Siklus pacaran saya dulu: pacaran-marahan-putus-balikan. Kayak gitu terus, dikalikan berkali-kali, alias sering banget. Kalau sekarang beda: pacaran lalu marahan. Udah gitu aja. Namun, adanya selingan silent treatment dari pasangan itu yang bikin siklus baru ini jadi lebih berat untuk dilakoni.
Satu hal yang masih sama adalah, dua siklus ini pasti menguras air mata. Untuk siklus kedua, air matanya tambah deres, tambah pedih. Jadi korban silent treatment, didiemin tanpa alasan, itu kayak siksaan banget.
Pesan tidak dibalas, telepon tidak diangkat, read receipt dinonaktifkan. Padahal, dahulu dia mengatakan, jika saya sulit dihubungi, dia akan khawatir secara berlebihan. Namun, kini saya dibiarkan untuk khawatir sendirian. Yah, namanya juga pasangan yang baru jadian wajar pas awal manisnya kelewatan.
Akibat silent treatment itu, saya menangis berhari-hari hingga mata sembab. Saya teramat sedih. Tanpa sadar saya menikmati kesibukan baru, yaitu menatap nanar dinding kamar sembari meratap.
Silent treatment tidak boleh diglorifikasi. Teman saya, seorang psikolog memberi contoh sebuah unggahan di Twitter.
Silent treatment kok diglorifikasi https://t.co/EVM0cUirRI
— bayu (@potatooooochip) July 24, 2020
Melihat unggahan itu, niat si suami cuma nge-prank istrinya. Mungkin, bagi si suami, reaksi istrinya atas silent treatment itu menggemaskan. Si suami menikmati si istri yang mengiba hingga menangis tersedu-sedu.
Menurutmu, video itu uwu banget, ya? Bagi saya, maaf, sangat tidak uwu.
Perlu diingat ya, dasar dari hubungan itu komunikasi. Dari sini saja sudah jelas kalau silent treatment itu salah. Jauh lebih baik sejak awal ditegaskan. Misalnya: “Kalau aku marah, aku perlu waktu sendiri sebentar, ya. Nanti kalau udah reda marahnya, kita bicarain lagi, oke?”
Kenapa silent treatment itu jatuhnya kayak siksaan? Gini ya, walaupun demi kebaikan pasangan, yakin deh, pasanganmu bakal sakit psikisnya dan kamu menjadi abuser atas mental mereka. Tidak menutup terjadinya depresi, gelisah, terisolasi, kesepian, dan putus asa.
Selain itu, silent treatment ini benar-benar kejam, loh. Secara tidak sadar, kebiasaan ini akan menuluar. Dari korban, menjadi pelaku. Misalnya teman saya yang tiba-tiba didiamkan sama teman lainnya. Teman saya yang jadi korban diminta bisa ngerti salahnya di mana. Lah, memangnya teman saya dukun uka uka bisa baca pikiran.
“Aku salah apa?”
“Kamu masih nganggep aku atau enggak?”
“Aku salah ngomong, ya?”
“Atau aku salah sikap?”
“Aku harus gimana?”
Alhasil, berat badan teman saya sempat turun karena nggak bisa makan dua hari karena silent treatment. Dan kalian masih bilang “mendiamkan” pasangan atau teman ketika marah itu nggak apa-apa? No, nggak sama sekali Yang ada nambah masalah
Emangnya ada kepuasan seperti apa sampai membuat orang lain overthinking dan merasa bersalah ke hal yang sama sekali nggak dia perbuat? Padahal, akan menjadi hal sederhana, ketika kamu luangin waktu untuk bicara soal suka atau nggak suka. Tidak perlu sampai nyerang mental teman atau pasangamu.
Ini saya nge-gas ya? Iya! Saya trauma! Hari-hari saya habiskan hanya untuk menangisi kebodohan! Saya tidak mau kalian jadi pelaku atau korban silent treatment. Bagi kalian pelaku, apabila posisinya dibalik, apa kalian tidak merasa tersiksa? Lalu, ketika kalian yang jadi pelaku? Apa tidak merasa bersalah?
Baiklah, mungkin kamu tidak sadar sudah menyakiti psikis pasangan atau teman dengan silent treatment. Tapi, perlu diingat, silent treatment ini sangat berbeda dengan konsep “butuh waktu”.
Hasilnya? Mereka akan sama seperti saya, mengembangkan konsep salah di dalam diri. Seseorang yang diabaikan akan berpikiran bahwa perilakunya buruk. Selalu salah. Perlahan, kewarasan korban akan tersiksa dan digerogoti. Akumulasi. Ingat, kngga semua orang punya bakat jadi cenayang. Catet tuh!
BACA JUGA 5 Cara Ampuh Menyembunyikan Marah Lewat Chat atau tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.