Di tengah-tengah gejolak RUU Kesehatan yang lagi panas-panasnya, dokter Ngabila Salama dengan ceroboh memamerkan gaji bulanannya yang mencapai 34 juta. Otomatis tweet yang sudah dibaca oleh ribuan netizen tersebut menjadi sorotan. Tidak heran, meskipun beliau sudah menghapusnya, netizen, apalagi tenaga medis yang terlanjur membacanya masih kebakaran jenggot. Soalnya, ya, gaji tenaga kesehatan nggak segitu besar.
Buntut dari tweet tersebut, membuat dokter Ngabila Salama diseret supaya melaporkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) ke KPK. Lewat kegaduhan itu, masyarakat juga makin terbuka bahwa gaji tenaga kesehatan, khususnya dokter umum tidak sebegitu besarnya.
Gaji dokter umum yang direkomendasikan IDI sendiri, minimal berada di angka 12,5 juta per bulan. Sayangnya setelah Junior Doctor Indonesia (JDN) melakukan survey, terhitung 85 persen dokter yang ikut dalam survei tersebut mendapatkan nominal di bawah standar IDI. Ya memang segitu aja sih dapatnya, memangnya mau seberapa? Wajar, karena nominal tersebut hanya bersifat rekomendasi, tidak ada kekuatan hukum sama sekali.
Daftar Isi
Gaji tenaga kesehatan benar-benar bercanda
Baik, mari kita lihat gaji tenaga kesehatan lain, yaitu perawat. Meskipun belum ada lembaga survey yang terang-terangan meliput mengenai gaji perawat di lapangan, tapi Anda bisa melihat gambarannya di YouTube, apalagi jika Anda gemar berselancar di Twitter. Kesengsaraan para perawat yang menerima gaji tidak lebih dari satu juta rupiah tiap bulannya itu bukan ungkapan palsu. Itu nyata, Gaes, nyata!
Saya juga dulu menganggapnya hanya kicauan belaka. Sampai saya tanya sendiri ke Mas dan Mbak perawat yang bertugas di salah satu Puskesmas pada 2022 lalu. Bahkan ada yang hanya dibayar 200 ribu tiap bulannya di awal karier. Bagaimana dengan bayaran sekitar 500 ribu tiap bulannya? Ada banget, banyak.
Kalau tidak percaya, saya coba hadirkan beberapa video di YouTube yang membahasnya. Anda bisa melihatnya di sini dan di sini. Padahal PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) sendiri telah memberi patokan bahwa gaji perawat seharusnya 3 kali UMP. Makanya, di desa-desa, banyak perawat yang fokus kerja utamanya berlangsung di luar fasilitas kesehatan tempat mereka bekerja. Beliau-beliau biasanya menawarkan layanan khitan, rawat luka, hingga memasang selang kencing atau selang lambung pada pasien-pasien yang dirawat keluarganya di rumah.
Memang harus berusaha sebesar itu, mana cukup 500 ribu buat biaya sehari-hari?
Supply banyak, demand kelewat sedikit
Sayangnya supply and demand memang bekerja sedahsyat itu. Sekolah keperawatan dan sekolah kebidanan menjamur begitu banyak yang berimplikasi pada jumlah lulusannya. Menurut Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI), terdapat 633 ribu perawat dengan STR aktif pada 2020. Ditambah dengan menjamurnya sekolah perawat dan kurangnya pembangunan fasilitas untuk menyerap tenaga kerjanya, banyak dari lulusan perawat menjadi tenaga honorer atau sukarela. Ujungnya?
Ya seperti sekarang, Anda bisa melihat di lingkungan Anda sendiri, begitu jasa perawat menjadi kurang dihargai karena jumlahnya terlalu banyak. Tanpa mendapat solusi gaji dari negara, para perawat dan bidan di Indonesia kini telah memutar otak untuk mendapatkan uang lebih banyak dengan menjadi tenaga kesehatan di negara lain. Jepang menjadi salah satu negara yang jadi incaran. Anda bisa mencari teman-teman saya yang berkarier menjadi perawat di luar negeri dengan mudah di YouTube.
Rumput tetangga beneran lebih hijau
Kondisi mirisnya gaji tenaga kesehatan ini nyaris nihil di negara-negara maju dan negara-negara tetangga. Kita mulai di Amerika dan United Kingdom misalnya. Coba cari di Google tentang gaji dokter umum di amerika dengan kata kunci “General Practitioner Salary”.
Nominalnya mungkin akan beragam. Tetapi, coba kita cari satu jalan tengah yang tidak tinggi dan tidak rendah di Amerika, dengan nominal 160.000 dolar per tahun atau 2,3 miliar rupiah per tahun. Bagaimana dengan di United Kingdom? Yang tampak di Google, kebanyakan sekitar 90.000 poundsterling, atau sekitar 1,4 miliar rupiah per tahun.
Untuk mengabaikan nominal gaji yang terlampau tinggi karena beban kurs dan biaya hidup yang berbeda dengan Indonesia, maka Anda coba cari 10 highest paying jobs di Amerika dan Eropa. Hasilnya, tampak bahwa tenaga kesehatan mereka memang sangat dihargai. Dokter umum menjadi urutan atas dalam perihal gaji. Selaras, gaji perawat di Amerika dan United Kingdom juga sangat dihargai, dengan nominal 1 miliar rupiah dan 600 juta rupiah per tahun secara berurutan.
