Pengalaman tubuh dan seksualitas adalah pengalaman yang begitu senyap, lebih senyap dari bisikan. Pengalaman tubuh Amara, protagonis sekaligus narator untuk keseluruhan cerita dalam novel karya Andina Dwifatma ini hampir sebagian besar tidak bisa saya pahami. Meskipun ia adalah seseorang dengan kelamin perempuan: sama seperti saya.
Amara memulai segala kerumitan hidupnya tepat ketika memutuskan untuk menikahi Baron. Pacar Amara sejak kuliah, yang menawan dengan daya tarik maskulinitas mutakhirnya dari penampilan hingga kepribadian itu, ditolak oleh Ibu Amara karena perbedaan identitas. Amara memulai pemberontakan pribadinya dengan lebih memilih Baron dibanding restu ibu. Ia lebih memilih kehidupan rumah tangga soliter bersama Baron layaknya pasangan kelas menengah Jakarta dibanding mengikatkan relasi romantis mereka dengan keluarga besar dan masyarakat.
Amara dan Baron adalah pasangan yang terjebak antara gairah menjadi modern dan internalisasi nilai tradisional yang mutlak tak bisa diabaikan dengan mudah. Mereka bersepakat memulai program hamil setelah lima tahun pernikahan dengan alasan yang sama sekali tidak ideologis. Teman-teman nongkrong mereka semakin sibuk dengan keluarga masing-masing. Hubungan mereka kian membosankan dengan rutinitas. Entah karena miskin imajinasi atau terbatasnya ruang hidup sosial, Amara dan Baron berpikir bahwa anak akan menjadi penghiburan rumah tangga. Kelak, setelah selesai membaca cerita novel ini, kau boleh memutuskan apakah praduga ini tepat atau tidak.
OK. Ini selipan curhat sebagai perempuan yang baru menikah 1,5 tahun (atau bisa dibaca sudah menikah hampir dua tahun lewat angle yang lain). Suatu ketika, menstruasi saya telat satu pekan dan payudara saya sebelah kanan nyeri dalam periode yang sama. Sepanjang hari saya memeriksa air kencing dengan testpack yang saya beli diam-diam tanpa sepengetahuan Agus (nama pasangan hidup saya). Hasilnya negatif. Berada di dalam kamar mandi sendirian memandangi satu garis di testpack dengan menyedihkan begitu, saya jadi bisa memahami doa-doa ratapan dari ribuan perempuan di kolom komentar channel YouTube berjudul “Ciri-ciri Awal Kehamilan”. Laki-laki tidak mengalami momen ini. Sperma muncrat tiap kali klimaks hanya meninggalkan rasa lega dan senang. Itu sudah.
Keesokannya, saya tahu saya mesti pergi ke dokter karena nyeri pada payudara saya bukan karena ciri kehamilan awal. Kuberitahukan padamu juga bahwa periksa nyeri payudara seharusnya bukan ke dokter Obstestri dan Ginekologi melainkan ke dokter bedah. Pengalaman itu membuatku membuang uang untuk konsultasi yang hanya dijawab bahwa aku salah pilih dokter. Dokter bedah perempuan yang amat ramah di RS bilang, nyeri dan benjolan itu berasal dari peradangan payudara. Sedangkan telat menstruasi itu biasa saja karena kelainan hormonal pasca menikah atau saya sedang lelah-lelahnya bekerja.
Baik. Mari kembali kepada Amara dan Baron. Amara adalah kita semua, perempuan yang semangat mendukung emansipasi. Namun kita tahu, di dunia nyata, perempuan mesti banyak-banyak menjadi pihak yang paling banyak maklum. Baron adalah wakil suami kita semua. Ia pasti pernah bersepakat perihal pembagian peran produktif, reproduktif, dan sosial semestinya setara, bukan berdasarkan jenis kelamin. Tapi, Baron adalah laki-laki pada umumnya yang menikmati kemewahan tradisi lama. Ia menjadi laki-laki yang hanya punya inisiatif, tapi baru benar-benar bergerak setelah disuruh.
Dari upaya-upaya menuju hamil yang nelangsa, pembaca lalu diajak serta untuk menghayati masa kehamilan dan melahirkan Amara yang dinarasikan dengan penuh banyol (maaf, banyol untuk dibaca saja karena sebetulnya letih jika dijalani). Amara merasakan kopi berasa air selokan di awal kehamilan, tidak mengalami pregnancy glow yang dijanjikan buku panduan kehamilan, dan rambut rontok hingga hampir botak.
Meskipun sama-sama perempuan, saya belajar banyak istilah. Periksa dalam, yakni ketika suster menyodok-nyodokkan jari secara manual ke dalam vagina untuk memeriksa bukaan 1 hingga 10. Juga adegan dokter yang lagi-lagi memasukkan jari-jari ke vagina untuk menarik keluar gumpalan-gumpalan darah mirip rempelo ati mentah pascamelahirkan. Bab-bab perencanaan hingga melahirkan ini, mutlak hanya bisa ditulis oleh novelis perempuan. Di sini, kehadiran novel Lenyap dari Bisikan jadi penting.
