Work life balance
Ketika pertama kali pindah ke sini, saya jelas mengalami gegar budaya alias culture shock. Salah satu yang paling ngena adalah pekerja mendapat cuti libur sebanyak 30 hari kerja setiap tahun. Cuti libur itu di luar cuti sakit dan melahirkan ya. Selama cuti pekerja tetap dibayar penuh. Lebih syoknya lagi, cuti tersebut sifatnya wajib diambil. Ya kalian nggak salah baca, negara mewajibkan warganya mengambil cuti!Â
Tidak hanya cuti yang membuat saya terkejut. Negara juga memberikan tunjangan yang dibayarkan menjelang musim panas. Kalau di Indonesia mungkin semacam gaji ke-13 ya. Jumlahnya nggak main-main, mencapai sekitar 1.000 Euro atau Rp16-17 juta rupiah tergantung kurs. Uang tersebut bebas digunakan untuk apa saja, liburan, membeli peralatan hobi, foya-foya, atau beli Stella Jeruk satu kontainer biar orang sekampung mabuk juga boleh.
Dikutip dari situs workinfinland, jam kerja per minggu biasanya hanya sekitar 30 hingga 40 jam per minggu. Di luar jam kerja, orang-orang Finlandia didorong untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, melakukan hobi, nongkrong dengan kawan, atau bersantai di rumah.
Selain itu, jam kerja di Finlandia juga lebih fleksibel, terutama jika menyangkut keluarga. Meminta izin pada bos untuk pulang kerja lebih cepat dengan alasan keluarga itu semudah menemukan tukang parkir di Indonesia. Bos kalian tidak akan terlalu banyak bacot dan bakal langsung menyuruhmu pulang saat itu juga.
Dengan semua tunjangan dan fasilitas yang diberikan negara, tidak otomatis menjadikan Finlandia sebagai negara yang bebas stres. Tercatat, dari data 2000 hingga 2021, Finlandia selalu konsisten berada di 10 teratas negara Eropa dengan konsumsi obat antidepresan terbanyak. Mengutip laporan dari Yle, media nasional Finlandia, pada 2019 lebih dari 400.000 penduduk Finlandia mendapat kompensasi dari Lembaga Asuransi Sosial (Kela) untuk obat antidepresan. Angka ini menonjol mengingat populasi Finlandia hanya sekitar 5,5 juta orang.
Musim dingin berkepanjangan memicu stres
Salah satu penyebab utama depresi yang dialami oleh warga Finlandia adalah kegelapan berkepanjangan selama musim dingin atau dalam istilah lokal disebut “kaamos”. Bagaimana tidak bikin depresi, musim dingin di Finlandia berlangsung sekitar 100 hingga 200 hari dalam setahunnya. Di masa puncak musim dingin, matahari hanya akan muncul selama beberapa jam saja, tergantung di bagian mana kita tinggal. Di bagian paling utara, matahari bahkan tidak akan muncul sama sekali selama beberapa minggu.
Sebagai orang dari negara tropis, awalnya saya sangat nggak relate dengan data tersebut. Apalagi, ketika pertama kali menginjakan kaki di Finlandia, negara ini sedang mengalami musim panas. Matahari masih muncul beberapa kali. Itu mengapa saya mengabaikan fakta musim dingin berkepanjangan bisa menimbulkan gangguan mental.Â
Masalah timbul ketika mendekati Desember. Saya merasakan perubahan suasana hati yang disebabkan oleh matahari yang mulai jarang muncul. Akibatnya, saya jadi sering uring-uringan, murung, energi berkurang drastis, ngantukan, hingga malas beraktivitas di luar rumah.
Puncaknya di bulan Januar ketika suhu mencapai minus 30 derajat celcius. Sudah gelap, dingin lagi, walah tembelek singa pokoknya. Warga tropis kebanyakan bakal kesusahan membayangkan bagaimana dinginnya. Pokoknya tinggal dalam kulkas masih lebih hangat dibandingkan ke luar rumah.
Di dunia ini memang tidak ada yang benar-benar ideal. Finlandia yang terkesan sempurna itu juga punya sisi gelap. Itu mengapa, embel-embel “negara paling bahagia di dunia” terdengar terlalu pretensius. Saya lebih suka mengakui prestasi negara ini dalam membangun dan menjaga jaring pengaman sosial yang efektif dan inklusif bagi seluruh penduduknya.
Penulis: Armandoe Gary Ghaffuri
Editor: Kenia IntanÂ
BACA JUGA Sisi Gelap Eropa Menghapus Perasaan Inferior terhadap Bule, Ternyata Mereka Nggak Sesempurna Itu
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.