Tradisi rewang sepertinya memang semakin nggak relevan dengan kondisi zaman. Nggak menutup kemungkinan nantinya semua orang lebih memilih pakai jasa Wedding Organizer (WO) daripada rewangan. Beberapa waktu lalu, tetangga saya sudah ada yang pakai jasa WO saat menggelar pesta pernikahan. Yah, meski sempat menimbulkan rasan-rasan tetangga sekitar karena belum lumrah, nyatanya acara tersebut lancar-lancar saja dan katanya malah dapat keuntungan berlipat ganda.
Rewangan sendiri merupakan tradisi gotong-royong untuk membantu tetangga ketika menggelar pesta hajatan seperti sunatan atau pernikahan. Biasanya, tuan rumah yang memiliki hajat akan mengundang tetangga sekitar dan sanak saudara untuk membantu sekaligus menjadi saksi terselenggaranya pesta hajatan. Tradisi turun-temurun ini masih tetap lestari di beberapa daerah di Indonesia, tak terkecuali di Kabupaten Gunungkidul, tempat saya lahir dan berkembang.
Dari hasil pengamatan di kampung saya, akhir-akhir ini, tampaknya tradisi rewang mulai mengalami kemunduran. Banyak warga yang harusnya datang memenuhi undangan rewang, tetapi nggak hadir dengan berbagai alasan. Kalaupun ada yang hadir, para perewang sering datang telat dan pulang lebih awal padahal acara hajatan belum selesai. Tentu saja hal ini acapkali membuat tuan rumah merasa ketar-ketir dan takut jika acara nggak berjalan sesuai rencana.
Lantas, apa sebenarnya yang jadi faktor penyebab sebagian orang-orang dusun ogah menghadiri rewang? Berikut sejumlah alasan kenapa tradisi rewang dinilai sebagian orang sudah nggak relevan dengan kondisi zaman.
Menggelar hajatan di hari kerja
Di wilayah perkotaan, biasanya hajatan dilaksanakan saat hari libur seperti hari Sabtu-Minggu atau tanggal merah. Sedangkan di pedesaan, acara hajatan digelar sesuai “hari baik” yang telah ditentukan sesepuh desa atau menurut buku primbon Jawa. Maka, nggak menutup kemungkinan pesta hajatan di pedesaan digelar di hari non-weekend seperti Senin, Selasa, Rabu, dan seterusnya.
Nah, pelaksanaan pesta hajatan yang diselenggarakan pada hari kerja ini yang kemudian dianggap mulai nggak relevan lagi dengan kondisi zaman. Sebab, saat ini rata-rata orang—terutama kawula sinoman—bekerja di hari Senin-Jumat. Artinya, mereka harus masuk kerja dan terpaksa nggak bisa ikut rewangan.
Kejadian ini persis yang dialami tetangga saya beberapa waktu lalu. Tetangga saya ada yang menggelar pesta hajatan selama dua hari, yakni hari Rabu dan Kamis. Tak ayal, banyak bapak-bapak muda dan sinoman yang nggak datang rewang. Akhirnya panitia hajatan dibuat mumet dan kocar-kacir mengingat tamu undangan yang hadir tumpah-ruah sementara sinomannya jumlahnya sangat sedikit.
Mau nggak mau, panitia rewang pun melakukan improvisasi. Bapak-bapak paruh baya yang biasanya bertugas di jayengan (tempat wedang) terpaksa harus menggantikan peran para sinoman, yaitu mengantarkan minuman dan makanan buat tamu undangan. Di kampung saya, orang tua (bukan sinoman) yang mengantarkan wedang buat tamu undangan dianggap saru dan menyalahi aturan.
Ketua panitia yang nyebelin
Dalam pesta hajatan di kampung, biasanya akan dibentuk panitia rewang yang terdiri dari ketua, sekretaris, divisi perdapuran, sinoman, jayengan, dan divisi lainnya. Setiap divisi memiliki peran dan tugas masing-masing sesuai job desc yang telah ditentukan.
Sama seperti organisasi lainnya, panitia rewang juga nggak lepas dari konflik intern. Gesekan kerap terjadi antara ketua panitia dengan tim rewang. Biasanya, konflik ini terjadi akibat ulah ketua panitia yang bersikap otoriter. Misalnya menyuruh para perewang secara semena-mena, bersikap grusah-grusuh, ngomong kasar, dan suarane nyundul langit!
