Aneh ya judulnya? Iya, wagu gitu. Sama kaya fenomenanya. Bayangin, pemuka agama yang biasanya kita hormati dan dengarkan karena kedalamannya dalam memahami ilmu agama sekarang bahkan juga ikut merasakan dampak pandemi. Ya, walaupun hampir semua profesi sebenarnya juga ikut terdampak. Eh, pemuka agama itu termasuk profesi nggak, sih? Atau panggilan dakwah?
Sebenarnya tidak ada yang salah dari memberikan sedekah kepada siapa pun dengan titel apa pun. Namanya perbuatan baik ya akan tetap baik. Tapi, kita akan bingung mendengar alasan dari Wakil Menteri Agama bahwa, “Siapa tahu sudah oleng karena ceramah yang seharusnya dipanen, tidak ada lagi karena masjid ada pembatasan”. Atau kata Bapak Ace Hasan yang menyebut bahwa pendapatan para pemuka agama (Islam) ini bisa dikatakan sudah tidak dapat diharapkan saat ini. Jadi, pemuka agama ini memang sebuah pekerjaan yang ada jenjang kariernya gitu, ya? Semakin ngetren dan sering dipanggil, maka semakin terjamin hidupnya.
Ah, saya jadi ingat sinetron RCTI bakda Subuh yang berjudul Aku (bukan) Ustaz. Di sana ceritanya ada dua orang penceramah yang sangat berbeda dalam memandang bisyaroh/honor ceramah. Yang satu menganggap bahwa bisyaroh ini sekadar kerelaan jamaah dan bahkan tidak sepenuhnya menjadi haknya. Oleh karenanya ia sering menolak atau melimpahkannya kepada orang yang lebih membutuhkan. Sedangkan yang satu lagi, si ustaz yang merasa perlu menghidupi staf di bawah manajemennya sehingga memasang tarif yang cukup tinggi untuk sekali ceramah. Ya, walaupun tokoh yang kedua ini ceramahnya lipsing. Eh.
Menurut saya, sinetron tersebut memberikan gambaran yang cukup jelas tentang perbedaan persepsi kita mengenai pendakwah. Apakah bisa disebut sebagai pekerjaan, atau bentuk kerelaan memenuhi panggilan yang fardu kifayah itu. Jika dianggap sebagai pekerjaan sudah barang tentu orientasinya profit, bahkan perlu dibuatkan strategi marketing khusus, iya to? Namanya juga dagangan. Sedangkan kalau tidak dianggap pekerjaan, lantas bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup sedangkan waktunya habis dipakai untuk ceramah?
Kalau saya sih, masih tetap setuju dengan persepsi bahwa dakwah itu panggilan untuk memenuhi kewajiban dalam rangka membagikan ilmu dan pemahaman yang telah Allah karuniakan. Masalah rezeki, kita bisa meniru para pendakwah yang juga tetap menjalankan bisnis sebagai ladang rezeki. Ustaz Yusuf Mansur misalnya. Beliau tidak sepenuhnya menggantungkan hidup dari ceramah, bahkan justru memprakarsai banyak bisnis serta menyemangati jamaahnya untuk berbisnis. Begitu pula dengan paradigma para kiai di pesantren yang juga memberikan keterampilan hidup seperti ternak dan bercocok tanam kepada para santri, atau bahkan yang lebih modern sudah memiliki program pelatihan IT, supaya nantinya santri tidak bergantung pada panggilan dakwah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Hal ini juga diaminkan oleh organisasi massa Muhammadiyah yang memegang teguh pesan Kiai Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan dari Muhammadiyah”. Prinsip inilah yang menjadi etika para ulama Muhammadiyah bahwa kitalah yang seharusnya menghidupkan syiar, bukan mencari kesejahteraan hidup dari aktivitas syiar.
Pada muaranya, saya meyakini betul bahwa para ulama yang tetap mencari penghidupan di luar aktivitas dakwah ini sebenarnya sedang mencontoh Nabi Muhammad. Beliau bukan saja tidak menggunakan dakwah sebagai sumber penghidupan, tetapi bahkan memulai berkarier sejak usia belia dengan menggembala dan berdagang. Ya, namanya juga manusia sempurna, apa pun yang dilakukan beliau selalu merupakan contoh dan teladan paripurna untuk kita umatnya.
Kembali ke ide brilian Kemenag tadi, sedekah kepada siapa pun tetap akan baik. Tapi kok ya, habis ngeprank mahasiswa dengan membatalkan menurunkan UKT dengan alasan anggaran Kemenag dipotong 2,6 triliun untuk penanggulangan Covid-19. Eh lha sekarang malah mau kasih santunan kepada pemuka agama (Islam)? Sungguh dermawan yang masyaAllah.
Terakhir, coba kita bayangkan kalau seandainya para penceramah itu mengilhami nilai-nilai kemuhammadiyahan tadi atau kalau mau lebih mantep bahasanya diganti jadi “ittiba’ kepada rasulullah” dengan mengandalkan bisnis untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nama sedekahnya juga jadi keren gitu lho, seperti “stimulus UMKM milik ustaz …..” gitu. Bukan santunan, yang agak wagu didengar karena masih banyak kalangan yang lebih berhak menerimanya. Meskipun sama aja sih keduanya intinya dapat bantuan. Wqwqwq.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.