satu-satunya “kesulitan” tinggal di Minggir adalah jarak. Mau ke kantor, PP, 40 kilometer padahal masih sama-sama Sleman.

Namun, saya bisa menikmati dan bersyukur bisa meninggalkan Jogja bagian kota. Menurut saya pribadi, inilah 3 sisi gelap tinggal di kota.

#1 Tempat pembuangan sampah “mengepung” Baciro

Total ada 3 tempat pembuangan sampah yang “mengepung” Baciro. Pertama, ada di sebelah persis Stadion Mandala Krida. Itu, lho, yang pernah viral karena sampah di sana sampai menggunung dan tidak tertangani oleh Kota Jogja.

Sudah begitu, trotoar sekitaran Mandala pernah jadi “tempat sampah dadakan”. Warga buang sampah sembarangan karena tempat pembuangan besar penuh. Baunya? Jangan tanya. Super busuk.

Kedua, ada di dekat SPBU Lempuyangan, tepatnya di seberang Warung Ijo yang legendaris itu. Kalau pagi dan mau beli makan di Warung Ijo, kamu harus menerobos bau busuk. Dan ketiga, di daerah Sapen, di sebelah persis rel kereta. Bayangin kamu harus berhenti karena ada kereta lewat sementara sampah belum diambil oleh DLH Jogja. Super sekali busuknya.

Artinya, di kota ini, sangat mungkin terjadi tempat pembuangan sampah “mengepung” sebuah kampung. Mau barat, timur, dan utara, bau semua.

#2 Terlalu banyak traffic light di Kota Jogja

Salah satu teman saya dari Surabaya, suatu kali main ke Kota Jogja. Selama 2 hari, salah satu keluhannya adalah soal traffic light. Katanya, di Surabaya juga banyak. Tapi, traffic light di Jogja itu rada kebangetan banyaknya. Seakan-akan, setiap 50 meter, harus berhenti lagi karena lampu merah.

Bagi sebagian orang, berhenti di traffic light itu kegiatan yang menyebalkan. Apalagi kalau sering karena jaraknya dekat. Tapi ya mau gimana lagi karena wilayah Kota Jogja itu memang kecil. Kalau tidak salah cuma 32 kilometer persegi. Sudah begitu, banyak pertigaan dan perempatan.

Tinggal di Baciro sendiri memang harus rada sabar. Banyak perempatan dengan traffic light. Misal, perempatan Stadion Mandala, perempatan Brimob, perempatan Angkatan Laut, perempatan Balai Kota, perempatan Kusumanegara, hingga perempatan kalau mau ke Jembatan Layang Lempuyangan. Jarak antara perempatan tersebut, kalau naik motor, paling 2 sampai 3 menit. Kalau pas kena merah terus, kamu memang kudu sabar.

#3 Ujaran “orang Jogja di rumah saja” memang nyata

Ketika libur panjang, misalnya tahun baru, tinggal di Kota Jogja, bisa benar-benar merasakan ujaran: “Orang Jogja ngalah saja. Mending di rumah.” Sebagai penghuni lama Baciro, saya bisa mengamini ujaran itu.

Menjelang pergantian tahun misalnya, di Stadion Mandala, selalu ada event. Acara puncak adalah balapan motor dan pesta kembang api. Sudah pasti jalanan jadi padat dan ramai sampai dini hari. Jadi, paling enak memang di rumah saja dan menonton kembang api dari lantai 2 rumah.

Tugu? Malioboro? Alun-Alun? Jalan Solo? Sudah, lupakan aja, sih. Itu kalau saya, ketimbang kamu terjebak macet. Jadi, memang, pada akhirnya, orang lokal jadi “rada terpaksa ikhlas” tinggal di rumah dan tidak merayakan sebuah momen.

Penulis: Yamadipati Seno

Editor: Kenia Intan

BACA JUGA Jogja Itu Nggak Istimewa dan Tidak Lagi Sama karena yang Istimewa Itu Orang-orangnya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version