Yah, nggak sedikit ibu-ibu di dapur yang mengemban tugas masak diburu-buru secara nggak manusiawi oleh para oknum panitia. Biasanya hal ini terjadi pada sore hari, saat tamu undangan hilir mudik berdatangan sementara hidangan di prasmanan mulai menipis dan nyaris habis. Situasi semacam ini biasanya membuat ketua pantia naik pitam dan ibu-ibu dapur lah yang kerap menjadi korban dari keganasan oknum tersebut.
Sikap ketua rewang yang otoriter dan semena-mena sama perewang ini yang kadang bikin suasana dapur menjadi riuh dan chaos. Adu mulut dan saling sindir tak terhindarkan. Akhirnya, sikap-sikap seperti ini yang membuat para perewang kesal, malas, dan prek untuk datang lagi ke pesta hajatan tetangga. Bodo amat, ra nggagas!
Kepercayaan shohibul hajat sama perewang yang semakin menurun
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, semakin hari jumlah perewang semakin menurun. Selain karena hajatan kerap digelar non-weekend, minimnya jumlah perewang ini juga terjadi akibat warga yang semakin sibuk dengan urusannya masing-masing.
Meski ada perewang pun, sekarang sudah mulai nggak tertib. Banyak perewang yang datang terlambat dan sering pulang gasik. Bayangkan saja, ketika banyak tamu undangan datang, tetapi jumlah perewang sangat sedikit, bukannya hal semacam ini bikin ketar-ketir pemilik hajat?
Kondisi jumlah perewang yang sedikit dan budaya nggak tertib membuat tuan rumah berpotensi bisa nggak percaya lagi sama sistem rewang. Gimana pesta hajatan mau sukses, hawong perewang saja sudah mulai malas-malasan seperti sekarang. Daripada pesta hajatan kacau, nggak berjalan sesuai rencana, dan bubar tangisan, bukankah lebih baik pakai sistem WO saja?
Semua bakal pakai WO pada waktunya
Sebagaimana kita tahu, tradisi rewang sesungguhnya memiliki nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan yang baik untuk merajut tali silaturahmi. Tradisi ini juga dianggap mampu memupuk sikap peduli dan rasa welas asih dengan tetangga sekitar. Dengan adanya rewangan, orang akan saling mengenal satu sama lain dan merasakan betul hidup berdampingan.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, tradisi rewangan mulai mengalami pergeseran nilai dan semakin nggak relevan lagi. Bukan cuma persoalan hajatan yang digelar pada hari kerja, panitia rewang yang otoriter, dan menurunnya kepercayaan tuan rumah sama perewang, tetapi juga masalah kebutuhan hidup warga desa yang semakin meningkat.
Banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi ini yang kadang membuat sebagian masyarakat semakin sibuk mengejar materi. Warga desa yang dahulu hanya berprofesi sebagai petani atau peternak, perlahan-lahan mulai bekerja di sektor industri dan menjadi karyawan swasta. Tak ayal, hajatan di rumah tetangga acapkali sepi dan nggak lagi guyup seperti dulu lagi.
Beberapa situasi dan kondisi tersebut, yang kemungkinan besar akan membuat warga desa meninggalkan tradisi rewang dan beralih pakai sistem WO. Nggak hanya dinilai lebih praktis, pakai jasa WO juga lebih murah dibandingkan dengan sistem rewang yang kadang bikin anggaran membengkak. Selain itu, masih banyak keunggulan pakai WO lainnya yang bisa kamu baca di sini.
Terlepas dari itu semua, nggak bisa dimungkiri bahwa tuntutan zaman memang terkadang cukup ngadi-ngadi. Orang yang dulunya pergi ke balai padukuhan cukup jalan kaki, kini beralih ke kendaraan bermotor. Dulunya beli jarum pentul harus pergi pasar, kini cukup buka hape, lalu belanja via Shopee. Jadi, bukan nggak mungkin tradisi rawangan juga akan ditinggalkan warga, dan beralih pakai jasa WO yang lebih praktis dan taktis.
Kalau kamu sendiri gimana, Gaes? Mau pakai sistem rewang atau jasa WO? Apa pun itu, yang jelas cari pasangan dulu, ya. Pacar saja nggak punya, lha kok ngadi-ngadi mikirin pakai rewang atau WO. Mending turu, Sri…
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Saya Orang Desa yang Memilih Pakai Jasa WO daripada Sistem Rewang untuk Pesta Pernikahan.