Lionel Messi akhirnya berhasil menamatkan sepak bola yang telah ia “mainkan” sejak hampir dua dekade silam atau lebih tepatnya pada 16 Oktober 2004. Kala itu, Frank Rijkaard yang menjabat sebagai pelatih Barcelona memberikan kesempatan bermain untuk pemuda yang baru berusia 17 tahun 114 hari tersebut ketika timnya bersua tim sekota, Espanyol pada musim 2004/2005.
Sebagai pemain muda, Messi tak langsung mendapatkan kepercayaan untuk bisa tampil sebagai starter. Ia memulai ceritanya dari bangku cadangan dan harus menyaksikan para seniornya seperti Ronaldinho, Samuel Eto’o, dan Deco beraksi lebih dulu.
Suasana di Stadion Olimpic Lluis Companys membuat adrenalin Messi mulai naik, ia ingin sekali mendapatkan kesempatan untuk mencicipi atmosfer di dalam lapangan. Terlebih setelah Deco mampu menciptakan gol di menit ke-9, membuat keinginan Messi untuk tampil semakin besar. Ia melihat ke arah Rijkaard, sang juru taktik. Messi berharap legenda Belanda ini segera membuat perubahan dan dirinya ada di dalam skema tersebut.
Rijkaard yang kala itu berdiri di tepi lapangan terlihat gelisah karena timnya tak mampu lagi menambah gol. Hingga akhirnya ia memanggil salah satu pemain di bangku cadangan untuk dapat memberikan warna baru di lapangan. Sayang, orang itu bukan Messi. Salah satu calon legenda Barcelona lainnya masuk untuk menggantikan Samuel Eto’o di menit ke-67. Rijkaard berharap Andres Iniesta mampu menjalankan instruksi yang ia berikan.
Hingga laga memasuki menit ke-80, Barcelona masih belum bisa menambah gol. Di sisi lain, Espanyol terus menerus berusaha membongkar pertahanan rapat milik anak asuh Frank Rijkaard. Sadar bahwa dirinya butuh “darah segar”, ia meminta Lionel Messi untuk pemanasan dan bersiap-siap.
Apa yang dinantikan pemuda 17 tahun itu akhirnya tiba. Ia melakukan persiapan dengan baik untuk memulai laga debutnya bersama Barcelona. Dirasa cukup, Rijkaard memanggil Messi dan memberikan tugasnya untuk dilakukan pemuda itu di sisa menit pertandingan.
Sebelum masuk ke lapangan, Lionel Messi yang kala itu mengenakan nomor punggung 30 melihat dengan saksama situasi di lapangan. Beberapa detik lagi ia akan masuk ke arena pertempuran yang sesungguhnya. Wasit menghentikan pertandingan, Messi yang telah berdiri di pinggir lapangan menunggu seorang Deco untuk keluar arena pertarungan.
Tepat di menit ke-82, sang pencetak gol pada laga itu, Deco berjalan keluar lapangan. Ia memberikan tos dua tangan kepada Messi sesaat sebelum dirinya keluar lapangan. Tak hanya itu, Deco juga berpelukan dan terlihat memberikan sepatah dua patah kata untuk pemuda 17 tahun itu. Mungkin, jika saya boleh menebak, Deco berpesan seperti ini kepada Lionel Messi muda, “Ini saatnya, Nak. Buktikan”.
Dan sisanya, adalah sejarah.
Saat ini, pemuda 17 tahun itu sudah berusia sekitar 35 tahun. Berawal sebagai pemain pengganti, Lionel Messi menjelma sebagai pesepakbola terbaik di Bumi. Ibarat sebuah video game, La Pulga telah berhasil menamatkannya.
Kepastian itu ia dapatkan ketika dirinya mampu membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 2022, ketika Lionel Messi mampu mengomandoi timnya untuk menjungkalkan sang juara bertahan, Prancis lewat drama adu penalti. Tak hanya itu, bagi saya, suguhan yang diberikan Messi dan Mbappe di partai puncak tersebut merupakan final Piala Dunia terbaik yang pernah saya tonton.
Sesaat setelah Gonzalo Montiel berhasil menipu Hugo Lloris pada tendangan penalti keempat, kebahagiaan tersebut langsung menular ke seluruh penjuru negeri Argentina. namun, apakah kalian sadar bahwa di balik senyum dan tawa bahagia yang ditunjukkan rakyat Argentina kepada dunia, ada “monster” besar yang sedang mereka hadapi?