Perjalanan hidup Amara pascamelahirkan adalah pengalaman perempuan yang sering kudengar dari teman-temanku yang lebih dulu menjadi ibu. Aktivitas begadang untuk kegiatan menyusui yang membuat penampilanmu awut-awutan dan tidak menarik. Pekerjaan rumah yang awut-awutan. Keputusan sulit untuk meletakkan ambisi pribadi seperti karier di belakang kepentingan si bayi mungil. Ketidakbecusan memahami maksud gerak gerik bayi yang berujung kecemasan memuncak hingga kehilangan self-esteem. Krisis diri saat menjadi ibu.
Pernikahan Amara dan Baron tegang karena bencana ekonomi khas perkotaan. Mereka bukan pasangan miskin dari asal hingga tak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Mereka sial karena salah perhitungan. Lebih tepatnya, Baron yang mendatangkan kesialan itu.
Saya betul-betul tidak punya keinginan membaca cerita ini dengan metodologi berpikir khas feminis. Saya menikmati Amara sebagai perempuan yang menikmati pergulatan diri tanpa mewajibkan dia menggugat banyak hal. Sampai saat cerita tiba kepada konflik-konflik menegangkan menuju klimaks. Ini adalah kepiawaian Andina Dwifatma. Ia bisa tiba-tiba memaksamu untuk megap-megap seperti ikan kehabisan air. Sama seperti novel pertama Andina Dwifatma berjudul Semusim dan Semusim Lagi, saya hampir menjerit karena twist demi twist yang terlalu mendadak. Tapi, bukankah sebagian takdir selalu hadir mendadak tanpa memberimu kesempatan untuk membuat kehadirannya jadi masuk akal?
Baron tiba-tiba jadi pecundang. Baron tiba-tiba jadi medioker: laki-laki yang tidak bisa mengelola diri sendiri saat gagal. Baron tidak bersedia menerima masukan Amara dalam masa krisis, sebab keputusan laki-laki harus selalu superior. Baron sekuat tenaga ingin membuktikan nilai maskulinitas mutakhir dalam dirinya: mengontrol, menguasai, mengambil tindakan, mengatur. Ketika Baron memilih berdiam diri, meninggalkan rumah hingga melakukan kekerasan fisik pada Amara, Baron sedang memangguli sendirian beban menjadi laki-laki dalam imajinasi budaya patriarkal itu. Saya benci mengatakan ini: pada akhirnya, Baron kehilangan man power.
“Mengapa Baron bisa tenang meninggalkan Yuki bersamaku? Apa karena aku seorang ibu dan dengan sendirinya aku tahu apa yang harus kulakukan dengan anakku? Seandainya situasi di balik, aku ingin tahu apakah aku sanggup meninggalkan Yuki dengan Baron sementara aku berkelana sekadar membuat perasaanku lebih baik.” (Halaman 120)
Paragraf itu, bukan cuma penyerta lamunan Amara yang sentimentil. Setiap perempuan mengalami apa yang disebut sebagai “reproduksi pengetahuan”. Reproduksi pengetahuan menjadi perempuan yang dimulai sejak kita dipakaikan pakaian perempuan, dilekati nilai-nilai sebagai perempuan, mempertanyakan ulang nilai-nilai itu, melupakannya, mempertanyakan kembali, mencoba melakukan pemberontakan senyap… dan seterusnya. Terkadang, reproduksi pengetahuan mengantar seorang perempuan menjadi diri yang tampil independen menurut masyarakat. Terkadang, reproduksi pengetahuan mentok jadi pengalaman batin saja karena keadaan. Setidaknya, kesadaran kritis (meminjam istilah Paulo Freire) itu pernah mampir.
Pada bagian penutup ulasan ini, kuceritakan padamu perihal Mami Amara. Mami Amara adalah wajah ibumu dan ibu kita semua. Ia terikat dengan nilai tradisional bukan karena memilih terikat, melainkan karena tak punya pilihan. Tapi seorang ibu, kau tahu, paling bisa jadi tempat pulang setelah upayamu melawan glass ceiling ternyata benar-benar membuatmu hanya menabrak dinding kaca yang menyisakan luka di sana sini pada keseluruhan tubuhmu.
Ibumu memberi kesempatan untukmu bergerak menuju nilai-nilai kebaruan dalam rangka menjadi perempuan yang berbeda dari dirinya. Diam-diam, kamu menyadari petulangan membawa tubuh dan seksualitasmu sebagai perempuan bekerja dengan begitu senyap, Lebih Senyap dari Bisikan….
BACA JUGA Melihat Perempuan sebagai Pelaku Kekerasan atau tulisan Kalis Mardiasih lainnya. Follow Facebook Kalis Mardiasih.