Kemarin, kita semua dikejutkan hal yang sama: Rusia melancarkan serangan militer terhadap Ukraina. Serangan Rusia tidak main-main: misil. Beberapa hari sebelumnya, ketegangan antara Rusia-Ukraina ini juga sudah membuncah. Amerika bersuara dan beberapa negara Eropa tidak tinggal diam. Kedua entitas politik ini sama-sama moralis, hindari perang dan mengutuk Putin sebagai orang yang bukan main otoriternya.
Banyak orang yang memprediksi bahwa serangan Rusia ini berpotensi jadi Perang Dunia Ketiga. Pandemi belum habis, kita sudah diberi gambaran bencana yang lebih besar. Mungkin, itulah yang akan jadi isi status media sosial selama beberapa hari ke depan.
Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, isu ini HI banget. Beberapa teman dengan segera mengontak saya dan menanyakan kemungkinan-kemungkinan perang. Sesuatu yang semakin mengentalkan stereotip-stereotip isu HI sebagai isu perang dan konflik antarnegara saja. Tapi stereotip itu tidak berlebihan, ilmu HI memang dalam kelahirannya hadir untuk mempelajari perilaku negara dan tujuannya memang untuk mencegah perang, MyLov.
Tapi sebelum lanjut, saya harap kalian tidak menganggap saya membenarkan perang atau berpikiran hal-hal buruk yang lain. Saya hanya memberikan pandangan lewat sudut pandang dari ilmu yang sudah saya pelajari. Sing penting ojo jotos-jotosan, Maszeh.
Beberapa teori HI mula-mula, menyebutkan dengan sederhana, negara adalah aktor yang rasional dan selalu punya kepentingan. Tindak-tanduknya adalah hasil kalkulasi rasional dan selalu punya alasan yang kuat (tidak berlaku untuk Trump ya wkwkwk). Tidak ada ayang kawan atau lawan yang abadi, hanya kepentingan yang abadi. Begitu kira-kira kata salah satu pakar politik.
Berarti konflik Rusia-Ukraina ini rasional ya? Padahal kan perang itu tindakan-tindakan yang merugikan?
Bisa saja rasional. Lebih tepatnya, bisa dikalkulasikan sedemikian sampai jadi rasional. Serangan Rusia ke Ukraina bukan tanpa alasan. Ini bahkan punya akar dan preseden sejak 1991. Sejak Ukraina merdeka.
Sejak akhir 2020, Putin telah mengeluarkan ultimatum untuk NATO, AS, dan beberapa negara Eropa. Beliau berkata agar pihak yang disebutkan tadi menghentikan ekspansi NATO ke negara-negara Eropa Timur, bantuan militer ke beberapa negara bekas Uni Soviet—Ukraina salah satunya, dan pembangunan misil jarak menengah di Eropa. Kalau tidak, Putin tak segan untuk mengambil langkah militer. Tapi, rekan-rekan Barat bergeming. Mereka bilang, “Anda tidak punya hak untuk larang-larang kami, Bos.” Begitu kira-kira kalau diterjemahkan tindak-tanduk rekan-rekan Barat ini.
Di sisi lain, Ukraina, sejak kemerdekaannya adalah ruang perebutan pengaruh. Sebagai negara bekas Soviet, ketergantungan Ukraina itu kuat sekali. Di sisi lain, sejak kemerdekaannya di 1991, ada usaha dari US dan Eropa untuk mendemokratisasi negara-negara Eropa Timur. Sampai awal abad 21, Ukraina merupakan beberapa negara Eropa Timur yang masih tidak menjadi anggota NATO maupun Uni Eropa. Dengan kata lain, Ukraina ini sisa-sisa kejayaan dan kebanggan Uni Soviet dulu.
Loh, masa hanya soal gengsi? Tentu saja selalu ada alasan yang lebih kompleks.
Untuk saya, sekurang-kurangnya ada dua hal yang bisa menjadi dorongan lebih lanjut. Pertama, soal posisi strategis Ukraina secara ekopol. Secara ekonomi, Ukraina ini penghubungan Rusia langsung dengan Eropa. Akses Rusia ke Eropa akan lebih mudah. Secara politik, Ukraina sudah menjadi halaman belakang Rusia. Tidak enak ada musuh di halaman belakang rumah, begitu mungkin pikiran Om Putin.
Kedua, soal berbahayanya jika Ukraina gabung NATO dan Ukraina jadi “demokratis” versi Barat. Itu bisa merongrong versi demokrasi kedaulatan Rusia—semua berpusat pada negara, bukan rakyat. Lebih jauh bahkan itu bisa menggoyangkan legitimasi Putin sebagai pimpinan Rusia paling oke di abad 21 ini.
Sampai sini, kegalauan Om Putin mulai bisa dipahami. Tapi bukan berarti dia bisa seenak jidat toh tembak-tembak misil? Oh jelas, tidak bisa. Saya pun tidak sepakat dengan itu. Hanya saja, perlu diingat baik-baik, ini bukan perkara hitam-putih. Tidak ada penjahat dan pahlawan di sini. Konflik di Ukraina ini campur tangan berbagai pihak. Ada om-om dari Barat yang liberal dan Rusia main-main di Ukraina. Proxy war istilah kerennya. Sesuatu yang sudah jadi tren sejak perang dingin, Ges.
Lalu, apakah bakal ada Perang Dunia Ketiga? Kalau saya sih, nggak yakin.
NATO, US, dan beberapa negara Eropa tidak punya legitimasi yang kuat untuk baku hantam langsung dengan kasih turun tentara. Ukraina tidak pernah menjadi anggota resmi mereka. Sejauh ini, hanya sanksi ekonomi ke Rusia dan bantuan militer defensif yang akan diberikan ke Ukraina. Di sisi lain, om Putin sudah pernah bilang bahwa dia tidak berniat menganeksasi seluruh Ukraina. Dari sini, untuk saya, perang dunia ketiga terlampau merugikan untuk terjadi. Jika iya, tidak dalam waktu dekat. Kecuali Pemuda Pancasila turun tangan itu baru mungkin.
Satu-satunya dampak paling dekat yang bisa dirasakan oleh dunia adalah resesi ekonomi. Rusia ini eksportir minyak besar. Harga minyak sangat mungkin naik. Dan sepertinya memang sudah naik.
Lalu, apa efek serangan Rusia ke Ukraina terhadap Indonesia?
Yang namanya perang, itu akan bikin semua orang di dunia merasakan ketakutan yang sama. Jika perang terjadi, tinggal tunggu waktu semua ikut bagian. Dan tinggal tunggu waktu juga, semua dicekam ketakutan yang sama.
Semoga serangan Rusia ini tidak berkepanjangan, dan perdamaian segera terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah berharap yang terbaik.
Penulis: Oktaviano N. G.
Editor: Rizky Prasetya