Tepat pada siang hari ketika saya sedang fokus membaca buku, handphone saya bergetar terus-menerus. Awalnya, saya memang berkeinginan untuk tidak membuka handphone. Namun, apa yang saya inginkan tidak berjalan dengan mulus. Tidak sanggup menahan rasa penasaran saya untuk melihat apa yang terjadi, akhirnya, saya coba untuk menghidupkan layar handphone.
Dan, ternyata penyebab dari handphone saya bergetar terus-menerus adalah grup telegram kelas menulis yang sedang ramai. Sebab, ada teman kelas menulis saya sedang membagikan tulisan yang berhasil lolos di salah satu media daring dengan judul Tak Gentar Mempertahankan Warisan.
Tulisan tersebut saya baca sampai tuntas. Tetapi, setelah selesai membaca, ada satu bagian yang membuat emosi saya mulai bergejolak. Bagian itu tepatnya pada pembukaan tulisan yang berisi tentang: cerita seorang anak menuntut ibunya, karena perkara warisan.
Membaca pembukaan semacam itu membuat saya menggelengkan kepala. Bagaimana bisa seorang anak yang sudah dirawat dengan kasih sayang dan biaya yang dikeluarkan juga besar oleh orang tua, masih tega untuk menuntut orang tuanya hanya karena perkara warisan?
Tidak selesai terheran-heran dengan kasus seorang anak yang tega menuntut ibunya disebabkan oleh warisan. Tiba-tiba saja tanpa diundang teman kuliah saya bercerita melalui aplikasi Whatsapp. Dia bercerita jika ada tetangganya yang sudah lama gila. Saya menanggapinya dengan bertanya, “Alasannya menjadi gila kenapa?” Langsung saja, teman saya menjawabnya ”Hartanya terkuras habis”.
Selesai mendengarkan cerita dari teman kuliah, saya menjadi teringat kembali dengan cerita lama yang diceritakan oleh sahabat saya yang bercerita jika temannya berubah menjadi sombong, semenjak memiliki harta yang melimpah. Akibatnya, ketika bertemu di jalan tidak pernah bertegur sapa kembali.
Akhirnya, berangkat dari tulisan dan cerita teman saya membuat saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa harta merupakan salah satu musuh utama bagi kehidupan manusia. Sebab, hanya disebabkan oleh harta, hati manusia yang semula bersikap baik-baik saja, berubah menjadi menyimpang. Bahkan, harta juga bisa membuat psikis manusia terganggu ketika harta yang dimilikinya sedikit demi sedikit menjadi berkurang.
Itu semua terjadi karena dalam diri manusia tidak memiliki tameng yang kuat dalam melindungi diri dari bahaya negatif yang ditimbulkan oleh harta. Akibatnya, manusia menjadi tidak memiliki pondasi untuk bisa mengontrol dirinya.
Sebenarnya, banyak sekali tameng yang dapat digunakan oleh seseorang dalam melindungi dirinya dari bahaya yang akan ditimbulkan oleh harta. Tentu saja, di dalam agama sendiri sudah dijelaskan bagaimana cara menghadapi persoalan harta, yaitu dengan semakin mendekatkan diri kepada Maha Kuasa. Tujuannya adalah agar tidak lupa bahwa hal apa saja yang ada di dunia ini hanya bersifat sementara.
Selain itu, bukan hanya ajaran agama yang bisa dipakai untuk membentuk tameng diri dari permasalahan harta. Pada tingkat kearifan lokal, juga bisa ditemukan beberapa ajaran yang dibuat oleh masyarakat terdahulu, agar manusia tidak mudah terjerumus kepada nilai harta semata. Salah satu contohnya adalah peribahasa Madura, yaitu asel ta’ adina asal.
Peribahasa tersebut memiliki arti hasil jangan meninggalkan asal. Atau jika diartikan lebih spesifik lagi, peribahasa tersebut bermaksud untuk memberikan nasehat kepada orang meskipun sudah memiliki harta yang melimpah, namun jangan sampai lupa untuk memiliki akhlak yang baik.
Lantas akhlak baik seperti apa yang bisa dilakukan oleh seseorang? Melalui peribahasa Madura tersebut, saya memberikan tiga penafsiran mengenai akhlak baik yang bisa dikerjakan.
Pertama, tidak lupa untuk melakukan sedekah. Sebab, sedekah merupakan perkara yang sangat dianjurkan dalam agama. Melalui sedekah kita bisa saling membantu sesama manusia, terutama bagi yang membutuhkan.
Lebih dari itu, tanpa disadari ketika seseorang bersedekah secara terus-menerus, orang tersebut akan sadar jika harta bukanlah segalanya bagi kehidupan di dunia ini. Alasannya adalah harta tidak bersifat abadi. Hal itu, bisa dilihat sendiri melalu kisah dari seorang Qorun. Qorun adalah orang yang dilimpahkan dengan kekayaan. Tetapi, kekayaan itu tidak lagi berarti ketika ditenggelamkan ke bumi.
Kedua, tidak bersikap tamak. Tamak sendiri adalah salah satu penyakit diri yang bisa menyebabkan pikiran dan hati menjadi gelap. Artinya, ketika sikap tamak sudah mulai mengendap pada diri manusia, segala hal yang dianggap buruk akan dipandang baik-baik saja. Salah satu contohnya adalah perbuatan korupsi.
Akibat lain dari sikap tamak adalah jadi lupa untuk bersyukur terhadap apa yang sudah diberikan oleh Sang Pencipta. Padahal, Sang Pencipta sudah banyak memberikan rezeki kepada umatnya.
Ketiga, memperbanyak ilmu. Ilmu adalah gerbang yang bisa membawa manusia pada kebijakan. Oleh sebab itu, dengan seseorang memiliki banyak ilmu, diharapkan orang tersebut mampu bersikap bijak dalam menghadapi persoalan mengenai harta, seperti bijak dalam mengetahui mana harta yang boleh diambil dan harta yang tidak boleh diambil.
Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa sebanyak apapun harta yang berada di dunia, tetapi akan percuma saja apabila tidak dibarengi dengan akhlak untuk melindungi diri dari bahaya negatif yang ditimbulkan dari harta.
BACA JUGA Biar Nggak Bingung Mana Madura United FC Mana Madura FC, Saya Berikan 3 Perbedaannya dan tulisan-tulisan lainnya dari Akbar Mawlana.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.