Saya menjajal naik kereta Shinkansen dari Tokyo menuju Osaka. Cepet, sih, tapi kok harga tiketnya lebih mahal daripada pesawat terbang, ya?
Negara maju adalah negara yang memiliki transportasi publik bagus, bukan yang memiliki jumlah kendaraan bermotor terbanyak. Hampir semua negara maju memiliki transportasi publik yang terintegrasi dan menjangkau seluruh wilayahnya. Transportasi publik yang bagus, lengkap, dan terintegrasi juga bisa digunakan untuk menarik wisatawan, lho. Sebagai tukang kelayapan, saya akan lebih suka berkunjung ke negara yang sistem transportasinya bagus ketimbang negara yang jalanannya hanya berisikan kendaraan pribadi.
Nah, salah satu negara yang menurut saya memiliki transportasi publik bagus dan lengkap adalah Jepang. Ada banyak pilihan transportasi di Jepang, namun kita akan membahas satu yang paling ikonik dan pernah menggemparkan dunia, yaitu kereta peluru (Shinkansen). Sebenarnya untuk saat ini rekor kecepatan Shinkansen sudah dipecahkan oleh kereta di Cina dan Prancis. Akan tetapi, Shinkansen masih tetap masuk tiga besar kereta tercepat di dunia dengan kecepatan mencapai 320 km/jam. Cepat sekali, kan? Top speed Kawasaki Ninja RX25R mah kalah.
Kebetulan saya pernah berkunjung ke Jepang dan mencoba Shinkansen langsung. Saya ingin berbagi pengalaman seru tersebut bersama jamaah Mojokiyah. Oh iya, secara spesifik, kereta yang akan kita bahas kali ini adalah Shinkansen dengan rute Tokyo menuju Osaka.
Daftar Isi
Membeli tiket kereta di Jepang cukup ribet
Di Jepang, menemukan stasiun kereta jauh lebih mudah ketimbang menemukan sampah. Kalau di Indonesia kan sebaliknya. Lantaran kereta di Jepang lengkap dan hampir semua area bisa diakses, otomatis jalurnya banyak dan cukup rumit dipahami oleh wisatawan. Apalagi jika kita pertama kali datang ke Jepang, wes pasti kesasar. Saya membutuhkan waktu satu hari penuh hanya untuk memahami konsep membeli tiket dan cara membaca peta atau line keretanya. Itu pun setelah beberapa kali salah jalur.
Membeli tiket kereta di Jepang juga cukup ribet. Saya mengatakan ribet karena mesin tiketnya memiliki banyak tombol dan tulisan. Untungnya, orang Jepang ramah dan helpful. Ketika saya kebingungan dan plonga-plongo di depan mesin tiket, ada warga Jepang yang menawarkan bantuan. Duh, saya jadi terharu.
Jika nggak ingin membeli dengan metode self service di mesin, kita bisa membeli tiket Shinkansen di loket midori no madoguci (sama seperti loket pembelian di PT KAI, kita hanya perlu mengatakan ke petugasnya kota tujuan dan pilihan keretanya). Sayangnya, nggak semua stasiun memiliki loket, biasanya hanya ada di stasiun besar dan jumlah antrean pembelinya juga banyak banget. Selain itu, nggak semua loket ada petugas yang bisa berbahasa Inggris.
Harga tiket Shinkansen mahal
Sebagai wisatawan, sebenarnya kita bisa membeli kartu JR Pass (kartu bebas akses transportasi Jepang yang berlaku selama 7 hari). Sayanganya, harga JR Pass ini nggak murah. Seingat saya harganya sekitar 29.000 yen atau setara Rp3,3 jutaan, makanya saya nggak membeli JR Pass dan memilih membeli tiket kereta secara ketengan.
Shinkansen dibagi menjadi tiga kelas, yaitu gerbong non-reservasi (kelas paling murah atau kursi non-reservasi, jika kondisi ramai ada yang berdiri), gerbong reservasi (dapat tempat duduk), dan green class (kelas paling mahal, atau kalau di kereta Indonesia kelas eksekutif). Waktu itu saya naik yang green class dengan harga tiket sekitar 18.600 yen atau setara Rp1,9 juta. Mahal syekalih, Gaes.
Setelah berhasil membeli tiket, yang tak kalah ribetnya adalah mencari jalur keretanya. Seperti yang saya bilang sebelumnya, stasiun di Jepang memiliki banyak line, mustahil langsung memahaminya sekali datang. Makanya kita perlu spare waktu sebelum naik kereta Shinkansen agar nggak ketinggalan kereta. Apalagi orang Jepang sangat tepat waktu, terlambat 1 menit saja langsung ditinggal.
