Warunk Upnormal dulu adalah top of mind anak-anak hits. Tapi kini, terlihat begitu miris
“Mau nugas di mana, Gaes?”
“Biasa, di Upnormal aja, gengs.”
Begitulah percakapan saya dan teman-teman semasa kuliah kalau mau mengerjakan tugas atau sekedar nongkrong nggak jelas. Warunk Upnormal selalu jadi pilihan utama. Kebetulan salah satu gerainya dekat kampus saya. Ketika itu, Warunk Upnormal mudah ditemukan di berbagai tempat, apalagi di sekitaran daerah Bandung.
Sebenarnya menu-menu yang ada di Warunk Upnormal tidak terlalu istimewa seperti mi instan dengan berbagai topping, roti bakar, kue-kue ringan, minuman-minuman seperti kopi atau susu yang sebenarnya bisa dibikin juga di rumah. Tapi, keistimewaan Warunk Upnormal adalah tempatnya. Tiap gerai menawarkan tempat tongkrongan yang cozy dengan berbagai fasilitas yang bikin kawula muda betah duduk berlama-lama. Interiornya Instagrammable, parkirannya luas pula.
Di masa jayanya, Warunk Upnormal seakan menjadi identitas bagi anak nongkrong. Anak muda yang ingin ngehits seakan wajib punya Instagram story atau status WhatsApp yang menandakan bahwa mereka pernah nongkrong di Warunk Upnormal.
Tapi sekarang lain lagi ceritanya. Banyak gerai Warunk Upnormal yang sepi pengunjung. Parkiran yang biasanya selalu penuh sekarang sering kosong. Bahkan banyak gerai yang sudah tutup dan gulung tikar. Saya sendiri sudah lupa kapan terakhir kali mengunjungi Warunk Upnormal. Kalau nggak salah sih sekitar pertengahan 2019 atau sebelum pandemi.
Banyak hal yang menyebabkan tumbangnya gerai Warunk Upnormal. Sebenarnya hal ini memang sudah terasa sejak masa pandemi. Saat kebijakan PPKM dan PSBB diterapkan pemerintah, banyak restoran atau kafe hanya melayani takeaway, yakni pesanan makanan dan minuman tidak boleh disantap di tempat. Karena jualan utama warung ini bukanlah menu makanan atau minuman, melainkan tempat, maka tidaklah mengherankan kalau banyak gerai yang bersusah payah untuk bertahan selama masa pandemi.
Sementara itu, ada berbagai penyebab lain yang disinyalir menjadi alasan mengapa banyak gerai Warunk Upnormal yang gulung tikar.
Harga produk yang terlalu mahal
Seperti yang telah saya bilang di atas, menu makanan dan minuman bukanlah produk utama Warunk Upnormal. Menu-menu yang ditawarkan adalah menu rumahan yang seharusnya tidak dipatok dengan harga terlalu mahal. Tapi sayangnya malah sebaliknya. Harga menu-menu tersebut terasa overpriced.
Untuk menu-menu rumahan sekelas mi instan, roti bakar, dan minuman lainnya dinilai kemahalan, apalagi untuk kantong mahasiswa atau pelajar. Menu yang sering saya pesan paling cuma roti bakar. Meskipun harganya jelas beda jauh dengan roti bakar yang dijual di kaki lima.
Harga yang mahal itu mungkin sepadan jika melihat tempatnya memang cozy untuk nongkrong. Masalahnya, sekarang banyak tempat yang bisa menawarkan hal serupa, dengan harga yang lebih terjangkau. Kalau sudah begitu, persaingan jadi makin sulit.
Pasar yang terlalu segmented
Anak muda adalah konsumen utama Warunk Upnormal. Dan yang namanya anak muda, mereka mudah saja berpindah haluan. Kalau memang tak punya strategi yang ciamik, meminta anak muda bertahan itu jelas mustahil.
Dan pada bagian ini, Upnormal sepertinya kurang cerdik dalam menghadapi perubahan tren. alih-alih berinovasi, mereka malah menaikkan harga. Seperti poin sebelumnya, ketika ada tempat yang sama-sama cozy tapi punya harga yang lebih miring, ya jelas pelanggan, terutama kaum muda, pergi satu per satu.
Ekspansi pasar yang terlalu gesit
Kalau kini kita melihat Mixue yang amat agresif dalam ekspansi, dulu Upnormal melakukan hal yang sama, meski jelas tak segila Mixue. Ketika masih ngehits, kita dengan mudah menjumpai gerai Warunk Upnormal di berbagai tempat. Bahkan dalam satu kota saja, bisa ada beberapa cabang yang bukanya lumayan berdekatan.
Padahal untuk membuka gerai baru, dibutuhkan analisis pasar yang matang sehingga modal yang dikeluarkan dapat memberi keuntungan yang diharapkan. Apalagi bisnis kuliner mudah sekali menemui titik jenuh. Diperparah pandemi kemarin, yang bikin banyak industri yang sekiranya aman, malah ikut tiarap.
Nah, ekspansi mereka jadi bumerang yang sedikit banyak menyumbang penurunan mereka. Terkadang, yang keliatan banyak itu belum tentu akan awet suksesnya.
Tempat yang terlalu wah
Poin ini mirip dengan dua poin pertama, tapi tetap harus saya cantumkan agar kelihatan banyak dan detil. Dan kali ini, perkara tempat.
Tempat yang unik dan menarik adalah jualan utama Warunk Upnormal. Colokan listrik di tiap tempat duduk serta WiFi dengan sinyal internet yang ngebut adalah keunggulan mereka. Apalagi ditambah dengan arsitektur bangunan yang unik serta desain interior yang memanjakan mata, siapa pun pasti betah duduk berlama-lama.
Tapi sayangnya, pilihan menu yang ditawarkan hanya itu-itu aja. Pengunjung hanya datang untuk sekadar nongkrong dengan pilihan menu apa adanya. Nongkrongnya lama tapi pesen menunya sedikit, ya jelas tidak seimbang. Apalagi biaya sewa bangunan tidaklah murah. Niatnya mau untung malah buntung.
Harus diakui bahwa Warunk Upnormal sudah tidak lagi “senormal” beberapa tahun yang lalu. Gerai di dekat kampus saya sudah tidak seramai dulu dan mungkin sebentar lagi akan tutup. Tidak ada yang tahu. Untungnya saya sudah lulus kuliah dan nggak butuh tempat nongkrong buat mengerjakan tugas lagi. Kalaupun teman-teman kuliah saya mengajak nongkrong untuk sekadar reunian, kami sudah punya tempat nongkrong yang baru.
Tidak ada yang abadi, yang terlihat berkilau, nyatanya akan menemui redup. Dulu, Upnormal bersinar begitu terang. Kini, keriangan yang dulu memenuhinya seakan jadi fatamorgana, yang makin lama, makin redup, makin redup…
Penulis: Rosmansyah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Rahasia Manis di Balik Mimpi Buruk Tsunami Cafe di Jogja