Bagaimana dengan Malaysia? Masih, dokter umum dihargai menjadi top 10 highest paying jobs dengan gaji 110.000 ringgit atau 350 juta per tahun. Sedangkan di Indonesia? Harus jadi spesialis bedah dulu baru bisa masuk 10 besar gaji tertinggi. Mengingat di Indonesia rasionya masih 0,695 dokter tiap 1000 penduduk pada 2021. Tapi, gaji dokter Indonesia juga masih kalah jauh dengan Malaysia yang memiliki rasio 2,23. Apalagi dengan Amerika dan United Kingdom yang memiliki rasio 3,56 dan 3,17.
Ada upaya, tapi…
Melihat masalah itu, Menkes pada bulan April 2023 lalu telah berjanji akan menaikan basic salary dari dokter, apalagi yang bertugas di rumah sakit vertikal Kemenkes. Sebuah langkah yang tampak sejuk buat para dokter. Tapi, kapan? Dan berapa nominal yang sanggup Kemenkes naikkan? Apakah hanya terbatas pada rumah sakit vertikal? Puskesmas dan rumah sakit lainnya bagaimana?
Jika dipikir secara gamblang, dari mana sih Kemenkes bisa menaikan gaji? Lewat sistem yang sudah berjalan bertahun-tahun, sepertinya bakal mustahil kalau tarif pelayanan tiba-tiba dinaikkan secara mendadak. Satu hal yang bisa Kemenkes mainkan adalah kapitasi BPJS, yang tidak akan memukul ekonomi masyarakat secara masif. Itu pun dengan tidak menaikkan preminya secaranya signifikan. Mari kita analisis kemungkinan kenaikan gaji ini dari kapitasi BPJS.
Kapitasi yang akan diterima fasilitas kesehatan tingkat pertama, dihitung berdasarkan jumlah anggota BPJS yang terdaftar di fasilitas kesehatan tersebut. Hitungan standar kapitasi BPJS memang agak rumit, Anda bisa membacanya di sini sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2023 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Karena rumit, kita coba saja gunakan nominal kapitasi yang di atas rata-rata, 8000 rupiah tiap peserta yang terdaftar. Dengan permisalan fasilitas kesehatan tersebut memiliki peserta sebanyak 5 ribu.
Maka, tiap bulannya fasilitas kesehatan itu akan mendapat sekitar 40 juta rupiah. Namun, nominal tersebut harus dibagi untuk beli bahan habis pakai, seperti alkohol, betadin, kasa, peralatan kesehatan seperti stetoskop, tensimeter, dan belum lagi obat-obatan. Sisanya juga harus dibagi untuk menggaji karyawan yang bekerja di sana. Mulai dari dokter, perawat, bidan, tenaga administrasi, tenaga supir, hingga, office boy. Emangnya cukup? Pun kalau cukup, berapa nominal akhir yang diterima sebagai gaji?
Kenapa getol menambah dokter kalau gaji tenaga kesehatan sebercanda itu?
Dengan fakta demikian, saya juga bingung. Kenapa Kemenkes begitu getol dan membuat isu kekurangan dokter seakan menjadi kedaruratan? Rasio 1 dokter banding 1.000 penduduk adalah angka yang konyol jika pemerintah jelas tidak sanggup memberikan upah yang layak. Coba, jika kapitasi BPJS tetap di angka 8.000 rupiah dengan 5.000 peserta seperti tadi. Untuk 5 dokter, mereka mendapat 8 juta saja. Tapi, bagaimana dengan gaji tenaga kesehatan lain? Bagaimana dengan bahan habis pakai dan obat-obatannya?
Sebelum isu 1:1.000 mencuat, isu kekurangan dokter bukan fokus pada kekurangan jumlahnya, tetapi pada persebarannya. Dengan standar sebelumnya, rasio 1:2.500 sudah tercapai dengan jumlah dokter dan jumlah penduduk sekarang. Yang menjadi masalah adalah persebarannya. Jelas jumlah fasilitasnya kurang, apalagi jika ditambah faktor gaji tenaga kesehatan. Masuk akal bukan jika tenaga kesehatan enggan disebar? Sudah jauh dari rumah, eh upah yang diberikan tidak menggiurkan. Meskipun pemerintah sudah berusaha menaikan gaji mereka lewat program seperti Nusantara Sehat, tapi hanya berapa persen tenaga kerja yang diserap?
Imajinasi yang kelewatan
Kemenkes lagi-lagi juga berhasil membuat dunia kesehatan Indonesia gempar dengan usulan RUU Kesehatannya. Kemenkes tampak mampu memandang jauh ke depan dengan enam pilar transformasinya, transformasi layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, SDM Kesehatan, dan transformasi teknologi kesehatan.
Sayangnya, transformasi ini hanya upaya yang imajinatif dan utopis belaka tanpa dukungan gaji yang memadai pada sumber daya manusia yang bertugas. Ya wajar sih, membangun gedung dan menyediakan fasilitas kesehatan memang lebih tampak hasilnya, daripada sekonyong-konyong menaikan gaji karyawannya.
Untuk dokter Ngabila, nggak apa-apa sih flexing gaji. Tapi, saran saya sebagai junior, jangan dilakukan waktu gaji tenaga kesehatan di negara kita lagi seret-seretnya gini dong. Malu juga sih kalau dilihat tenaga kesehatan luar negeri, begitu miris amat gaji kita dibanding mereka.
Penulis: Prima Ardiansah Surya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Seandainya Biaya Periksa di Rumah Sakit Terpampang seperti Daftar Harga di Restoran