Krisis ekonomi di Argentina
Di media sosial, mungkin kalian akan melihat beberapa foto kondisi Buenos Aires yang ramai padat karena rakyat Argentina menunggu Lionel Messi dan trofi Piala Dunia. Mereka yang sudah menunggu para punggawa La Albiceleste pulang dari Qatar, memadati lokasi di sekitaran The Obelisk of Buenos Aires atau tugu yang menjadi ikon Ibu Kota.
Di balik tawa dan kebahagiaan tersebut, rakyat Argentina sebenarnya tengah menghadapi masalah krisis ekonomi. Gelar juara yang didapatkan oleh Emiliano Martinez dan kawan-kawan tersebut berhasil diraih di kondisi ekonomi Argentina yang sedang kacau balau.
Bukan karena Covid-19, masalah ekonomi Argentina bisa dikatakan sudah ada jauh sebelum pandemi menyerang. Sistem kesejahteraan rakyat yang dimiliki Argentina ternyata tak berjalan mulus sesuai rencana. Alih-alih membuat rakyat bahagia, subsidi yang terus menerus diberikan pemerintah kepada rakyat malah menjadi malapetaka.
Ketika pendapatan negara tak mampu lagi untuk menutup anggaran guna subsidi rakyat, satu-satunya cara untuk mengakali hal tersebut adalah dengan berutang. Hal ini terus menerus terjadi, hingga bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah Negeri Tango semakin membesar angkanya dan restrukturisasi utang akan menjadi pilihan. Saya tidak akan membahas apakah utang ini baik atau tidak dalam kacamata ekonomi karena bukan kapasitas saya untuk itu. Jadi, kita bahas yang umum-umum saja.
Pertumbuhan ekonomi Negeri Tango tak mengalami kemajuan yang signifikan, bahkan bisa dibilang stagnan. Meskipun tak melulu minus, pertumbuhan ekonomi Argentina naik turun di range -2 hingga 2 persen, setidaknya dalam 10 tahun ke belakang.
Tentunya, muara dari krisis ekonomi yang sedang terjadi di Argentina adalah inflasi. Setidaknya, per November 2022, inflasi di negaranya Lionel Messi ini sampai menyentuh angka 92,4%. Sebuah jumlah yang cukup untuk bisa mengatakan bahwa Peso, mata uang Argentina kehilangan nilainya di mata dunia.
Tak lagi bernilai, kok bisa? Begini, sebagai perumpamaan, di tahun 2017, 1 USD bernilai 19,10 Peso Argentina. Tapi, kini 1 USD bernilai 173,61 atau melemah hampir 10x lipat hanya dalam lima tahun terakhir. Ya, kalau di tahun 2017 kamu bisa membeli 5 gorengan hanya dengan 1 dollar, kini dengan jumlah uang yang sama, kamu cuma bisa dapat satu weci yang dibagi dua. Kecil dan jelas tak mengenyangkan.
Banyak masalah akibat dampak dari inflasi ini, salah satu yang paling terasa adalah harga bahan pangan yang melonjak tinggi. Sehingga banyak dari rakyat Argentina kesulitan untuk sekadar membeli bahan makanan dan mau tidak mau harus mencari pekerjaan sampingan, salah satunya adalah dengan menjadi pemulung.
Gelar juara pelipur lara
Seseorang bijak pernah berkata, “Seberat apa pun masalah yang sedang kamu hadapi, jangan lupa mencari alasan-alasan sepele untuk membuatmu tetap tertawa dan bahagia.”
Gelar juara Piala Dunia yang dibawa oleh Lionel Messi dan kawan-kawan dari Qatar bukan sekadar trofi emas. Lebih dari itu. La Pulga pulang ke Argentina dengan membawa kue penuh dengan toping kebahagiaan dan lalu ia bagikan sepotong demi sepotong kepada rakyat yang memang sedang membutuhkan.
Bagi saya, kemenangan timnas Argentina atas Prancis di partai puncak memiliki makna yang lebih bagi La Albiceleste dan jutaan rakyat yang “berdiri” di belakang skuad Lionel Scaloni. Trofi yang berhasil direbut Lionel Messi dari tangan sang juara edisi sebelumnya menjadi “obat” pelipur lara untuk seluruh masyarakat Negeri Tango yang sedang dalam kondisi tak baik-baik saja.
Mereka berpesta, tertawa, dan seakan lupa bahwa di esok harinya harus kembali berjibaku menghadapi masalah ekonomi yang sedang melanda. Lionel Messi, Scaloni, dan punggawa La Albiceleste lain berhasil membuktikan bahwa sepak bola bukan hanya sekadar olahraga. Lebih dari itu, pada suatu titik dan momen tertentu, sepak bola adalah pelipur lara dari kejamnya dunia.
Penulis: Devandra Abi Prasetyo
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Lionel Messi, Paripurna di Bawah Kolong Langit Sepak Bola