Gerbong nyaman dan bersih
Jika dilihat dari luar, bentuk kereta Shinkansen cenderung aneh. Moncong depannya panjang mirip ular. Namun, ketika sudah masuk ke dalam, interiornya bagus dan bersih. Agaknya pepatah yang berbunyi don’t judge a book by its cover berlaku untuk Shinkansen ini.
Bentuk kursi Shinkansen green class mirip kursi KAI kelas eksekutif. Bedanya, kursi Shinkansen agak lebih cekung dan lebar sehingga tubuh kita seperti sedang dipeluk. Selain itu, di bagian atas kurisnya ada headrest untuk sandaran kepala dan terdapat satu lampu kecil di pojok atas kursi yang bisa kita gunakan untuk membaca. Jarak antar kursinya juga sangat luas sehingga saya bisa selonjoran dengan leluasa. Oh iya, di bawah kursinya ada sandaran kaki seperti yang biasa ada di gerbong eksekutif PT KAI.
Selain itu, kursinya juga dilengkapi dengan tombol recline, colokan untuk charging HP, meja lipat, hingga heater. Iya, Gaes, kalian nggak salah dengar, ada tombol untuk menghangatkan kursi. Secara keseluruhan, antara dimensi kursi hingga fasilitas di kursinya membuat penumpang nyaman. Oh iya, bagasi yang berada di atas kursi penumpang juga cukup luas, kok.
Untuk urusan kebersihan, nggak usah ragu lagi, gerbong keretanya sangat bersih. Saking bersihnya, kalau nyamuk nempel di dinding gerbongnya pasti langsung kepeleset. Jika lapar, di dalam gerbong juga bisa membeli makanan, tapi harganya mahal. Mending kita membeli makan di FamilyMart saja lalu makan di dalam kereta. Atau, bisa juga membeli ekiben (bento yang dijual di stasiun).
Hal lain yang cukup membuat saya tercengang adalah toiletnya. Jika umumnya toilet kereta di Indonesia ukurannya kecil, di Shinkansen toiletnya besar sekali. Pintunya juga otomatis dan ada tempat duduk bayinya juga. Saking teliti dan bersihnya orang Jepang, di dalam toiletnya ada tiga pilihan tisu.
Di setiap toilet Shinkansen tersedia satu wastafel lengkap dengan kacanya dan satu buah kloset duduk yang tombolnya ada empat. Memang kloset di Jepang umumnya seperti itu, ada banyak tombol. Bahkan ada satu tombol yang bergambar tangga nada yang kalau kita pencet akan mengeluarkan suara atau musik. Katanya sih fungsinya agar kalau kita kentut atau mengeluarkan bebunyian saat bab, orang di luar toilet nggak mendengar suara kentut kita. Jadi nggak malu gitu.
Dari sisi pelayanannya juga memuaskan, sih. Bahkan menurut saya, petugas Shinkansen kelewat sopan.
Keretanya cepat sih, tapi tiketnya kurang worth to buy
Jarak antara Tokyo ke Osaka sekitar 495 km, kurang lebih sama dengan jarak Surabaya ke Purwokerto (483 km). Perjalanan dari Stasiun Tokyo ke Shin-Osaka Station memakan waktu 2 jam 27 menit. Sangat cepat, kan? Bandingkan dengan waktu tempuh kereta api dari Surabaya ke Purwokerto yang butuh waktu 7 jam.
Sayangnya meskipun sangat cepat, Shinkansen tetap nggak bisa menang dari pesawat udara. Sebab, untuk perjalanan kembali dari Bandara Kansai (Osaka) ke Bandara Haneda (Tokyo) saya naik Peach Air dan hanya membutuhkan waktu 1 jam 20 menit di perjalanan. Lucunya lagi, harga tiket Peach Air (Osaka to Tokyo) adalah Rp800 ribuan atau setengah harga tiket Shinkansen dengan rute yang sama. Bisa-bisanya naik pesawat udara jauh lebih murah dari pada naik Shinkansen kursi non-reservasi sekalipun.
Kalau kita hitung secara matematis, naik pesawat jauh lebih murah dan lebih cepat ketimbang Shinkansen. Jadi kalau saya boleh mengatakan, Shinkansen kurang worth to buy untuk wisatawan kantong pas-pasan. Akan tetapi, kalau kalian banyak uang dan ingin melihat pemandangan indah di sepanjang rute kereta, kalian bisa mencoba naik Shinkansen saat plesiran ke Jepang.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jepang Bikin Standar Transportasi Umum Jadi Terlalu Tinggi.